BincangMuslimah.Com – Ghibah adalah salah satu aktifitas yang sulit kita hindari. Hampir setiap hari sepertinya tak henti membicarakan keburukan orang lain. Padahal kita sudah tahu bahwa ghibah adalah perbuatan yang Allah benci, sesuatu yang mendatangkan dosa. Tapi mengapa kita sangat sulit menghindari ghibah? Imam Ghazali menjelaskan penyebab seseorang melakukan ghibah dalam kitabnya yang fenomenal, Ihya Ulumuddin.
Allah sendiri sudah menyebutkan larangan tersebut dalam surat al-Hujurat ayat 12:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.
Menghibahi orang lain diseumpamakan dengan memakai bangkainya. Betapa Allah hendak menunjukkan bahwa ghibah merupakan perbuatan yang begitu keji. Tapi masih saja sulit menjauhkan diri dari perbuatan ini.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali merangkum tujuh penyebab seseorang melakukan ghibah yang berdasarkan pada pengamatannya:
Pertama, marah. Ya, rasa marah terhadap orang lain membuat seseorang ingin membeberkan aibnya kepada saudaranya yang lain. Jika kemarahan yang luar biasa, atau sebab kemarahan yang lama dipendam di dalam benaknya lalu ditumpahkan, biasanya seseorang mengeskpresikannya dengan membongkar aib orang yang ia jadikan objek kemarahan.
Di era digital seperti ini, dorongan untuk melakukan ghibah semakin besar. Penggunaan media sosial yang tinggi menjadikan seseorang melakukan ghibah, membeberkan aib saudaranya sehingga makin luaslah pembacanya. Pembaca pun turut berkomentar, dengan kata-kata kasar, cercaan, makian, padahal ia tak mengetahui sekelumit kehidupan orang yang dikomentari. Alangkah baiknya, kita menggunakan media sosial dengan bijaksana, gunakanlah untuk hal yang bermanfaat, bukan untuk menjatuhkan seseorang atau melakukan hate speech atau ujaran kebencian.
Kedua, agar diterima di pergaulan. Salah satu cara agar kita bisa diterima dalam suatu kelompok adalah mengikuti kebiasaan mereka. Sering, kan kita masuk di suatu percakapan yang ternyata di dalamnya sedang membicarakan orang lain? Tentu tidak mudah untuk menghentikan obrolan itu karena kitia pasti dianggap berlebihan, kita justru turut larut dalam percakapan membahas aib orang lain. Bahkan menambahi informasi buruk tentang objek yang jadi bahan pembicaraan.
Ketiga, merasa terhakimi. Seringkali kita merasa bahwa seseorang hendak menyerang kita atau membicarakan keburukan kita. Sebelum mereka melakukan itu, kita pun menyerangnya terlebih dahulu. Maka cepat-cepatlah kita membeberkan keburukannya kepada publik dan mencari sisi-sisi terlemahnya. Hal ini kita lakukan agar seseorang yang hendak menyerangnya sudah jatuh terlebih dahulu derajat dan posisinya di mata publik. Agar publik tak mempercayai ucapan dan informasi yang disampaikannya tentang keburukan kita.
Keempat, mencari-cari alasan. Saat kita merasa terjebak oleh situasi, secepat mungkin kita mencari cara atau celah untuk keluar. Begitu juga saat kita merasa tertuduh atau melakukan bantahan atas tudingan orang lain, kita malah melemparkan kesalahan tersebut kepada objek atau suadara lain. Atau dalam ilmu psikoloanilis disebut rasionalization sebagai sistem pertahanan ego milik seseorang. Rasionalization adalah cara seseorang untuk melindungi dirinya dari kecemasan yang timbul akibat tudingan dari orang lain, dengan cara melemparkannya kepada objek atau orang di luar dirinya bahkan melebih-lebihkan.
Kelima, keinginan untuk meninggikan dirinya. Kecenderungan tersebut apabila melekat pada diri kita akan membuat kita beranggapan bahwa seseorang yang di luar kita tak memiliki apa-apa. Maka selama keinginan tersebut masih melekat pada dirinya, kecenderungan untuk membicarakan keburukan orang lain akan terus ada. Meski secara tidak langsung sebenarnya ia ingin mengangkat dirinya.
Keenam, hasad atau iri. Biasanya rasa dengki atau iri ini yang tersimpan tertuju pada orang yang populer, dicintai oleh banyak orang. Nah, rasa iri tersebut akan berdampak pada keinginan untuk menjatuhkan objek atau orang yang populer tersebut. Salah satu cara menurunkan reputasinya adalah dengan membuka aib-aibnya. Apapun itu, ia akan melakukan cara untuk membuat publik tidak menaruh rasa cinta, hormat dan kekaguman.
Ketujuh, bercanda. Seringkali bercanda itu dengan hal-hal yang dilarang oleh agama kita, salah satunya adalah ghibah. Padahal, seharusnya bercanda tanpa membuat orang lain tersinggung, membuat orang marah. Salah satu cara membuat orang di depannya tertawa adalah dengan membicarakan keburukan orang lain.
Kedelapan, meremehkan dan menghina. Bahkan terkadang, meremahkan orang lain atau merendahkannya bisa dilakukan di depan orang tersebut atau juga di belakangnya. Jika melakukannya di belakang, maka caranya adalah dengan menyebutkan keburukan-keburukannya.
Kedelapan sebab atau dorongan untuk melakukan ghibab adalah hasil analisis Imam Ghazali terhadap orang-orang yang melakukan ghibah. Tentu, ini menjadi sebuah tamparan bagi kita semua, bahwa ternyata ghibah adalah aktivitas yang sangat sering kita lakukan bahkan setiap hari. Semoga apa yang telah kita ketahui mengenan sebab-sebab tersebut menjadi koreksian bagi kita semua. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosa kita. Aamiin. Wallahu a’lam bisshowab.