BincangMuslimah.Com – Imam Abu al-Hasan bin Ismail al-Asy’ari lahir di Basrah pada 260 H dan wafat di tahun 320 atau 324 H. Beliau lahir saat sedang ramai-ramainya terjadi perdebatan antar kelompok Islam. Kala itu, Imam Abu al-Hasan hidup di antara kelompok Muktazilah yang sedang gencar menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka. Saking ramainya, bahkan saat itu terjadi perselisihan di antara kaum Muktazilah dengan ahli Hadits dan ahli Fikih .
Syekh Abu al-Zahra’ dalam bukubincnya, al-Madzâhib al-Islâmiyyah, menuturkan bahwa saat itu kelompok Muktazilah menyerang habis-habisan ahli Hadits dan ahli Fikih. Hebatnya, ulama ahli Hadits dan ahli Fikih sama sekali tidak bergeming dengan ancaman-ancaman Muktazilah. Mereka tetap bersikeras mempertahankan keyakinannya selama ini. Sekalipun siksaan-siksaan Muktazilah terus dilancarkan kepada mereka.
Peristiwa itu lantas memunculkan kekecewaan dan kebencian umat muslim terhadap kelompok Muktazilah. Kaum muslim seketika dibuat lupa dengan kebaikan serta jasa-jasa Mu’tazilah terhadap Islam. Yang menancap dalam hati mereka saat itu justru kelicikan (sebab Muktazilah mempengaruhi Khalifah saat itu untuk menghukum mereka yang tidak mengikuti keyakinan mereka) dan kebengisan kelompok Muktazilah.
Sampai di akhir abad ketiga Hijriyah, hadir lah dua sosok agung yang mampu meredamkan kekacauan saat itu. Mereka adalah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dari Basrah dan Imam Abu Manshur al-Maturidiy. Keduanya adalah sosok yang gagah berani melakukan perlawanan kepada kelompok Muktazilah.
Mulanya, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari merupakan bagian dari pengikut Muktazilah. Beliau mempelajari Islam bersama dengan orang-orang Muktazilah. Sehingga beliau mengerti betul isi pemikiran-pemikiran mereka. Berikut juga cara, gaya bahasa, metode, hingga karakteristik mereka dalam berargumentasi. Pun, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari banyak menguasai ilmu filsafat berkat pembelajarannya selama masih menjadi bagian dari mereka.
Akan tetapi, di usianya yang ke empat puluh beliau terilhami untuk meninggalkan aliran Muktazilah dan menyerukan kembali akidah Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW. kepada umat muslim. Sebab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari telah mengerti dan memahami karakteristik Muktazilah dalam berargumentasi, maka beliau melakukan trik serupa dalam argumentasinya untuk membantah argumentasi mereka.
Imam Ibnu ‘Asakir dalam bukunya “Tabyîn Kadzb al-muftari fî mâ Nusiba ilâ al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ariy” menjelaskan, “Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah guru dan imam kita. Beliau menjadi pengikut Mu’tazilah hingga di usia empat puluh tahun. Lantas di usianya yang ke empat puluh tahun tersebut, beliau memutuskan untuk mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia. Setelah lima belas hari lamanya, beliau berjalan ke masjid dan berseru di atas mimbar, ‘Hadirin sekalian! Selama mengasingkan diri, aku bertafakur. Aku menemukan diriku terhenti di antara dua hal, sedang aku tidak dapat memutuskan mana yang hak dan mana yang bathil. Kemudian, aku meminta petunjuk kepada Allah SWT. Maka Allah SWT. menuntunku kepada akidah/keyakinan yang telah aku tuliskan dalam buku-buku ini. Sehingga aku melepas segala hal yang telah aku yakini selama ini (akidah Muktazilah), sebagaimana aku melepaskan pakaianku ini,’ sembari beliau melepas kain bagian luar pakaiannya dan melemparnya. Beliau kemudian menyerahkan beberapa buku yang sedang ia bawa saat itu kepada orang-orang yang hadir. Di antaranya kitab al-Luma’, Kasyf al-Asrâr wa Hatk al-Asrâr (berisi tentang cela-cela dan aib-aib kelompok Muktazilah), dan lain-lain.”
Setelah membaca tulisan-tulisan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari tersebut, ahli Hadits dan ahli Fikih sebagai bagian Ahlussunnah wal Jama’ah lantas mangamini keyakinan-keyakinan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, menyatakan diri menganut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan menjadikan beliau sebagai imam mereka hingga mazhab mereka (Ahlussunnah wal Jama’ah) dinisbatkan kepada Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Hal ini kemudian diikuti oleh umat Islam generasi setelahnya.
Demikian lah ulasan singkat kisah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dari seorang pengikut Mu’tazilah hingga menjadi Imam bagi umat muslim. Dari sini mungkin kita akan bertanya-tanya, mengapa Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari yang pada akhirnya mampu menghadapi serangan-serangan Muktazilah, bukan salah satu ulama dari kalangan ahli Hadis dan shli Fikih?
Sederhananya, hal ini sebab kalangan ahli Haits dan ahli Fikih sedari awal telah menjaga jarak dari ilmu kalam dan ilmu filsafat. Mereka fokus menelaah persoalan-persoalan hadits Rasul, atau persoalan hukum-hukum fikih beserta proses pengambilan hukumnya. Oleh sebab itulah, Imam Abu al-Hasan al-Asyari sebagai sosok yang memahami karakteristik Muktazilah lah yang pada akhirnya dapat membalikkan serangan kepada mereka.
2 Comments