BincangMuslimah.Com – Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama (NU) yang dicetuskan pada tanggal 22 Oktober 1945 adalah sejarah yang jarang dilirik oleh para sejarawan. Bahkan pengukuhannya sebagai Hari Santri Nasional juga baru berlangsung beberapa tahun yang lalu padahal dalam sejaranya Resolusi Jihad NU ini memiliki efek yang amat besar terhadap peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November.
Ada pengamatan dan ulasan yang menarik dari salah satu Profesor yang menaruh perhatian besar terhadap gerakan sosial keagamaan di Indonesia, yaitu Martin Van Bruinessen, dalam bukunya NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru.
Martin mengulas bagaimana kronologi Resolusi Jihad NU bisa tercetuskan dan juga bagaimana dampak dari Resolusi Jihad bagi para pejuang kemerdekaan yang tidak ingin kembali berada dalam cengkraman imerialisme bangsa asing.
Martin memulai pengamatannya dengan menuliskan bahwa NU dan para pendukungnya memainkan peran aktif dan radikal pada masa perjuangan—masa pendudukan Jepang dan Belanda. Peran ini menjadi semakin kentara ketika berakhirnya pendudukan Belanda (terhadap Indonesia kala itu). Karena sepanjang dasawarsa akhir pemerintahan Belanda, NU selalu memberikan kesetiaannya pada Belanda dan sikap ini disebutkan oleh Martin bahwa NU sebagai organisasi yang moderat dan kompromistis.
Sikap NU yang moderat dan kompromistis ini sejalan dengan pandangan Sunni tradisional bahwa jika sebuah pemerintahan memperbolehkan umat Islam menjalankan kewajiban dan aktifitas keagamaannya dengan baik, maka hal demikian adalah lebih baik daripada fitnah (chaos) yang diakibatkan oleh pemberontakan.
Setelah berkecamuknya perjuangan untuk merealisasikan kemerdekaan yang berlangsung amat sengit dan dramatis, sehingga menghasilkan sebuah sikap tegas dalam bentuk proklamasi kemerdekaan Indnonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda ternyata masih menaruh harapan kepada para pemuka agama seperti NU dan Muhammadiyah agar kembali bersikap akomodatif sebagaimana sebelum berkecamuknya agresi demi agresi dalam rangka merebut kemerdekaan Indonesia.
Harapan Belanda ini tidak sepenuhnya terwujud, kenyataannya sebagian kyai menolak memberikan kembali dukungannya kepada Belanda sepanjang hasil perjuangan mereka tetap tidak jelas. Namun, ada pula kyai yang mendukung Belanda untuk kembali menegakkan kembali kekuasaannya.
Dualisme di antara para kyai ini terjadi karena banyak di antara para kyai dan pengikutnya sejak awal terlibat peperangan merebut kemerdekaan, mereka tergabung dalam barisan Hizbullah atau barisan Sabilillah. Bagi mereka yang tergabung dalam barisan juang, tentu akan memahami bagaimana beratnya perjuangan memerdekakan bangsanya dari cengkraman bangsa asing.
Selain menegaskan posisi untuk ikut berjuang bergabung dengan barisan Hizbullah atau Sabilillah, NU sebagai sebuah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan ikut ambil bagian dalam peran lain. Peran yang dimainkannya menjadi penentu dalam perjuangan di Jawa Timur dan di seantero wilayah Jawa dan Madura, yaitu pada saat bayang-bayang imperialisme yang ingin mencengkram kembali kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia yang baru seumur jagung.
Pertahankan Kemerdekaan, Ulama NU Cetuskan Fatwa Resolusi Jihad
Pada 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU diseluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci). Deklarasi ini kemudian disebut dan dikenal sebagai “Resolusi Jihad.” Namun sekali lagi, fatwa Resolusi Jihad ini tidak mendapat perhatian dari sejarawan. Dari Resolusi Jihad ini menunjukkan bahwa NU yang tadinya organisasi yang moderat dan kompromistis terhadap pemerintahan Belanda sebelumnya, mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tidak disangka-sangka.
Adapun isi dari Resolusi Jihad: (1) hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fadu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang fakir; (2) hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid; (3) hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa Resolusi Jihad yang juga disebut dengan jihad (perang suci) ini dicetuskan di tengah kemerdekaan yang sudah di genggaman tangan?
Pada saat itu, Pemerintah Republik Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaan di Jakarta pada 17 Agutus 1945 masih dibayangi ancaman-ancaman dari luar, yaitu dari tentara Belanda, Inggris, dan Juga Jepang. Tetapi, pemerintah Indonesia menahan diri dari untuk melakukan perlawanan terhadap ancaman yang nyata tersebut. Karena kemerdekaan Indonesia masih seumur jagung, maka sepertinya pemerintah mengharapkan adanya penyelesaian secara diplomatik dan juga nampaknya menerima saja ketika bendera Belanda dikibarkan lagi di Jakarta.
