“Bagaimana partisipasi perempuan dalam sejarah penafsiran al-Qur’an? ada, tidak ada, atau ada namun tidak tampak?”
___________________________
BincangMuslimah.Com – CRIS (Center for Research and Islamic Studies) yang juga didukung oleh el-Bukhari Institute dalam kajian rutinnya, Kamis, 9 Juli 2020 kembali mendiskusikan seputar kiprah perempuan dalam penafsiran al-Qur’an. Sebagai pembicara kali ini yaitu Dr. Nur Mahmudah, Dosen IAIN Kudus yang juga tergabung dalam Female Qur’an-Hadith Scholars.
Apakah benar keterlibatan perempuan dalam sejarah perjalanan tafsir al-Qur’an itu tidak ada, ataukah hanya tidak tampak? Pertanyaan ini disampaikan oleh Dr. Nur Mahmudah dalam membuka diskusi. Menurutnya, tidak tampak bukan berarti tidak ada. Lalu kenapa bisa tidak tampak? Menurutnya, partisipasi perempuan itu tidak terekam dengan baik, padahal kiprah mereka sejak masa Nabi sudah sangat aktif dan massif dalam mengikuti aktifitas keilmuan, sebut saja periwayatan hadis atau penafsiran al-Qur’an. Oleh karena itu, sangat perlu menulis ulang sejarah mengenai topik tersebut agar kontribusi perempuan menjadi jelas, tidak blur lagi.
Karya tafsir al-Qur’an yang sampai pada kita sekarang seringnya tafsir dari mufassir laki-laki, berlaku pula untuk tafsir dari kalangan sahabat. Literatur sejarah tafsir menyebut Tafsir Ibn Abbas, dokumentasi Al Fairuzabadi (w. 817 H) terhadap penafsiran-penafsiran Ibn Abbas. Riset Abdul ‘Al dalam al-Mufassirun Min as Sahabat juga menyebut banyak studi yang membahas kumpulan penafsiran para sahabat laki-laki, seperti Tafsir Ibn Mas’ud, Tafsir Ibn ‘Umar, Tafsir Khulafaur Rasyidin, Tafsir Jabir bin Abdullah, Tafsir Zubair bin Awwam, Tafsir Talhah bin Ubaidillah dan masih banyak lainnya. Sementara dari kalangan sahabiyyah (sahabat perempuan), hanya ada Tafsir ‘Aisyah.
Meski hanya satu, adanya Tafsir Aisyah mengindikasikan bahwa partisipasi perempuan dalam pasarraya penafsiran al-Qur’an jelas adanya, dan ini diafirmasi oleh Zubayr Siddiqi dalam Women Scholars of Hadith. Siddiqi menyebut nama-nama lain seperti Hafshah, Ummu Habibah, Maimunah dan Ummu Salamah. Mereka aktif dalam aktifitas periwayatan hadis, juga dalam penafsiran al-Qur’an -melalui hadis-. Ini menunjukkan bahwa ada data yang tertinggal, tidak sampai pada generasi sekarang. Ruang yang kosong ini kemudian berusaha diisi dan dilengkapi oleh Dr. Nur Mahmudah melalui risetnya tentang Tafsir Ummu Salamah dengan judul Perempuan dalam Relasi Kuasa Tafsir al-Qur’an: Telaah Corak Tafsir Ummu Salamah. Riset ini kemudian mendapat penghargaan dari Kemenag RI dijadikan sebuah buku.
Sungguh pekerjaan yang tidak mudah, Nur Mahmudah menelusuri dan mengumpulkan informasi tentang Ummu Salamah yang terserak di berbagai literatur melalui data sejarah dari beberapa kitab sirah dan beberapa riwayat tafsiriyah dalam berbagai kitab hadis dan kitab tafsir. Berdasarkan penelusuran tersebut, diketahui bahwa Ummu Salamah termasuk al-Muktsirun min as Sahabat (sahabat yang banyak meriwayatkan hadis). Ia terekam meriwayatkan sebanyak 622 hadis, dan setidaknya ada 44 riwayat tafsiriyah atas 25 ayat al-Qur’an yang bersumber dari Ummu Salamah.
Tafsir Ummu Salamah
Nama aslinya Hindun bint Abi Umayyah ibn al-Mughirah ibn Abdillah ibn ‘Amar ibn Makhzum al-Qurasyiyah. Berasal dari keluarga yang terpandang, ayahnya bernama Hudzaifah (Abi Umayah) dan ibunya bernama Atikah bint Amir ibn Rabi’ah ibn Malik ibn Khuzaimah ibn ‘Alqamah. Suami Ummu Salamah juga masih kerabat Nabi Muhammad, yaitu sepupu dan sepersususan.
