BincangMuslimah.Com – Di penghujung tahun 2025, kabar duta datang silih berganti dari penjuru negeri. Seperti mengirim isyarat bahan refleksi kepada masing-masing diri. Alam menyampaikan keluh kesahnya yang seolah telah lama ia pendam. Bukan meringankan beban, beberapa oknum bernama manusia menutup mata dan justru memperparah lukanya.
Akhirnya alam bersuara, tentang pepohonan yang menjadi penyangga bumi dengan cengkraman akarnya dibabat habis. Perihal rumah-rumah berbagai makhluk hidup bernama tumbuhan dan hewan dicuri. Protes itu berwujud bencana yang berdatangan, mulai banjir bandang, longsor, atau banjir rob.
Lahan Kritis Menjadi Lahan Organik
Namun siapa sangka, di sisi lain Indonesia ada salah satu nama perempuan yang saat ini sedang mengudara. Perjuangan yang telah lama ia kobarkan, kini disorot kamera kehidupan. Ia adalah Rosita Istiawan, pahlawan lingkungan yang berhasil menyulap lahan kritis menjadi lahan organik. Lahan yang dulunya tandus bak tak ingin menerima kehidupan, kini berubah menjadi sebuah benteng ekosistem yang menaungi pohon puluhan ribu pepohonan dang ratusan satwa.
Perjalanan Rosita bermula sekitar tahun 2000an. Berawal dari obrolan kecil dengan mendiang suaminya (Bambang Istiawan) yang bermimpi ingin memiliki rumah sederhana di repi hutan saat hari tua. Tampak sulit mewujudkannya, sebab saat ini tentu tidak mudah untuk menemukan hutan yang asri. Tetapi di sinilah garis startnya, Rosita menantang diri sendiri seolah mengatakan: Kalau tidak ada hutan, ya bikin hutan sendiri saja.
Sebagai seorang istri dari suami yang bekerja di industri perminyakan, Rosita rajin menyisihkan uang dari suami. Setelah terkumpul cukup banyak, ia menggunakan uang tersebut untuk membeli sebidang tanah di Mega mendung. Lahan pertama yang ia beli hanya seluas 2.000 meter persegi yang sebelumnya adalah kebun singkong dengan kondisi yang memprihatinkan.
Mengutip Tirto.Id, menyebutkan bahwa kondisi lahan saat ia beli memang kritis. Ph tanah hanya 2,5-4, tidak ada cacing, 70 persen permukaan tertutup alang-alang, bahkan mempunyai kemiringan hampir 80 derajat.
Perjuangan Penuh Hambatan
Langkah berikutnya dari perjuangan Rosita ialah dengan menanam pohon dan tumbuhan di lokasi tersebut dengan jarak tiap antar pohon 2,5×2,5 meter dengan jumlah 1.500 pohon perhektar. Ia menggunakan metode tumpang sari atau agroforestri. Karena tanpa modal keilmuan bidang pertanian dan perhutan, pada tahun kedua perjuangan, ia hampir menyerah. Tapi justru pada titik ini, mata air yang dulu mati suri kini menunjukkan sebuah tanda kehidupan.
Mata air tersebut menjadi bukti nyata perjuangan Rosita mulai berbuah, mata air ini pula yang kemudian menstabilkan debit air. Semakin hari kian deras, bahkan tetap mengalir di musim kemarau panjang sehingga mampu mengairi dua desa di sekitar Megamendung dan Gunung Geulis.
Dari tahun ke tahun, kini hutan organik milik Rosita telah membentang seluas 30 hektar menaungi 44 ribu pohon dan sekitar jenis flora. Tak hanya itu, lahan ini juga menjadi habitat bagi sekitar 120 spesies satwa liar termasuk 25 jenis burung dan kucing hutan. Tentu perjuangannya tidak mudah, ia harus melalui berbagai halang dan rintangan. Tidak hanya dari alam, tetapi juga dari manusia. Nyinyiran dan hinaan ia terima karena dianggap “kurang waras” karena membeli tanah jurang dan menanam pohon yang tidak dapat dijual.
Ancaman terbesarnya justru dari calo tanah, penyebabnya karena ia membeli lahan langsung dari masyarakat. Tindakannya itu merusak rantai komisi para calo, bahkan ia pernah ditodong senjata tajam dan diancang untuk berhenti membeli lahan warga.
Di tengah kerusakan alam yang kini semakin sulit terbendung, kisah Rosita Istiawan ini turut meramaikan media sosial warganet. Bahkan beberapa dari mereka mendapat inspirasi untuk mengikuti jejaknya. Semakin banyak yang memetik hikmah, maka semangat melindungi alam akan semakin berkobar.

1 Comment