Tercatat, sejak akhir September tentara Inggris pertama mendarat di Jakarta atas nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pada pertengahan Oktober, pasukan Jepang merebut kembali beberapa kota Jawa yang telah jatuh ke tangan Indonesia dan kemudian menyerahkannya kepada Inggris. Dan, beberapa hari sebelum dicetuskannya Resolusi Jihad di Surabaya, Bandung dan Semarang telah jatuh ke tangan Inggris. Hal serupa juga terjadi di Surabaya dimana pasukan Inggris mendarat pada tanggal 25 Oktober.
Melihat ancaman nyata di depan yang begitu nyata, maka Resolusi Jihad adalah stimulus bagi pemerintah Indonesia kala itu agar menyerukan perlawanan dan juga agar pemerintah Republik Indonesia mendeklarasikan “perang suci.” Yang lebih penting dari stimulus dan desakan adalah bahwa Resolusi Jihad ini adalah kritik tidak langsung terhadap sikap pasif pemerintah.
Agresi-agresi Pascaresolusi Jihad: Bung Tomo Temui Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
Setelah dicetuskannya Resolusi Jihad, fakta di lapangan menyatakan bahwa resolusi yang dicetuskan pada tangga 22 Oktober 1945 menjadi pegangan spiritual bagi sebagian besar pemuda dan pejuang di Surabaya. Kobaran spiritual dan semangat perjuangan ini tidak hanya dirasakan di Surabaya, namun juga menyebar ke seantero tanah Jawa dan Madura.
Perpaduan antara bekal fatwa dan resolusi jihad para ulama dan kyai NU serta kesadaran pentingnya mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih membuat semangat perlawanan yang muncul menjadi begitu kuat dan juga semakin memiliki ruh sebagai perjuangan menegakkan agama Allah.
Pasca tercetusnya Resolusi Jihad, pada 28 Oktober 1945 terjadi baku tembak terbuka antara pihak Surabaya dengan pasukan Inggris. Pihak Surabaya yang terdiri dari kesatuan Polisi, TKR, Hizbullah, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), Pemuda Rakyat Indonesia (PRI) serta badan-badan kelaskaran lain di Surabaya dan sekitarnya secara sporadis menggempur pos-pos pertahanan pasukan Inggris.
Laskar Hizbullah Surabaya bersama pejuang lainnya menyerbu pos pertahanan Inggris di Batumiring, demikian halnya dengan pasukan Inggris di Gedung Internatio juga mendapatkan serangan dari Hizbullah Surabaya Timur.
Sementara, Hizbullah Surabaya Selatan bersama pejuang lainnya mengepung pasukan Inggris yang berada di Gedung HBS, BPM, stasiun Kereta Api SS, kantor kwedanan. Sedangkan kesatuan Hizbullah bantuan dari daerah Sepanjang bersama dengan TKR dan PRI menggempur pasukan Inggris yang bertahan di stasiun kereta api trem OJS Joyoboyo.
Menyadari gelombang besar, yang merupakan pengaruh dari Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad NU tersebut, seorang pemuda yang sebelumnya berprofesi sebagai wartawan Domei, Bung Tomo memiliki inisiatif untuk turut berperang. Bung Tomo bersama rakyat melahirkan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) dan terhitung sejak 12 Oktober 1945 menjadi pucuk pimpinan di BPRI.
Sebelum menggelorakan semangat juang melalui corong radio dan memekikkan takbir untuk membakar semangat perjuangan para pejuang, Bung Tomo juga menemui Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng sebagaimana Soekarno dahulu juga menemui tokoh kharismatik NU ini sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Pada 10 November 1945, sebuah pemberontakan massal terhadap pasukan Inggris pecah, dalam pemberontakan massal ini banyak pengikut NU yang terlibat aktif, selain itu banyak juga pejuang muda NU yang menggunakan jimat yang diberikan kyai desa kepada mereka. Pemberontakan massal ini adalah ujung dari fatwa Resolusi Jihad yang dicetuskan pada tanggal 22 Oktober 1945.
Selain itu, setelah kemerdekaan Republik Indonesia, para pemimpin agama hanya mengakui pemerintahan Indonesia yang sah dan yang wajib ditaati, ditambah pemerintahannya adalah muslim. Sehingga begitu terasa ada ancaman-ancaman yang membayangi pemerintahan yang resmi, tidak ada lagi sikap kompromistis yang ada adalah sikap revolusioner dan radikal.
Kalian bisa kolaborasi buat bantu Bincangmuslimah.com terus menyajikan artikel-artikel yang bermanfaat dengan berbelanja minimal 150.000 di Allofresh. Dapatkan rangkaian cashback dengan download aplikasinya di sini dan masukan kode AFBM12 saat berbelanja