BincangMuslimah.Com – Memperjuangkan hak perempuan bukan semata-mata untuk meminta hak kesetaraan, namun juga ingin menghilangkan sistem patriarki yang tidak jarang masih terjadi di kalangan masyarakat dan berimbas pada hilangnya hak perempuan. Selain itu, perempuan kerap mengalami kekerasan dan penindasan akibat sistem tersebut. Salah satu tokoh yang gigih dan menginspirasi dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan ini adalah Nyai Walidah yang menjadi tokoh di balik berdirinya organisasi Aisyiyah.
Nyai Walidah atau Nyai Siti Walidah adalah putri dari seorang ulama besar, KH. Muhammad Fadli yang masih memiliki hubungan kerabat dengan keluarga istana di Yogyakarta. Nyai Walidah lahir di Yogyakarta, 3 Januari 1872. Beliau merupakan istri dari Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri organisasi Islam, Muhammadiyah. Sehingga beliau juga dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan.Â
Beliau dikenal sebagai tokoh sekaligus ulama perempuan yang sangat peduli dan berjuang untuk emansipasi erempuan. Bersama suaminya, Nyai Walidah mendirikan organisasi Sopo Tresno pada tahun 1914. Organisasi ini adalah kelompok diskusi yang berfokus pada pendalaman makna al-Quran khususnya tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan. Organisasi ini juga diperuntukkan sebagai wadah bagi perempuan untuk belajar membaca, menulis dan mempelajari banyak hal lainnya.Â
Nyai Walidah juga menjadi pemimpin Aisyiyah yang merupakan perbesaran dari organisasi Sopo Tresno yang resmi berdiri pada tanggal 22 April 1917 dan diresmikan sebagai bagian dari Muhammadiyah pada tahun 1922. Di bawah naungan organisasi Aisyiyah ini, berdirilah sekolah-sekolah khusus perempuan. Beliau pun semakin gigih untuk memperjuangkan hak perempuan.Â
Di dalam perjuangannya, beliau sangat tidak setuju dengan sistem patriarki. Karena menurut beliau, di dalam rumah tangga, perempuan adalah mitra bagi suaminya. Sehingga perempuan juga memiliki hak dalam kendali rumah tangganya. Dalam artian, perempuan juga memiliki menyuarakan pendapatnya yang bisa dipertimbangkan dalam mengambil keputusan dalam berumah tangga.Â
Setelah Kyai Ahmad Dahlan wafat, Nyai Walidah bukan hanya memimpin Aisyiyah saja, namun juga organisasi Muhammadiyah untuk melanjutkan perjuangan suaminya. Beliau bahkan pernah memimpin kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Namun, pada tahun 1943, organisasi Aisyiyah dilarang oleh penjajah Jepang (Nippon).Â
Akan tetapi hal ini tidak menyurutkan semangatnya untuk mencerdaskan generasi bangsa. Sehingga beliau membuat strategi dengan masuk ke sekolah-sekolah Jepang dengan maksud untuk mengajar anak-anak Indonesia. Selain itu, Nyai Walidah juga sering dimintai nasihat oleh para petinggi negeri pada saat itu termasuk Ir. Soekarno.Â
Sehingga di dalam sejarah, Nyai Walidah bukan hanya tokoh perempuan saja, melainkan juga pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada masa penjajahan, Nyai Walidah kerap kali menyediakan makanan dan menjadikan rumahnya sebagai tempat berlindung. Beliau juga merupakan perempuan yang berprinsip dan memiliki keimanan yang kuat. Hal ini dibuktikan dengan penentangannya saat rakyat Indonesia dipaksa untuk melakukan ritual-ritual, menyanyikan lagu kebangsaan jepang, hormat ke arah matahari dan bendera Jepang dan sebagainya.
Pada tanggal 31 Mei 1946, Nyai Walidah menghembuskan nafas terakhirnya di Yogyakarta dalam usia 74 tahun. Meski demikian, perjuangan dan pengabdian Nyai Walidah kepada bangsa Indonesia, tetap dirasakan hingga saat ini. Bahkan karena banyaknya jasa Nyai Walidah dalam perjuangan kemerdekaan, beliau juga dinobatkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971.Â
Tidak sampai disitu, perjuangan Nyai Walidah dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan juga masih dapat dirasakan sampai sekarang terbukti dengan eksisnya organisasi Aisyiyah. Meskipun sempat dilarang oleh Jepang, untuk menaungi perempuan dan bergerak bersama perempuan dalam mempertahankan haknya.Â