Ummu Salamah dan suaminya (Abu Salamah) dapat dikatakan sebagai pemeluk Islam awal yang tangguh, selalu terlibat dalam peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Islam, dua kali hijrah ke Habasyah juga hijrah ke Madinah. Suaminya juga aktif mengikuti beberapa peperangan., termasuk perang uhud, hingga akhirnya meninggal tidak lama setelah pulang dari perang di Qatan.
Selain memiliki nasab yang terhormat, Ummu Salamah juga mempunyai kecerdasan, keberanian dan ketegasan yang diperhitungkan. Setelah menjadi istri Nabi Muhammad SAW, ia pun semakin mudah dan leluasa aktif ikut serta dalam urusan keagamaan. Ia sering sekali terlibat dalam turunnya ayat al-Qur’an, baik sebagai saksi, seperti QS. Al Ahzab [33]: 33, QS. at-Tawbah [9]: 118; penyedia informasi latar belakang turunnya al-Qur’an, seperti QS. Al Hujurat [49]: 6 dan 13; bahkan ia sendiri menjadi penyebab turunnya al-Qur’an, beberapa ayat al-Qur’an turun untuk menjawab protes Ummu Salamah, seperti QS. an-Nisa’ [4]: 32, QS. Ali Imran [3]: 195, QS. Al Ahzab [33]: 35.
Dalam melakukan aktifitas eksegetiknya, Ummu Salamah berpedoman pada penjelasan Nabi, misal di QS. al-Waqiah [56]: 23; asbab nuzul; data sejarah, misal pada surat al-Ahzab [33]: 52 dan 59; informasi qiraat, termasuk qiraat yang tidak mainstream, seperti pada surat az-Zumar [39]: 59. Qiraat yang masyhur berbunyi بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ….(الأية) (dibaca fathah ‘kaf’nya, kata ganti objek untuk laki-laki), sementara informasi dari Ummu Salamah ayat tersebut juga pernah dibaca dengan بَلَى قَدْ جَاءَتْكِ….(الأية) (dibaca kasrah ‘kaf’nya, kata ganti objek untuk perempuan); juga nalar kritisnya, seperti pada surat al-An’am [6]: 159.
Data-data penafsiran di atas juga menunjukkan bahwa Tafsir Ummu Salamah tidak hanya berkaitan dengan persoalan fiqih perempuan, tetapi juga tentang masalah eskatologis, hukum secara umum, keimanan, hingga qiraat. Sementara itu, kualitas sanad tafsir Ummu Salamah ada yang berstatus shahih, hasan dan dha’if yang penyebab dah’ifnya adalah karena ada perawi dalam sanadnya yang lemah hafalan, irsal (meloncat) dan majhul (tidak dikenal).
Menyambung Sanad Penafsiran
Penelitian Nur Mahmudah ini jelas memberi angin segar dan warna baru bagi perkembangan kajian tasfir al-Qur’an. Dokumentasi Tafsir Ummu Salamah yang telah ia tulis berhasil menyambung sanad keilmuan tafsir al-Qur’an generasi sekarang ke generasi awal Islam yang sempat terputus. Tidak berlebihan juga jika riset Tafsir Ummu Salamah ini disejajarkan dengan karya-karya dokumentasi tafsir para sahabat atau sahabiyah yang lain.
Poin yang lebih penting lagi adalah, Tafsir Ummu Salamah ini memberikan banyak informasi baru dalam kajian tafsir al-Qur’an sekaligus memberikan harapan baru bagi masa depan penafsir dan penafsiran perempuan. Di antaranya:
Pertama, penafsiran Ummu Salamah mengafirmasi bahwa perempuan juga disapa oleh al-Qur’an. pertanyaan dan persoalannya didengar dan direspon oleh al-Qur’an. Kedua, keberanian dan kesadaran Ummu Salamah dalam bertanya dan berbicara dengan melibatkan perspektif perempuan menunjukkan bahwa perempuan sejak awal sudah diberi ruang yang sama dengan laki-laki dalam persoalan keagamaan. Ketiga, respon, tanggapan dan jawaban Nabi terhadap Ummu Salamah lebih dari sekadar simbol restu Nabi terhadap aktifitas intelektual perempuan di ranah publik.
Nabi sejak awal telah memberi ruang terhadap perempuan untuk ikut memberikan saham pada ta’lim kegamaan. Keempat, penafsiran sahabiyah mempunyai kualitas dan validitas yang sama dengan penafsiran koleganya, sahabat laki-laki, karena perangkat yang digunakan sama, yaitu Asbab Nuzul, informasi qiraat, kondisi sosio kultural, wawasan sejarah bahkan nalar kritis mufassir sendiri.
Semoga kita bisa meneladani Ummu Salamah Radiyallahu ‘Anha dan para guru yang lain.
Wallahu A’lam