BincangMuslimah.Com- Saya tinggal di kawasan Darbul Ahmar, Kairo. Biasanya saya berjalan ke arah kanan melewati pasar, kafe-kafe, dan toko buku untuk pergi ke Masjid Al-Azhar. Rumah saya berjarak setengah kilometer dari Masjid Al-Azhar. Namun jika saya berjalan ke kiri, maka saya berjalan ke arah gereja. Rumah saya juga berjarak setengah kilometer dari gereja. Tiap hari saya mendengar azan dari masjid, sekaligus mendengar lonceng gereja tiap hari Minggu.
Dua model suara yang saya dengar begitu kontradiktif. Yang satu mengajak ibadah shalat di masjid, yang lain ke gereja. Kondisi ini sama sekali tidak mengubah keimanan saya (begitu juga teman rumah saya). Semenjak awal tinggal di rumah itu, sesekali saya dan teman rumah berbincang mengenai hal ini. Kesimpulan kami sama, kedekatan tempat tinggal kami sama sekali tidak mempengaruhi keimanan kami. Kami beribadah sebagaimana biasa.
Beda cerita, ketika saya pulang ke Indonesia. Teman saya tiba-tiba menjauh dari gereja saat mengantre ATM, yang kebetulan ATM tersebut berada di samping gereja. Ia dengan sengaja mengambil jarak dengan gereja. Saya tanya alasannya mengapa ia menjauh, ia hanya menjawab agar tidak terlalu dekat dengan gereja. Mendengar jawaban tersebut, saya hanya diam.
Tentu saya tidak serta-merta melabeli teman saya ini. Sikap yang ia ambil—untuk menjauh dari gereja, tentu berasal dari pengalaman, perasaan dan pengetahuannya. Sikap itu merupakan hasil dari pergumulan (minimal) tiga hal tersebut. Barangkali ia ‘hanya ingin’ menjauh saja, tanpa ada semacam kekhawatiran-kekhawatiran yang lain. Kekhawatiran yang saya maksud di sini, semisal kekhawatiran yang mengganggu ranah keimanan. Saya tidak tahu mengenai hal itu.
Tapi, dari dua sikap (jika boleh mengatakan; keberagamaan) di atas, saya menangkap hal berbeda. Sikap teman saya di Mesir lebih luwes dalam hal ini. Barangkali mereka dipengaruhi oleh budaya Mesir yang lebih terbuka daripada masyarakat Indonesia. Masyarakat Mesir menerapkan sikap toleransi dan keberagamaan yang lebih lentur daripada keberagamaan di Indonesia. Perayaan natal di Mesir sama meriahnya saat perayaan hari raya idul fitri atau saat bulan Ramadan. Begitu juga, ucapan-ucapan keberagamaan yang tersebar di berbagai tempat.
Selain karena masyarakat Mesir yang telah memiliki kesadaran tersebut, faktor lain yang turut mempengaruhi ialah keberadaan Grand Imam, Syekh Ahmed el-Tayyeb dengan Konferensi Global Persaudaraan Umat Manusia di Abu Dhabi, Februari 2019. Keberadaan beliau merupakan role model bagi masyarakat Mesir. Bahkan, jauh sebelum menandatangani konferensi tersebut (bersama Paus Fansis), Syekh Ahmed el-Tayeb telah membentuk Bait al-Ailah al-Mishriyyah.
Baik konferensi global, ataupun Bait al-Ailah merupakan upaya beliau untuk menumbuhkan dan menjaga nasionalisme masyarakat Mesir, atau yang lebih jauh, masyarakat dunia. Terlebih, Mesir berada di tengah negara-negara yang kurang stabil.
Saya melihat model keberagamaan di Indonesia tidak seluwes keberagamaan di Mesir. Seperti teman saya yang antre ATM tadi, mungkin ia mengira jika berada di dekat gereja, keimanannya akan hilang, atau paling tidak, akan berkurang. Padahal, bagi saya, keimanan sendiri itu sifatnya sangat personal. Artinya, keimanan itu tidak serta-merta berkurang dengan hanya berdekatan dengan tempat ibadah lain.
Keyakinannya (atau bahkan kita) tentang Tuhan tidak akan langsung berkurang jika kita berada di dalam gereja. Jangankan berada di dalam gereja, bersalaman, memberi ucapan itu juga tidak mengurangi hal itu. Ia ataupun kita, bisa tetap mengimani keyakinan kita. Demikian sepenggal pengalaman toleransi dan keberagamaan di Mesir yang saya alami. Tabik!
4 Comments