BincangMuslimah.Com – Mubadalah.id bekerja sama dengan Indonesian Content Creator (ICC), menggelar kelas daring bernama Mubadalah Virtual Class yang diselenggarakan pada 27, 29, dan 30 Oktober 2020. Kelas daring ini diadakan untuk melatih para content creator agar mengedepankan metode tafsir Mubadalah dalam menyajikan tulisan di media, baik yang cetak atau daring maupun di media sosial.
Pelatihan ini diikuti oleh 40 orang, dengan 36 peserta perempuan dan empat diantaranya adalah laki-laki. Acara dimulai dengan pemaparan Fathonah K. Daud, penulis buku Tafsir Ayat-ayat Hukum Keluarga dan Nur Rofiah, dosen program pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta. Keduanya memaparkan tentang betapa pentingnya tafsir progresif untuk keadilan gender dalam Islam yang bisa ditulis dengan metode tafsir mubadalah.
Kelas intensif ini dibimbing langsung oleh Kiai Faqihuddin Abdul Qodir, penggagas metode tafsir mubadalah yang membersamai para peserta dalam mendedah terjemahan ayat al-Qur’an dan hadits dengan metode tafsir mubadalah. Beliau menekankan agar dalam menerjemahkan al-Qur’an dan hadits, kita hendaknya memakai bahasa yang netral, tidak berat sebelah.
Dalam presentasinya, Kiai Faqih menjelaskan tentang tiga hal yang ditekankan dalam metode tafsir mubadalah. Pertama, fokus pada predikat dalam kalimat dan kaitkan dengan prinsip, nilai, dan gagasan dasar. Kedua, menghilangkan subyek dan obyek dalam kalimat. Ketiga, mengungkapkan dalam bentuk yang lebih netral, atau lebih afirmatif kepada keduanya yakni perempuan dan laki-laki.
Selain itu, metode pemaknaan mubadalah mesti didasarkan pada tiga premis dasar. Pertama, Islam hadir untuk perempuan dan laki-laki, sehingga teks-teksnya juga harus menyasar kedua belah pihak.
Kedua, prinsip relasi antar keduanya (perempuan dan laki-laki) adalah kesalingan, bukan hegemoni dan kekuasaan. Ketiga, teks-teks Islam terbuka untuk dimaknai ulang dan untuk memungkinkan kedua premis sebelumnya tercermin dalam setiap kerja-kerja interpretasi.
Selama kelas berlangsung, saat mendedah 20 ayat al-Qur’an dan 20 hadits dari berbagai sumber, masih ditemukan banyak terjemahan yang tidak mengedepankan keadilan, atau bisa dikatakan tidak adil gender. Banyak terjemahan yang masih bias gender, bahkan partiarkis.
Dari beberapa ayat al-Qur’an dan hadits yang dibedah, ada juga yang sudah menggunakan perspektif mubadalah yakni mengedepankan narasi kesetaraan di mana perempuan dan laki-laki ditempatkan setara sebagai sesama manusia.
Metode tafsir mubadalah adalah metode membaca teks untuk menggali makna yang menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai subyek yang sama-sama setara, di mana makna kebaikan darinya diusahakan dan dirasakan bersama oleh laki-laki dan perempuan, begitu pun keburukan yang dilarang, harus dihindarkan dari dan oleh keduanya.
Karena itulah, metode tafsir mubadalah hadir untuk memberikan landasan teologis dan sosial tentang tafsir keagamaan dan pemaknaan realitas yang menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai subyek dalam teks-teks keimanan, amal shalih, ibadah shalat, puasa, haji, hijrah, jihad, kerja-kerja sosial dan ekonomi, serta amar ma’ruf dan nahi munkar.
Mubadalah Virtual Class mengarahkan para peserta agar bisa mengatasi keterbatasan literal dalam teks yang seringnya hanya menyasar perempuan saja, atau laki-laki saja, padahal pesan yang disampaikan dalam ayat al-Qur’an atau hadits tersebut sebenarnya bersifat umum dan mencakup kepentingan keduanya.
Untuk menutup Mubadalah Virtual Class, Zahra Amin selaku redaksi Mubadalah.id memaparkan tentang betapa pentingnya peran perempuan di media. Ia menyatakan bahwa literasi perlu menyentuh berbagai aspek, khususnya dalam menjadikan perempuan sebagai subyek maupun obyek di media.
Literasi yang ramah gender di media mesti digaungkan untuk mengoptimalkan narasi kesetaraan. Menghadirkan perspektif perempuan pun perlu dilakukan agar konten di media tidak hanya bicara tentang halal-haram, surga-neraka, dan perempuan shalihah saja. Sebab, pemikiran dan pengalaman manusia adalah dua sumber yang sah sebagai pengetahuan.[]