BincangMuslimah.Com – Tidak sedikit masyarakat beranggapan bahwa perempuan idealnya cakap dalam urusan domestik. Kesalehan perempuan kerap kali dikaitkan dengan hal tersebut sehingga terkesan ada domestikasi perempuan.
“Jadi perempuan, khususnya Ibu itu harus banyak tirakat. Tirakatnya di rumah saja, ngaji, ndidik anak dan ngurus suami. Insyaallah sesuai fitrah perempuan dan ridlo Gusti Allah”.
Begitu terang salah satu kiai ternama dalam beberapa pengajiannya yang disaksikan ribuan jamaah di platform Youtube.
Dalam hidup saya, kata-kata, wejangan, atau nasehat seperti di atas sangatlah sering saya dengar. Redaksinya persis, jika ingin mendapat ridha Allah, jadi perempuan dan istri itu sebaiknya mengamalkan tirakat, dan tirakatnya cukup dilakukan di rumah, bukan di masjid, langgar, atau di zawiyah-zawiyah tempat di mana biasanya para ālimah dahulunya juga kerap melakukan ‘uzlah. Tirakat dengan ibadah sekaligus ngurus anak dan keluarga itu adalah surga. Sudah titik, tak perlu dibantah.
Yah, kesannya memang ideal apalagi bagi sebagian mereka yang hidup di lingkungan pesantren. Tradisi ini sangat kuat dan menjadi pengetahuan umum bahwa menjadi perempuan di lingkungan pesantren memang haruslah diimajinasikan ideal seperti tirakatnya para nyai terdahulu, tidak banyak berkegiatan di ruang publik, apalagi bekerja. Itu seperti menyalahi aturan kesalehan dan terkesan adanya domestikasi perempuan.
Ibaratnya, meskipun anda salehah tapi kalau bekerja di luar rumah dan meninggalkan anak-anak, kesalehan anda belumlah dikatakan sempurna. Apalagi jika suami juga sudah bekerja. Embel-embelnya bisa panjang. Ribet.
Laku kesalehan ini tentu saja diilhami oleh perempuan-perempuan hebat seperti para nyai, sufi-sufi perempuan, ahli tarekat, dan ulama-ulama perempuan yang telah berkiprah di dunia pesantren atau yang mengabdikan hidupnya untuk mendalami ilmu agama dan kemudian menyebarkannya.
Namun bagi kalangan di luar pesantren, tuntutan kesalehan bisa berawal dari mana saja, khususnya yang disajikan di ruang-ruang publik dan di media sosial. Ekspresi kesalehan perempuan yang semakin berkembang di kalangan umat Islam hari ini merupakan fenomena yang tak terlalu baru sebenarnya namun cukup membuat pergeseran wacana muslimah hari ini menjadi signifikan dan tak jarang menjadi perdebatan publik.
Salah satunya yang berkaitan dengan konsep kesalehan dan domestikasi perempuan. Perempuan seringkali dianggap menjadi agen moral dan kesalehan keluarga serta masyarakat yang tercermin dari dirinya dan keluarganya. Oh tentu saja, ini adalah tugas yang terlalu berat.
Bayangkan saja jika dalam suatu keluarga, terdapat anggota keluarga yang katakanlah menyalahi norma sosial agama masyarakat setempat, ibu selalu saja jadi pelaku utama yang harus, seringkali dan seringkali disalahkan karena tidak bisa mendidik anak dengan baik atau dianggap tidak becus mengurus anggota keluarga.
Nah, prototipe ideal dari potret kesalehan perempuan hari ini adalah mereka yang dapat bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kesalehan dirinya dan keluarganya. Jika pun harus bekerja misalnya, ia haruslah tetap bekerja di rumah, entah jualan online atau yang lainnya. Karena jika perempuan bekerja di luar rumah, masalah keluarga pasti akan terjadi. Begitu asumsinya. Dan semua menjadi tanggung jawab perempuan.
