BincangMuslimah.Com- Perempuan Disabilitas menjadi makhluk yang mudah mengalami diskriminasi bahkan kerentanan berlapis. Penyebab hal ini karena dalam kehidupan normal, perempuan sudah termasuk dalam kelompok rentan. Jadi mereka memiliki rentan ganda karena status gendernya sebagai permepuan dan kondisinya sebagai penyandang disabilitas.
Sejatinya, penyandang disabilitas memiliki siklus hidup seperti orang pada umumnya, yang mana masih menghadapi pertumbuhan dari kecil hingga dewasa. Perbedaannnya, mereka mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental atau sensoriknya. Oleh karena itu, mereka masih memiliki hak penuh dalam hidup dan berperan dalam lingkungan sosial.
Namun faktanya, narasi hidup para penyandang disabilitas masih jauh dari kata adil. Masih sangat nyata perlakuan negatif dan stigma yang dialami penyandang disabilitas dan diamini menjadi perilaku yang wajar dalam ruang sosial.
Kerentanan bagi para disabilitas ini hadir karena cara pandang normalisme yang memanfaatkan hambatan kedisabilitasan seseorang, sehingga akibatnya ia tidak mendapat ruang untuk berpartisipasi dalam beberapa bidang.
Seberapa Rentan Perempuan Disabilitas di Ruang Sosial?
The Universal Declaration of Human Rights and the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) melalui Cambodia Gender Assessment merilis Kebijakan dan Konteks Hukum Bagi Kelompok Perempuan Rentan, Perempuan penyandang Disabilitas. Di dalamnya banyak sekali poin penting yang menyuarakan hak para penyandang disabilitas di Kamboja, terutama bagi perempuan disabilitas.
Mengutip dari asesmen tersebut, salah satu yang membuat kerentanan semakin buruk adalah ketika penyandang disabilitas tersebut seorang perempuan dan anak. Mereka berasal dari kelompok rentan yang seringkali menjadi sasaran berbagai bentuk diskriminasi verbal maupun fisik . Yang mana dilakukan oleh anggota keluarga, tetangga, anggota masyarakat, rekan kerja atau bahkan pejabat publik, pegawai negeri, dan media.
Ledingham, E. dkk dalam jurnalnya Sexual Violence Against Woman with Disabilities menyebutkan perempuan penyandang disabilitas 4 kali lebih mungkin mengalami kekerasan seksual daripada perempuan non-disabilitas. Selain itu, sebanyak 11,1% perempuan disabilitas akan mengalami kekerasan seksual bukan oleh pasangan dalam hidup mereka.
Sentra Advokasi Perempuan Penyandang Disabilitas (SAPDA) merilis informasi pada tahun 2016 bahwa sejumlah 84,5% kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas belum mendapat perlindungan hukum.
Perempuan disabilitas masih menjadi kelompok terpinggirkan sehingga akan berdampak pada kelanjutan hidupnya dan terbatasnya hak dalam aspek kehidupan. Seperti akses kesehatan, pekerjaan, pendidikan, dan informasi.
Bentuk-bentuk Kerentanan Perempuan Disabilitas
Fakta pahit tindak laku diskriminasi terhadap perempuan disabilitas maupun non-disabilitas masih terindikasi aktifitasnya di Indonesia maupun dunia. Mengutip risalah kebijakan Komnas Perempuan yang merangkum tradisi masyarakat Indonesia, tertera rentetan realita sosial yang masih melabeli para penyandang disabilitas dengan beberapa stigma buruk. Di antaranya sebagai berikut.
Pertama, Penyandang disabilitas perempuan masih mengalami diskriminasi hak seksual dan reproduksi.
Mereka sering mendapat anggapan sebagai makhluk aseksual, sexless, tidak menarik, ataupun tidak bisa melakukan aktifitas seksual. Karena perbedaan kondisi juga, perempuan disabilitas memiliki keadaan tubuh yang membuatnya kurang memiliki kesempatan dalam membina hubungan percintaan.
Kedua, Fakta sosial menurut studi Triple Jeopardy, 25% perempuan penyandang disabilitas mengalami kekerasan fisik oleh anggota rumah tangga dibandingkan dengan 11,4 persen perempuan tanpa disabilitas, sementara 52,5 persen melaporkan kekerasan emosional dan 5,7 persen melaporkan kekerasan seksual dari anggota keluarga.
Ketiga, Masih dalam studinya, Triple Joepardy menjelaskan status ekonomi rendah dan minimnya kesempatan kerja menjadi fakta miris bagi perempuan disabilitas. Persentase perempuan penyandang disabilitas memperoleh penghasilan jauh lebih rendah daripada laki-laki, yaitu masing-masing sebesar 25,8 persen dan 44,8 persen.
Keempat, adanya ideologi ableisme/normalisme dan kultur patriarki adalah akar dari kerentanan berlapis bagi perempuan dan anak disabilitas. Ableisme sendiri merupakan kecenderungan memandang disabilitas sebagai sebuah ketidaksempurnaan, termasuk juga mengasosiasikannya dengan penyakit.
Beberapa stigmatisasi tersebut kerap datang dari kerabat atau keluarga para penyandang. Seperti mendapat label sebagai hukuman atau kesalahan orang tua bahkan menjadi kesialan. Sedangkan masyarakat juga memandangnya sebagai orang cacat dan tak memiliki masa depan.
Rekomendasi Mengurangi Kerentanan
Untuk mengurangi rangkaian kerentanan tersebut, sangat perlu menghadirkan cara pandang baru terhadap penyandang disabilitas melalui sinergi medis dan sosial. Seharusnya, tidak memandang penyandang disabilitas sebagai kelompok berbeda, tetapi juga memberi jaminan dan pemenuhan hak-haknya sebagai manusia.
Sinergi antar lembaga atau komunitas hingga media tentu memiliki peran yang vital dalam mewujudkan masa depan para penyandang disabilitas, terutama para perempuan dan anak yang rentan mendapat tekanan sosial.
Sebagaimana pula media Bincang Muslimah, dalam hal ini juga menjadi perantara suara para penyandang disabilitas perempuan, untuk keluar dari tekanan stigma buruk yang akan merenggut hak hidupnya. Dengan itu, akan banyak yang semakin melek untuk memanusiakan para penyandang disabilitas.
Para disabilitas sejatinya bukan ingin dianggap sebagai manusia normal. Mereka hanya butuh penerimaan dengan baik dalam tatanan sosial masyarakat. Merangkul mereka semestinya tidak hanya sebagai bentuk kepedulian, melainkan kewajiban sesama manusia.