BincangMuslimah.Com – Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta tengah viral di media sosial. Di Twitter, “Cilegon” tengah tranding dan banyak dibicarakan netizen. Begitupun di Facebook dan Instagram. Topik ini tengah hangat dibicarakan.
Dalam video disertai narasi tersebut, Wali Kota Cilegon dan wakilnya turut serta dalam menandatangani penolakan pendirian gereja di Cilegon. Peristiwa itu terjadi pada Rabu (7/9). Dalam video tersebut, massa yang menamakan diri Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon unjuk rasa aspirasi soal penolakan rencana pendirian gereja Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon.
Lebih lanjut dalam video tersebut terlihat, bahwa massa aksi yang mendatangi kantor wali kota tersebut diterima di ruang rapat. Kemudian, massa kemudian mendesak orang nomor satu di Kota Cilegon tersebut untuk ikut menandatangani kain putih sebagai bentuk penolakan.
Jika melirik ke belakang, sebagaimana dikutip dari Tirto.id, dalam artikel Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme, penolakan pembangunan gereja di Cilegon bukan barang baru. Kasus ini sudah berkepanjangan, Setara Institute pada tahun 2010 sudah memuat laporan bahwa membangun gereja untuk rumah ibadah umat Nasrani di Cilegon sangat sulit. Dalam laporan berjudul Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2010, terungkap fakta tersebut.
Penolakan keberadaan gereja di Cirebon juga terus berlanjut. Misalnya, kejadian penolakan kembali terulang pada 2017. Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa warga protes saat Gereja Baptis Indonesia Cilegon mengadakan ibadah massal, dan dibilang gereja ilegal. Yang bikin ironis lagi, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Cilegon, pernah mengatakan di Cirebon tak usah ada gereja agar masyarakat tenang dan tidak ada keributan.
Sikap yang ditonjolkan oleh Wali Kota Cilegon tersebut sangat disayangkan. Pasalnya, itu termasuk tindakan diskriminasi. Terlebih kita hidup di negeri yang beragam, seperti Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi, jika alasan pelarangan tersebut dilatari motif “agama” dan “menjaga iman”, itu sungguh alasan yang keliru dan tidak punya dasar.
Dalam sejarah Islam, sahabat Nabi dan pemimpin Islam terdahulu senantiasa menjadi hubungan harmonis dengan non muslim. Bahkan sahabat Nabi dan Khalifah Umar bin Khattab dalam masalah rumah ibadah senantiasa mengizinkan pembangunan rumah ibadah non muslim termasuk gereja. Juga menjaga gereja agar tak beralih guna menjadi masjid.
Fakta tersebut diungkapkan oleh Ali Muhammad al-Shalabi lewat kitab al-Daulah al-Utsmaniyah: ‘Awamilun Nuhudh wa Asbabus Suquth, pada tahun ke-22, Islam sudah menyebar ke Asia Tengah. Kendati demikian, khalifah Umar bin Khattab dalam perjalanan penaklukan, Umar senantiasa menghormati non-Muslim, dan menjaga rumah ibadah mereka (termasuk gereja) tetap berdiri, tidak dirobohkan dan tidak beralih fungsi menjadi masjid.
Lebih jauh lagi, Imam Thabari dalam kitab Tarikh ath-Thabari, memuat sejarah bahwa Umar bin Khattab pernah membuat perjanjian damai dengan masyarakat Nasrani di al-Quds, bahwa gereja mereka akan tetap aman. Demikian juga mereka diberikan kebebasan untuk menganut agama, tidak akan ada pemaksaan.
Perjanjian damai antara Umar dan umat Kristen al-Quds tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Khalid bin Ubadah, mengandung poin-poin perlindungan Khalifah pada jiwa, harta dan kebebasan masyarakat Kristen. Tidak akan ada pemaksaan agama, dan tempat ibadah akan dijaga sebaik mungkin. Teks perjanjian tersebut sebagaimana berikut.
عن خالد وعبادة، قالا: صالح عمر أهل إيلياء بالجابية، وكتب لهم: بسم الله الرحمن الرحيم، هذا ما أعطى عبدُ الله عمرُ أميرُ المؤمنين أهلَ إيلياء من الأمان؛ أعطاهم أمانًا لأنفسهم وأموالهم ولكنائسهم وصلبانهم وسقيمها وبريئها وسائر ملتها: أنه لا تُسكَنُ كنائسُهم ولا تُهدَمُ ولا يُنتَقَصُ منها ولا مِن حَيِّزها ولا من صَلِيبهم ولا من شيء من أموالهم، ولا يُكرَهون على دينهم، ولا يُضَارَّ أحد منهم.
Artinya: “Dari Khalid dan Ubadah, sahabat Umar bersepakat damai dengan penduduk Elia di Jabiyah. Umar menulis surat untuk mereka, “Bismillahirrahmanirrahim. Inilah pemberian hamba Allah, Umar, pemimpin orang-orang mukmin untuk penduduk Elia, yang berupa keamanan, bagi jiwa, harta, gereja, dan salib mereka, juga orang sakit, sehat, dan semua agama penduduk Elia. Gereja mereka itu tak boleh ditempati, dihancurkan, dikurangi bentuk gereja dan salib, dan sedikit pun dari harta mereka . Mereka tak boleh dipaksa (meninggalkan) agama mereka. Satu pun dari mereka tak boleh disakiti.”
Pada sisi lain, Umar bin Abdul Aziz dalam sejarah pernah memerintahkan untuk mengembalikan gereja kepada orang Nasrani. Sebab dalam beberapa waktu sebelumnya, gereja di Damaskus sudah beralih fungsi menjadi masjid. Di tangan Abdul Aziz, gereja itu dikembalikan kepada fungsi awal sebagai tempat ibadah orang Kristen.
Sejarah ini diungkapkan oleh Syaikh Al-Baladzuri dalam kitab al Buldan al Futuha wa Ahkamuha, bahwa suatu hari Umar bin Abdul Aziz mendapat laporan terkait sengketa gereja Damaskus yang sudah menjadi masjid. Mendengar laporan tersebut Umar bin Abdul Aziz berkata; Jika Gereja tersebut termasuk bagian dari lima belas gereja pada zaman mereka, maka kamu (orang ajam) tidak berhak atasnya,”. Kemudian, gereja itu kembali menjadi tempat ibadah non muslim.
Demikian kutipan kisah sahabat Nabi dalam membuat kebijakan mengenai rumah ibadah non muslim yang memberi kesempatan dan tidak melakukan diskriminasi.
1 Comment