BincangMuslimah.Com- Tafsir surah an-Nisa ayat 4 memaparkan tentang hukum dan ketentuan jumlah mahar yang harus suami berikan kepada istri dalam sebuah pernikahan. Mahar atau maskawin adalah salah satu syarat sahnya pernikahan dalam Islam. Berikut adalah beberapa hukum dan ketentuan terkait jumlah mahar dalam Alquran.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً، فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah wanita-wanita yang kalian nikahi maskawinnya secara sukarela. Lalu bila mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S an-Nisa ayat 4)
Kajian Bahasa
Ayat ini menjelaskan bahwa mahar disebut sebagai “shaduqat“dan dalam konteks lain disebut sebagai shadaq. Di mana dua kata tersebut berasal dari rumpun kata sidiq, maknanya mencakup perasaan jujur dan hati yang tulus. Artinya, mahar adalah harta yang diberikan dengan ketulusan hati dan kesucian, sebagai wujud cinta kepada calon istri yang akan dinikahi.
Adapun kata “nihlah“, ulama mufassir berbeda pendapat dalam memaknainya. Ada yang berpendapat sebagai kewajiban, sebagai pemberiaan dan hibah, atau dari kesenangan hati (‘an thibi nafsin).
Siti Aisyah, Qatadah, dan Ibnu Zaid menafsirkan bahwa makna nihlah adalah kewajiban. Sebab secara bahasa kata “nihlah” bermakna agama, syariat, dan mazhab sehingga substansi makna ayat adalah “Berikanlah kepada para wanita mahar-mahar mereka karena hal itu merupakan ajaran agama yang wajib dilakukan.” (Tafsir Ibnu Katsir 2/234)
Al-Kalbi dan Ibnu Juaraij menafsirkan nihlah dengan makna pemberian dan hibah sehingga substansi makna ayat adalah “Berikanlah kepada para wanita mahar-mahar mereka, karena mahar merupakan pemberian.” Sementara Sementara Abu Ubaidah memaknainya, kesenangan hati. Sebab kata “nihlah” secara bahasa berarti pemberian tanpa imbalan. Artinya, Allah memerintahkan suami untuk memberikan mahar kepada istrinya dengan kerelaan tanpa tuntutan imbalan apapun darinya.
Sebab Turunnya Ayat
Dahulu jika seorang laki-laki ingin menikahi perempuan, ia harus membayar mahar kepada wali perempuan tersebut. Sebagaimana riwayat dari Abu Shalih, ia berkata, ‘Ada seorang laki-laki ketika menikahkan anak perempuannya maka ia mengambil maharnya tanpa memberikan kepadanya. Kemudian Allah melarang mereka dari perbuatan tersebut dan Allah menurunkan ayat 4 surah an-Nisa. (Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, h. 71)
Karena itu mufassirin berbeda pendapat tentang konteks ayat ini untuk suami atau wali perempuan. Melihat riwayat sababun nuzul ayat ini untuk para wali perempuan agar tidak menguasai mahar ketika menikahkan anaknya. Tetapi menurut Imam at-Thabari yang paling tepat konteks ayat ini yakni kepada para suami agar memenuhi mahar istrinya. Sebab ayat sebelumnya berbicara terhadap suami agar berperilaku adil terhadap istri, dan tidak ada petunjuk apapun yang dapat mengalihkan ayat keempat ini keluar dari konteks tersebut.
Ragam Tafsir
Wahbah al-Zuhaili menerangkan bahwa pemberian mahar kepada istri adalah kewajiban, karena sesungguhnya faraj perempuan adalah suci dan tidak boleh memanfaatkannya tanpa mahar yang telah ditetapkan. Baik dengan mengungkapkan mahar tersebut secara terperinci saat akad nikah maupun tidak.
Ia juga menegaskan bahwa mahar bukanlah upah untuk mengakses faraj perempuan. Karena Allah telah menjadikan pernikahan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan biologis dan memiliki keturunan, dan ini adalah keinginan oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, mahar pada dasarnya adalah pemberian dari Allah dan ini adalah kesepakatan secara universal. (Tafsir al-Munir 2/579)
Sementara Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Ahkam al-Quran li Imam as-Syafi’i menyebutkan ada tiga kemungkinan hukum yang dapat diambil dari ayat mahar. Pertama, mahar menjadi wajib hanya jika ditetapkan sendiri oleh pihak laki-laki, baik sudah berhubungan badan ataupun belum. Jika ia tidak menetapkan jumlah maharnya, maka tidak wajib baginya untuk membayar mahar.
Kedua, mahar itu menjadi wajib bersamaan dengan adanya akad nikah, meskipun tidak menyebutkan jumlah maharnya saat akad serta meskipun belum berhubungan badan sama sekali. Ketiga, mahar itu pada dasarnya tidak wajib. Ia menjadi wajib membayaenya jika terjadi pada dua keadaan, yaitu telah menetapkan mahar dan telah menyebutkan ketika akad nikah dan ketika sudah melakukan hubungan badan, sekalipun belum menyebutkan jumlah maharnya saat akad nikah.
Al-Baihaqi kemudian menyimpulkan bahwa Imam Syafi’i memilih kemungkinan ketiga dengan memberi dukungan dalil-dalil yang ada. Misalnya dalam surah al-Baqarah: 236 yang menunjukkan bahwa sah melaksanakan akad nikah meskipun pihak laki-laki belum menetapkan jumlah mahar yang akan ia berikan kepada pihak istri. Juga tidak ada kewajiban untuk membayarkan mahar jika terjadi perceraian sebelum adanya hubungan badan.
Namun jika sebelumnya sudah menentukan jumlah mahar dan terjadi perceraian sebelum hubungan badan, maka wajib untuk membayar setengah dari jumlah mahar tersebut, sebagaimana penjelasan dalam surah al-Baqarah ayat 237.
Ketentuan Jumlah Mahar
Adapun ketentuan batasan minimal ataupun maksimal terkait mahar ulama juga berbeda pendapat tentang ini. Imam Syafi’i dan mayoritas ulama menyatakan bahwa tidak ada batasan apapun. Maka sah memberikan mahar berapapun jumlahnya, selama mahar itu memiliki nilai materi ataupun ataupun jasa. Dengan syarat telah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak.
Sementara Imam Malik pernah menyatakan mahar itu minimal seperempat dinar. Dalam madzhab Hanafi menegaskan bahwa jumlah minimal mahar itu senilai satu dinar emas atau sepuluh dirham. Imam an-Nakha’i menyebutkan bahwa jumlah minimalnya adalah empat puluh dirham.
Menurut Gus Baha dalam ceramahnya saat menerangkan tafsir surah ini sebaiknya menentukan mahar dengan kesepakatan yang baik dan mencerminkan kemampuan finansial serta nilai-nilai budaya. Gus Bahab juga mengingatkan bahwa mahar tidak perlu berlebihan, tetapi harus cukup untuk memberikan rasa aman dan menghormati martabat perempuan. Ini mencerminkan esensi dari hubungan yang saling menghargai dan mencintai. Wallah a’lam.[]
1 Comment