BincangMuslimah.Com– Kesopanan dalam berbicara adalah nilai yang sangat penting dalam kehidupan sosial kita. Salah satu prinsip utama yang perlu diperhatikan adalah bahwa kesopanan lebih dihargai daripada usia, ilmu, atau keturunan. Etika berbicara bukanlah soal seberapa banyak pengetahuan atau pengalaman yang kita miliki, melainkan bagaimana kita menjaga adab, sikap, dan rasa hormat terhadap orang lain. Prinsip ini menjadi relevan ketika kita melihat pernyataan kontroversial Gus Miftah yang menyebut seorang penjual es dengan kata “goblok.”
Etika berbicara dalam tradisi budaya Indonesia, dan banyak budaya lainnya, menekankan pentingnya tata krama, kesopanan, dan rasa hormat. Ini berlaku tidak hanya terhadap orang yang lebih tua atau lebih berpengaruh, tetapi juga untuk setiap lapisan masyarakat, tanpa memandang status atau latar belakang. Dalam konteks ini, bahasa memiliki peran penting dalam mencerminkan citra seseorang. Kata-kata yang digunakan dalam komunikasi sering kali menunjukkan seberapa besar kita menghargai dan menghormati orang lain.
Di Indonesia sangat menjunjung tinggi prinsip “bahasa mencerminkan peradaban”. Oleh karena itu, ketika berbicara, seseorang perlu mempertimbangkan dampak yang mungkin timbul akibat kata-katanya. Menyebut orang lain dengan sebutan yang merendahkan, seperti “goblok”, tidak hanya mencerminkan sikap yang tidak sopan, tetapi juga berpotensi merusak hubungan sosial yang ada. Kata-kata kasar dapat memperburuk suasana dan menyakiti perasaan orang lain.
Gus Miftah dan Kasus Penjual Es
Gus Miftah, seorang ulama yang terkenal dengan gaya ceramahnya yang blak-blakan dan sering menyampaikan kritik sosial dengan tegas, baru-baru ini menjadi sorotan karena komentarnya terhadap seorang penjual es. Dalam sebuah video yang viral, Gus Miftah menyebut penjual es tersebut dengan kata kasar “goblok.” Komentar ini memicu kontroversi di masyarakat, terutama karena sebagai seorang tokoh agama. Banyak yang berharap Gus Miftah memberikan contoh yang lebih baik dalam berbahasa, terutama dalam berinteraksi dengan sesama yang status sosialnya mungkin lebih rendah.
Sebagai seorang tokoh yang dihormati banyak orang, Gus Miftah memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kata-katanya. Terlepas dari konteks atau alasan di balik komentarnya, menggunakan kata-kata kasar atau menghina seseorang di depan publik dapat memberi pengaruh negatif. Hal ini mengingatkan kita bahwa etika berbicara dan bertindak sangat penting, apalagi bagi mereka yang memiliki status sebagai pejabat publik
“Kesopanan lebih dihargai daripada umur, sebab etika itu di tata Bahasa, bukan di tata usia”. Ungkapan ini mengandung makna bahwa etika dalam berkomunikasi tidak tergantung pada usia, status sosial, atau pengetahuan seseorang. Pada dasarnya, orang lain lebih menghargai bagaimana cara kita berbicara dan bertindak daripada seberapa tua kita atau seberapa tinggi kedudukan kita. Dalam masyarakat yang egaliter, kesopanan dalam berbahasa menjadi faktor yang lebih penting daripada aspek lainnya.
Meskipun Gus Miftah terkenal sebagai tokoh yang lebih tua dan memiliki banyak pengalaman hidup. Komentarnya yang kasar terhadap penjual es menunjukkan bahwa seharusnya tetap mengutamakan sopan santun, terlepas dari siapa orang tersebut. Bahkan jika seseorang memiliki pengetahuan agama yang luas atau kedudukan yang terhormat, itu tidak memberikan hak untuk merendahkan orang lain. Dalam hal ini, usia atau ilmu seseorang tidak membenarkan sikap kasar terhadap orang lain.