“Memang jadi perempuan apalagi Ibu tuh idealnya tidak bekerja kantoran dll, karena pasti keluarganya akan terbengkalai. Lagian ngapain seh ambisius seperti itu, apa ga kepikiran anak-anaknya. Nanti kalau keluarganya berantakan baru nyesel. Fitrah terbaik kita sebagai muslimah salehah itu memang di rumah.”, begitulah respon beberapa kawan saya terkait domestikasi perempuan yang selalu dihubungkan dengan kesalehan seseorang.
Sayangnya ekspresi kesalehan yang berkembang belakangan ini juga diwarnai dengan pemahaman keagamaan yang literal, konservatif, dan eksklusif. Menjadi saleh kerapkali dihubung-hubungkan dengan ideologi tertentu yang justru menutup wacana dan pesan-pesan pembebasan perempuan.
Hal inilah yang membedakan bentuk kesalehan perempuan hari ini dengan misalnya sufi-sufi perempuan beberapa abad silam di dunia Muslim. Bisa jadi juga karena bentuk dan ekspresi keagamaannya sangatlah berbeda, terlebih terkait dengan sejarah, tradisi, dan nilai-nilaiyangdianut.
Kehidupan Sufi Perempuan
Thibon Jean-Jacques dalam bukunya Women Mystics in Medieval Islam: Practice and Transmission membahas tentang beberapa sufi perempuan yang saleh dan alim dalam sejarah Islam. Jacques mengangkat hikayat dan beberapa profil sufi perempuan abad pertengahan Islam yang dinilai cukup signifikan dan mempunyai karakter baik spiritual dan individual yang kokoh.
Sufi-sufi perempuan ini merupakan penyambung sekaligus penyemai pengetahuan sekaligus mengembangkan tradisi sufisme yang memperlihatkan kegigihannya sebagai perempuan yang berdaya baik di ruang-ruang publik sekaligus domestik. Tingkat spiritualitas yang mampu dicapai para sufi ini tidak lantas membuatnya menarik diri dari aktivitas publik.
Fatimah al-Nishapur (d. 223/838) adalah salah satu tokoh yang diangkat dalam artikel tersebut. Ia dikenal sebagai sufi perempuan yang paling masyhur di Khurasan yang hidup pada abad 9 M. As-Sulami, seorang master sufi kenamaan bahkan menyebutnya sebagai seorang Gnostik yang agung, bahkan dikisahkan Fatimah al-Nishapur sering dikunjungi oleh Syeikh ternama sufi Abu Yazid Al-Bistami (d. 260/874) dan juga sufi kenamaan Mesir Syeikh Dzul Nun Al-Misri (d. 245/859).
Kedua sufi besar ini menyebut Fatimah sebagai perempuan suci utusan Tuhan dan dianggap sebagai guru dalam perjalanan spiritual mereka.
Fatimah al-Nishapur juga dikenal seringkali melakukan perjalanan spiritualnya sendiri ke berbagai kota. Sesuai pengakuan Dzul Nun Al-Misri, Fatimah kerapkali melakukan perjalanan spiritual ke berbagai kota untuk berguru kepada para guru-guru sufi ternama di kota tersebut.
Dzul Nun Al-Misri pernah menjumpainya saat ia melakukan perjalanannya (siyāha) sendiri di Jerussalem. Tak hanya berguru, Fatimah juga melakukan perjumpaan dengan masyarakat-masyarakat kurang beruntung di kota-kota yang ia kunjungi untuk mengajarkan praktek dan nilai sufisme.
Siyāha merupakan pengembaraan yang dilakukan oleh seorang sufi ke berbagai wilayah yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan. Praktek ini dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan perjalanan spiritualitas. Sufi-sufi perempuan saat itu lazim melakukan siyāha dalam waktu yang panjang dan sendirian di tengah keganasan alam dan juga ancaman yang berbahaya.
Sebuah pengakuan dari Al-Sulami juga mengabadikan cerita Umm al-Fadl, seorang sufi perempuan, yang datang ke Nishapur pada pertengahan abad ke-10. Umm al-Fadl sedang melakukan pengembaraan dari kota ke kota untuk memperoleh pengetahuan dari para guru-guru sufi ternama di kota tersebut yang kemudian ia transmisikan kepada murid-muridnya di tempat asal Umm al-Fadl.
