BincangMuslimah.Com –Kehidupan dunia berada di posisi sebagai proses (bukan tujuan akhir), yang berorientasi pada pencapaian koneksi Ilahi (Allah SWT).
Pernikahan Sebagai Wasilah Transedental
Dalam konteks antropologi sosial-religius, ikhtiar spiritual yang ekstra ini dipermudah dan dioptimalkan melalui sistem berpasangan (pernikahan), yang berfungsi sebagai madrasah primer dan wahana saling melengkapi (complementarity) untuk mencapai tujuan transendental tersebut. Allah swt. Berfirman,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”
Melalui perantara tersebut seorang laki-laki dan perempuan akan saling menasihati, saling melengkapi. Dengan hal itu pula seorang laki-laki dan perempuan dapat menilai dan mengoreksi diri sendiri agar dapat melangkah lebih baik.
Dalam pandangan teologis, institusi pernikahan merupakan desain Ilahi yang menyatukan laki-laki dan perempuan. Bukan sekadar dalam kemitraan biologis, melainkan dalam suatu kontrak sosial-religius yang berlandaskan prinsip mu’āsyarah bi al-ma’rūf (pergaulan dengan dasar kebajikan). Prinsip ini menuntut kewajiban timbal balik yang setara dari kedua pasangan secara formal melalui akad nikah sebagai ikatan yang sah dan etis.
Islam menawarkan khitbah (pinangan/lamaran) sebagai mekanisme pra-nikah yang bertujuan untuk menjamin integritas moral dan etika (al-ma’rūf) sebelum terjalinnya ikatan suci. Selain itu, dalam pandangan teologis, pernikahan merupakan pelaksanaan sunnah (pedoman kenabian) yang berfungsi sebagai kerangka ideal untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Juga membentuk komunitas muslim yang sejalan dengan norma syariat, menjadikannya lebih dari sekadar kontrak formal (ijab qabul) semata. sebagaimana sabdanya,
النِّكَاحُ سُنَّتِي فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Menikah adalah sunnahku (jalanku), barangsiapa yang tidak mengindahkan sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku” [HR. Bukhari]
Tantangan Moral dan Spiritual Perempuan Modern
Pandangan lama yang mereduksi peran perempuan pada ranah domestik dan pasif adalah konstruksi sosial yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender. Padahal perempuan memegang peran sentral sebagai agen kunci dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan pembentukan generasi masa depan. Ironisnya, partisipasi perempuan di ruang publik dan domestik masih di bawah bayangan tantangan sistemik yang kompleks, termasuk kekerasan berbasis gender (KDRT dan kekerasan seksual), diskriminasi, dan kerentanan ekonomi. Hal ini secara kumulatif berdampak signifikan pada kesehatan mental perempuan, memicu kondisi seperti trauma, depresi, dan kecemasan (anxiety).
Strategi mitigasi terhadap risiko sosial dan psikologis tersebut memerlukan penguatan internal perempuan melalui pengembangan kesadaran diri dan identitas, yang berlandaskan pada pemahaman akan peran fundamental perempuan sebagai agen kolektif dalam konstruksi peradaban dan fondasi pembangunan nasional. Sebagaimana Islam juga menempatkan perempuan pada posisi yang mulia, maka ia harus keluar dari jeratan penganiayaan bahkan pelecehan yang merendahkan martabat seorang wanita.
Kontra-Narasi Melalui Keterlibatan Aktif Perempuan
Bukti nyata bahwa perempuan menempati posisi pertama yang fitrah agama dan dunia tertera dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 14,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ
“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.”
Modern ini, keterlibatan perempuan di ruang publik, termasuk media digital, menuntut kepatuhan pada prinsip-prinsip etika Islam. Yaitu menjauhi perilaku yang tergolong kemaksiatan atau merusak kehormatan diri (al-karāmah). Fenomena penyalahgunaan media sosial yang didorong oleh motivasi popularitas dan konformitas tren, seringkali berkorelasi negatif dengan integritas pribadi. Oleh karena itu, visibilitas perempuan yang ideal berfokus pada manfaat sosial (social utility) dan dampak positif, bukan semata-mata pada pengakuan atau kekaguman publik.
Walhasil, mengingatkan posisi perempuan begitu dimuliakan di hadapan Allah swt., maka Penolakan terhadap diskriminasi dan narasi yang merendahkan citra perempuan harus direalisasikan melalui keterlibatan aktif dan strategis yang berfungsi sebagai kontra-narasi terhadap praktik kekerasan dan ketidakadilan berbasis gender.
Semoga bermanfaat.
1 Comment