BincangMuslimah.Com – Kewajiban shalat bagi muslim diperintahkan oleh Allah secara langsung kepada Nabi Muhammad pada peristiwa Isra Mi’raj. Saat Nabi berada di langit ketujuh, Allah langsung memberikan perintah itu tanpa perantara Jibril.
Perintah shalat tidak melalui perantara malaikat Jibril sebagaimana perintah ibadah atau larangan yang lain. Hal ini bisa kita lihat dalam sebuah hadis melalui jalur periwayatan Anas bin Malik,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ فُرِضَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ الصَّلَوَاتُ خَمْسِينَ ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا ثُمَّ نُودِيَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّهُ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَإِنَّ لَكَ بِهَذِهِ الْخَمْسِ خَمْسِينَ
Artinya: dari [Anas bin Malik] ia berkata; “Di malam isra` Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi kewajiban untuk melaksanakan shalat sebanyak lima puluh kali. Kemudian bilangan tersebut dikurangi hingga menjadi lima kali, beliau lalu diseru, “Wahai Muhammad, sesungguhnya ketentuan yang ada di sisi-Ku tidak bisa dirubah, maka engkau akan mendapatkan pahala lima puluh (waktu shalat) dengan lima (waktu shalat) ini.” (HR. Tirmizi, hadis hasan shahih gharib)
Shalat yang Allah wajibkan kepada muslim mulanya berjumlah 50 kali sehari. Namun karena negosiasi yang diusulkan oleh Nabi Musa antara Nabi Muhammad dengan Allah, perintahnya menjadi 5 kali sehari. Perintah shalat 5 kali sehari ini, sesuai janji Allah, tetap setara dengan 50 kali shalat sehari.
Kalau kita perhatikan, satu-satunya ibadah yang diperintahkan secara langsung kepada Nabi Muhammad tanpa perantara jibril adalah ibadah shalat. Mengapa demikian?
Ada penjelasan menarik dari beberapa agamawan yang berusaha menggali hikmah dari peristiwa ini. Salah satunya adalah Syekh Abdul Muhsin al-Abbad yang menulis penjelasannya dalam salah satu karyanya, Syarah Sunan Abu Daud.
Dalam kitabnya di halaman 4 juz 59, ia menuliskan,
فمما ورد في بيان عظم شأنها: أن الله تعالى فرضها على نبيه صلى الله عليه وسلم وهو في السماء، ولم يفرضها عليه وهو في الأرض وإنما فرضت عليه وهو في السماء -صلوات الله وسلامه وبركاته عليه- ليلة المعراج
Di antara bukti akan keagungan shalat: Allah memberi kewajiban shalat kepada Nabi saat berada di langit, dan tidak memberikan kewajiban itu saat berada di bumi. Sesungguhnya Allah memerintahkan (hambaNya) untuk shalat saat Nabi berada di langit di malam Mi’raj.
Penjelasan yang digali nilai dan hikmahnya oleh Syekh Abdul Muhsin al-Abbad ini hendak memaknai bahwa perintah shalat adalah perintah ibadah yang sangat agung. Menunjukkan bahwa kewajiban ini sungguh luhur nilainya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Ahmad bin Abdul Fattah Zawawi di bukunya, Syamail ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bahwa perintah shalat diturunkan di peristiwa Mi’raj secara langsung tanpa perantara adalah agar siapapun yang hendak berbincang dengan Allah maka laksanakanlah shalat.
Selain itu, menurutnya, hikmah lainnya adalah Allah hendak memuliakan hambaNya, itulah mengapa Allah memanggil Nabi Muhammad secara langsung untuk menerima kewajiban shalat. Allah memanggil Nabi Muhammad di tempat yang “tinggi”.
Rifa’ah at-Thahthawi (w. 1873 M), seorang pemikir Islam, juga mengemukakan dalam bukunya, Nihayatul Ijaz fii Sirati Sakinil Hijaz bahwa perintah shalat diturunkan secara langsung pada peristiwa Mi’raj di langit ketujuh ini menunjukkan keutamaan shalat dibanding ibadah yang lain. Shalat menjadi tempat munajat atau mengadu bagi seorang hamba kepada Allah. Diwajibkan di tempat yang suci, maka itulah ada kewajiban bersuci sebelum berwudhu.
Shalat juga menjadi satu-satunya ibadah yang tidak berhenti dilakukan kecuali oleh orang yg sakit atau berhalangan. Satu-satunya alasan seseorang boleh meninggalkan shalat adalah jika sakit, berhalangan, dan mati. Demikian beberapa alasan mengapa shalat diperintahkan secara langsung di peristiwa Isra Mi’raj.
3 Comments