Fatimah dan Umm al-Fadl adalah dua di antara banyaknya tokoh-tokoh sufi perempuan lainnya yang disebutkan Jacques terkait dengan peran dan partisipasi mereka di ruang-ruang publik.
Banyak di antaranya juga memiliki murid baik laki-laki dan perempuan, berperan aktif di sosial masyarakat, mendirikan lembaga pendidikan dan keilmuan, bahkan harus melakukan pengembaraan sendiri untuk mencapai level spiritualitas tinggi sebagai syeikhah. Dalam asumsi kita, menjadi seorang syeikhah tentulah sepaket dengan tingkat kesalehan juga ālimah.
Fenomena perempuan saleh dan bepergian sendiri belakangan tentu tidaklah populer seiring dengan perkembangan dan pergeseran nilai yang ada di masyarakat Muslim saat ini, pun juga terkait dengan kultur setempat. Alasannya pun beragam, dari tingkat keamanan hingga pembatasan mobilitas perempuan untuk melakukan siyāha sendiri.
Kisah ini tentu saja menandakan beberapa hal terkait bahwa perempuan sebenarnya juga mampu memberikan keseimbangan porsi dalam kehidupannya, dan memiliki ruang gerak yang sama dengan lelaki. Mereka memiliki ruang dan kesempatan yang sama di dalam maupun di luar rumah.
Namun sayang sekali, nama-nama sufi perempuan setelah abad 10 tak banyak lagi dituliskan dan dicatat. Kisah-kisah mereka masih ada, namun tak dapat lagi terdeteksi nama dan juga identitas perempuan-perempuan saleh yang menjadi kiblat keilmuan para guru-guru sufi ternama.
Bahkan Ibn Arabi dalam perkataannya mengatakan bahwa maskulinitas dan feminitas adalah sebuah kecelakaan yang membedakan satu kesatuan alami manusia. Siapapun yang hendak menuju kesempurnaan sangat terbuka baik bagi perempuan dan laki-laki.
Pernyataan ini bukanlah sebuah bentuk doktrin yang tanpa alasan, karena bagaimanapun Ibn Arabi dalam biografinya menjelaskan dengan tegas peran perempuan dalam perjalanan spiritualnya dan juga dalam tulisan tulisannya.
Bagi syeikh al-akbar (Ibn Arabi), wujud sempurna kontemplasi Tuhan yang dapat dialami laki-laki adalah melalui figur spiritual yang menjelma menjadi Malāmatiyya yang diambil dari sosok Maryam binti Imran, sesuai apa yang dikisahkan dalam al-Qur’an.
Sayyidah Maryam menjadi tokoh perempuan spiritual dalam Islam yang kerapkali dijadikan rujukan bagi ajaran sufi. Maryam dan Muhammad, adalah dua figur yang dijelaskan dalam al-Qur’an yang punya kesempatan “ditemui“ langsung oleh malaikat Jibril. Terlebih, Maryam menjadi satu-satunya nama Surat dalam al-Quran yang diambil dari sosok perempuan saleh.
Membicarakan tentang konsep kesalehan individu tentulah berbeda dari waktu ke waktu. Jika dalam pengertian dan tradisi sufisme abad pertengahan, menjadi sufi perempuan atau menjadi perempuan saleh tak lantas membuatnya terputus dari relasi sosial masyarakat.
Justru sebaliknya, mereka aktif mengajar tidak hanya kepada perempuan namun juga laki-laki, menjalani uzlah, siyāha, dan praktek-praktek spiritual lain yang dilakukan oleh sufi laki-laki. Tak ada pembeda maupun doktrin kesalehan yang justru menekankan pada domestikasi perempuan seperti halnya yang marak terjadi belakangan ini oleh gerakan-gerakan tekstual-konservatif.
Demikian penjelasan tentang kesalehan dan domestikasi perempuan.