BincangMuslimah.Com – Di bulan Ramadan kita menjumpai banyak sekali majelis-majelis pengajian yang dilakukan secara khusus. Tidak hanya di pesantren, di daerah pedesaan maupun perkotaan pun masyarakat umum muslim Indonesia beramai-ramai mengadakan majelis pengajian. Baik itu diadakan secara daring maupun luring yang digelar di musala-musala warga.
Rupanya, tradisi baik ini bukan hanya milik muslim Indonesia. Di Mesir, Al-Azhar sebagai institusi keislaman terbesar di dunia juga memiliki adat serupa. Di portal resminya, Al-Azhar mengumumkan bahwa selama bulan Ramadan 1444 H. ini akan diadakan seratus majelis Alquran dan seratus tiga puluh majelis pengajian umum di Al-Azhar. Bukan angka sedikit tentunya jika kita bayangkan ada satu institusi di Indonesia mampu menyelenggarakan majelis Ramadan sebanyak itu secara offline.
Tidak hanya itu, masih banyak juga ulama-ulama Al-Azhar yang mengadakan pengajian secara daring. Tak terkecuali Syeikhul Azhar atau Imam Besar Al-Azhar, Syekh Ahmad Thayyib. Selayaknya Ramadan-ramadan sebelumnya, Ramadan tahun ini Syekh Ahmad Thayyib menyampaikan kultum setiap harinya di kanal Youtube al-Qanah al-Ula al-Mishriyyah.
Kultum Syekh Ahmad Thayyib di Ramadan kali ni cukup menyita perhatian. Sebab jika umumnya kultum-kultum Ramadan membahas seputar ibadah puasa dan keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan, maka berbeda dengan Syekh Ahmad Thayyib. Di Ramadan tahun ini, Syekh Ahmad Thayyib, Imam Al-Azhar secara khusus akan mengangkat topik-topik dengan tema “Perempuan”.
Menurut beliau, saat ini Islam menerima tuduhan-tuduhan negatif dari berbagai arah. Salah satu yang populer saat ini adalah tuduhan Islam menomorduakan perempuan. Munculnya statement bahwa Islam melemahkan dan mendiskriminasi perempuan. Islam dipandang sebagai agama yang sarat akan budaya patriarki dan meletakkan perempuan pada titik subordinasi.
Di serial kultum pertamanya, Syekh Ahmad Thayyib sang Imam Al-Azhar, mengatakan dengan tegas setidaknya ada dua sumber fitnah Islam isu dengan tema perempuan dalam Islam. Pertama, masyarakat nonmuslim di Barat yang acap kali menuding Islam tidak memberikan hak-hak perempuan secara utuh. Contoh saja perintah berhijab, yang dinilai sebagai bentuk penindasan perempuan dalam bentuk pakaian. Sedangkan sumber fitnah Islam yang kedua adalah, produk-produk fikih yang Islam sendiri tidak tahu-menahu tentang produk hukum yang dikeluarkan.
Poin yang kedua ini tentu cukup menampar para pencari ilmu yang sudah bertahun-tahun lamanya menyelami berbagai kitab fikih. Dengan penyampaian yang tegas dan lugas, sudah barang tentu Syekh Ahmad Thayyib tidak main-main dengan pernyataannya tersebut.
Syekh Ahmad Thayyib mengungkap bahwa penggalian hukum-hukum fikih yang mensubordinasi perempuan tersebut bersumber dari tradisi, adat istiadat, serta warisan budaya masyarakat yang berkembang di wilayah pengarang kitab saat itu. Dalam penafsiran ayat Qiwamah (Surat An-Nisa ayat 34), misalnya, laki-laki dianggap sebagai manusia yang lebih kuat dari pada perempuan, sehingga kendali rumah tangga ada di tangan laki-laki. Sedang perempuan dalam setiap pilihan hidupnya wajib mentaati suami secara mutlak, kecuali dalam perkara maksiat.
Dari satu contoh tersebut, menjadi sangat terlihat. Betapa produk fikih kala itu memandang peran laki-laki dan perempuan dalam aktivitas yang sama begitu timpang. Yang mana produk fikih ini lantas secara turun menurun diyakinii oleh umat muslim secara umum. Bahkan dianggap sebagai ketetapan final syariat Islam yang tidak bisa diganggu gugat.
Inilah yang dimaksud Syekh Ahmad Thayyib, produk fikih yang Islam sendiri tidak tahu menahu tentang itu. Yang hakikatnya, syariat Islam sendiri tidak menetapkan hal itu di teks-teks sucinya. Sebab Islam hadir membawa nilai-nilai kemanusian dan prinsip-prinsip keadilan bagi seluruh umat manusia.
Selain persoalan qiwamah, masih banyak lagi produk fikih yang oleh Syekh Ahmad Thayyib disebut sebagai produk budaya. Di serial-serial kultum berikutnya, Syekh Ahmad Thayyib akan membahas satu-persatu produk fikih yang tidak mempresentasikan pandangan Islam tentang perempuan tersebut. Juga akan membahas secara tuntas bagaimana Islam memandang keadilan, kebebasan, kemanusian, dan lain-lain.
Editor: Zahrotun Nafisah