BincangMuslimah.Com – Khaulah binti Tsa’labah adalah seorang perempuan biasa yang hidup di era Nabi Muhammad saw. Ia adalah istri dari seorang sahabat Aus bin Shamit, yaitu saudara laki-laki Ubadah bin Shamit.
Alkisah, suatu ketika Khaulah sedang melaksanakan shalat. Suaminya melihat keelokan tubuh istrinya tersebut yang kemudian mengundang naluri biologisnya. Ketika Khaulah selesai melaksanakan shalat, Aus kemudian meminta haknya sebagai suami. Namun Khaulah mengabaikannya.
Hal ini kemudian membuat Aus bin Shamit marah dan melayangkan dzihar kepada Khaulah, seraya berucap, “Bagiku, kamu seperti punggung ibuku.” Ucapan ini menurut adat Arab saat itu mengandung arti bahwa suami tidak memiliki hak lagi atas istrinya.
Setelah kejadian tersebut, Khaulah binti Tsa’labah mendatangi Nabi Saw. Ia menyampaikan apa yang telah menimpa dirinya. Khaulah menyampaikan pertimbangan-pertimbangan yang menurutnya berat jika harus berpisah dengan suaminya tersebut.
Selain pertimbangan rasa cinta yang masih begitu besar kepada suaminya, Khaulah juga memiliki anak yang dikhawatirkan akan mengalami kesusahan dalam pengasuhan dan juga pemenuhan kebutuhan ekonomi jika ia berpisah dengan suaminya.
Namun jawaban yang disampaikan oleh Nabi saw membuat Khaulah kecewa. Lantaran Nabi tetap memegang hukum yang berlaku pada adat Arab saat itu, yaitu bahwa Aus sudah tidak berhak lagi menjadi suami Khaulah.
Merasa bahwa hukum yang berlaku sungguh tidak mencerminkan keadilan dalam Islam. Khaulah kemudian tergerak untuk mengadukan permasalahan ini langsung kepada Allah.
Ia terus berdoa supaya Allah menurunkan wahyu kepada Nabi saw dan memberikan hukum baru atas dzihar. Berkat kegigihan Khaulah dalam memperjuangan keadilan tersebut, pada akhirnya, Allah swt menjawab jeritan hati Khaulah dengan turunnya surah al-Mujadilah:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (1) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2)
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mujadilah: 1-2)
Oleh karena kejadian tersebut, surah ini dinamakan surah al-Mujadalah (perempuan yang menggugat/mendebat). Setelah turun ayat tersebut, dzihar tidak lagi berdampak pada pemutusan hubungan suami-istri secara mutlak. Namun berdampak pada larangan kepada suami untuk menggauli istri sampai suami membayar kafarat dzihar sebagai bentuk tebusan.
Kafarat dzihar yang berlaku adalah dengan memerdekakan budak, jika tidak mampu maka puasa selama enam puluh hari berturut-turut, dan jika tidak mampu maka opsi terakhir adalah memberi makan enam puluh orang miskin.
Wallahu a’lam.