BincangMuslimah.Com – Farha Ciciek, seorang aktivis perempuan yang berasal dari Ambon keturunan Arab Jawa. Ia dilahirkan pada 26 Juni 1963 dan memulai perjalanan hidupnya dengan menjadi aktivis perempuan dan pekerja kemanusiaan. Dilatarbelakangi pengalamannya di masa kanak-kanak dan beranjak remaja, ketika tinggal bersama keluarganya di Ambon, Provinsi Maluku.
Farha Ciciek juga mengaku hidup dalam dunia kecil yang kental dengan budaya patriarki, Farha kecil merasakan langsung diskriminasi yang diterapkan ayahnya dan keluarga atas nama kehormatan dan konstruksi sosial. Ia baru merasa lepas dari genggaman patriarki saat kemauannya untuk melanjutkan kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dikabulkan ayahnya. Ia melanjutkan pendidikan dengan memilih program studi teologi dan filsafat. Sebuah pengalaman pahit hidup ini menjadi suatu pemicu untuk terus berjuang melawan diskriminasi atas nama perempuan.
Menggeluti bidang tersebut, membuatnya tercerahkan dengan memperoleh pengetahuan baru bahwa tafsiran agama juga digunakan untuk mendiskriminasi perempuan. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ini menempuh pendidikan S2 di program studi Sosiologi Universitas Gadjah Mada tahun 1995.
Beliau sempat mendapat beasiswa di Australian National University dengan penelitian mengenai dinamika Pondok Pesantren al-Mukmin Surakarta pada tahun 2005-2006. Selain menggeluti dunia pendidikan, ia juga aktif di banyak LSM dan komunitas.
Sebut saja Kalyanamitra Woman Centre, Perhimpunan Pengembangan Pesantren Masyarakat (P3M), RAHIMA (Pusat Pendidikan dan Informasi Islam & Hak-hak Perempuan), Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) adalah beberapa organisasi yang diikutinya. Selain menjadi aktivis, Farha Ciciek juga adalah peneliti dan konsultan dengan banyak publikasi paper penelitian maupun buku.
Sebelum perjalanan diatas, ia kerap menjadi pendamping bagi penyintas bom Bali (2002) dan JW Marriott (2003). Ia juga bergabung dalam Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) demi mendampingi para korban pemerkosaan saat huru-hara 1998 yang umumnya warga Indonesia peranakan Cina. Sejumlah aktivis dan pekerja kemanusiaan yang bergabung TRK diantaranya adalah rohaniawan Sandyawan Sumardi serta beberapa pekerja kemanusiaan dengan latar agama dan keyakinan yang berbeda.
Bermanfaat bagi sesama menjadi kata kunci dalam misi kemanusiaan Farha Ciciek. Bersama suaminya, Suporahardjo, ia memulai membangun sebuah komunitas bagi anak-anak dan remaja. Komunitas itu bernama Tanoker. Dikutip dari web Tanoker.org, nama Tanoker diambil dari bahasa Madura yang berarti kepompong. Dengan semboyan “bersahabat, bergembira, belajar, berkarya”, anak-anak yang bergabung dalam Tanoker bisa berubah layaknya ulat yang buruk rupa menjadi kupu-kupu indah yang bisa terbang bebas.
Untuk mewadahi semua potensi, terdapat tujuh kelompok yang dibuat berdasarkan minat anak-anak di Tanoker. Ketujuh kelompok tersebut di antaranya permainan tradisional, membaca-menulis, memasak, olahraga, musik, menari, serta melukis. Setiap bulannya, anak-anak ini akan diminta untuk menampilkan karya sesuai kelompoknya.
Komunitas Tanoker ini terletak di desa Ledokombo Jember, Jawa Timur. Awalnya tak mudah bagi mereka untuk membangun komunitas ini. Mengingat wilayah Ledokombo ini dikenal dengan penduduknya yang memiliki tingkat kemiskinan dan tindak kejahatan yang tinggi. Namun setelah Tanoker didirikan, anak-anak yang awalnya suka berkeliaran di jalanan, kini memiliki wahana belajar dan bermain yang lebih bermanfaat bagi masa depan mereka.
Kini Tanoker tidak hanya sebagai berhasil mengubah kebiasaan dan semangat hidup masyarakat Ledokombo, namun telah berhasil menjadikan Ledokombo sebagai destinasi wisata di Jember. Berbagai lapisan masyarakat mulai banyak yang berkunjung ke Ledokombo. Menariknya lagi, Tanoker juga rutin menyelenggarakan Festival Egrang bertaraf internasional setiap tahunnya.
Demikian biografi singkat tentang Farha Ciciek, seorang aktivis perempuan berdarah Arab-Ambon yang berjuang di ranah pendidikan dan kemanusiaan. Meski merupakan keturunan Arab, cintanya pada Indonesia begitu besar hingga melakukan banyak perubahan dan pergerakan.