BincangMuslimah.Com – Huda Sya’rawi merupakan seorang nasionalis dan pejuang hak perempuan Mesir, aktivis dan pendiri organisasi feminis Mesir pertama. Sya’rawi lahir pada tahun 1879 di Minya, Mesir dan dibesarkan di Kairo. Ibunya merupakan seorang imigran Turki-Sirkasia bernama Labal Hanim dan ayahnya bernama Sultan Pasha yang merupakan seorang tuan tanah terkaya juga bekerja sebagai pejabat tinggi pemerintahan Mesir. Kehidupannya diselimuti dengan kenyataan di mana ayahnya tidak menikahi ibunya namun memiliki istri resmi.
Sya’rawi memiliki seorang adik lelaki, Umar Sultan yang lahir pada 1881. Dari awal, Sya’rawi menyadari bahwa statusnya sebagai anak tertua tidak ada artinya di hadapan adiknya yang terlahir sebagai lelaki. Umar menerima perhatian lebih dari pada dirinya, dan saat ia meminta kuda seperti yang dimiliki adiknya, ia diberitahu bahwa perempuan tidak pantas menaiki kuda. Sya’rawi seringkali merasa cemburu, menjadi perempuan di dalam dunia yang didominasi oleh lelaki. Saat ia berusia lima tahun, ayahnya meninggal karena menderita sakit ginjal.
Dalam buku biografi yang ia tulis dan dipublikasikan pada tahun 1987 dengan judul Tahun-tahun Harem: Memoar Seorang Feminis Mesir (1879 – 1924), Sya’rawi menerima pendidikan privat dari guru dan menerima pendidikan harian bersama saudara lelakinya. Ia belajar puisi Turki, kaligrafi, bahasa Prancis, dan piano.
Saat berusia Sembilan tahun, Sya’rawi telah menghafal isi Alquran dengan baik. Ia pernah merasa frustasi karena ia tidak bisa memahami apa yang ia hafal tak satupun yang mengajarinya bahasa Arab. Saat Sya’rawi meminta pelajaran grammar Arab, ia ditolak karena perempuan tidak boleh belajar bahasa Arab.
Dalam ingatannya, Sya’rawi mengekspresikan perasaannya kala itu: “Aku menjadi depresi dan mulai abai terhadap studiku, benci terlahir sebagai seorang perempuan karena itu menjauhkan aku dari apa yang ingin aku pelajari. Kemudian, menjadi seorang perempuan membawaku pada perjuangan yang aku rindukan.”
Selanjutnya, saat berusia 11 tahun ia dipaksa masuk dalam kehidupan harem dan sebuah tradisi yang dipaksakan pada perempuan, gadis dan merupakan hal umum yang terjadi di Mesir di kalangan atas dan menengah. Perempuan dan lelaki tinggal terpisah, perempuan ditempatkan di tempat khusus yang disebut harem. Bahkan di dalam rumah, jika Sya’rawi ingin berbicara dengan seorang lelaki, ia melakukannya secara diam-diam.
Pingitan ini mengikuti Sya’rawi di manapun, saat ia pergi keluar, ia harus mengenakan hijab yang menutupi hampir seluruh wajah dan rambutnya. Ia juga mengalami trauma pada usia tiga belas tahun ketika ibunya mengatur pernikahan Sya’rawi dengan pria yang lebih tua tanpa sepengetahuannya. Namun ia berhasil menunda pernikahannya hingga berusia 21 tahun.
Sya’rawi memiliki teman bernama Eugene Le Brun, seorang perempuan Prancis. Dari dialah Sya’rawi memperluas wawasannya mengenai feminisme. Pada tahun 1923 Sya’rawi mengikuti konferensi feminis Internasional. Dari konferensi ini ia mulai mengekspresikan dirinya yang dimulai pembukaan cadarnya. Sya’rawi juga mulai berani muncul di ruang public yang didominasi laki-laki dan bertekad untuk melanggar peran dan batasan gender tradisional Mesir.
Bersama Le Brun pada 1890-an, mereka membuka salon perempuan pertama di Kairo. Kala itu, ini dijadikan sebuah ruang public di mana para perempuan dapat bertemu untuk membahas dan belajar peristiwa terkini. Juga memperdebatkan berbagai isu mulai dari pendidikan hingga hak-hak perempuan dalam Islam. Pada tahun 1900 Sya’rawi mendirikan klinik medis untuk perempuan dan anak serta membuat kuliah umum perempuan pertama di Kairo. Masa ini menjadi signifikan bagi perempuan Mesir. Ditandai dengan banyaknya perempuan Mesir yang meninggalkan praktik pengasingan karena mereka terlibat dalam aktivitas amal dan amal. Perempuan Mesir juga mulai masuk dalam profesi guru dan pers.
Pada tahun 1919 hingga 1922 memainkan peran utamanya dalam gerakan nasionalis. Ia sangat berkontribusi berjuang bersama orang Mesir untuk mendapatkan kemerdekaan dari Inggris. Ia juga mendapatkan dukungan Komite Sentral Wanita Wafdist (WWCC) yang mana ia ditunjuk sebagai presiden terpilih. Ia memimpin memobilisasi demonstrasi perempuan, mengirimkan petisi dan protes kepada otoritas kolonial dan pemerintahan Barat. Bahkan ia juga mengumpulkan dana. Bersama WWCC Sya’rawi mengunjungi sekolah-sekolah perempuan untuk berpartisipasi dalam upaya nasionalis.
Pada tahun 1923 ia mendirikan Egyptian Feminist Union (EFU) sebagai bentuk pemajuan agenda feminis yang membahas agenda social, ekonomi dan perjuangan untuk kemerdekaan penuh. Sebulan setelah mendirikan partai ini, dikeluarkan undang-undang agar semua perempuan diharapkan mundur ke rumah sebagai warga negara kelas dua. EFU marah dengan penghinaan ini dan menegaskan adanya hak politik yang setara.
Ia juga menegaskan adanya reformasi hukum dan kesempatan pendidikan yang setara bagi perempuan. Puncaknya pada tahun yang sama, bersama EFU ia berhasil mendobrak segala bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Akhirnya Sya’rawi dan kaum feminis berhasil melawan patriarki.
Pada tahun 1947 Sya’rawi wafat, ia meninggalkan kemajuan bagi perempuan Mesir. Mulai dari kemajuan dalam pekerjaan, pendidikan dan lahirnya reformasi hukum keluarga yang mengatur usia minimal untuk menikah. Semua pemikiran feminis Sya’rawi dipengaruhi dari pengaruh pemikiran Barat.