BincangMuslimah.Com – Mayoritas kehidupan keluarga tak lekang dari segala problem yang menimpanya. Tidak jarang, masalah kecil saja berujung kepada karamnya bahtera rumah tangga. Persoalan yang seharusnya bisa diselesaikan bersama, malah talak (perceraian) menjadi solusi pertamanya.
Lumrahnya, talak diungkapkan oleh suami dalam bentuk ucapan secara langsung, bertatap muka. Lantas, bagaimana jika kata-kata talak tersebut diungkapkan secara online (baik berbentuk tulisan maupun ucapan), seperti menggunakan media WhatsApp, Facebook, dan lain-lain? Apa pandangan Islam mengenai hukum talak via online?
Diskursus tentang masalah ini, sebenarnya mayoritas ulama-ulama klasik sudah sempat membahasnya. Lebih tepatnya, persoalan ini dikenal dengan istilah al-thalaq bi al-kitabah (talak dengan media tulisan) dalam khazanah fikih klasik, seperti menggunakan surat dan lain-lain.
Disebutkan oleh Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, jumhur ulama (selain Mazhab Hanafi) sepakat bahwa talak secara tertulis (al-thalaq bi al-kitabah) dihukumi seperti talak kinayah secara mutlak, yaitu jika tulisan tersebut diniatkan menjadi talak maka talaknya dihukumi sah, sebagaimana sebaliknya.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, hukumnya masih dirinci. Jika yang ditulis adalah kata-kata talak yang masuk kategori talak sharih (seperti thallaqtuki /aku mentalakmu, sarrahtuki /aku melepaskan ikatan nikah dengan kamu, faraqtuki /aku menceraikanmu) maka dihukum sebagai talak sharih, tidak perlu niat dalam keabsahannya. Namun, jika yang ditulis adalah kata-kata yang tergolong talak kinayah (selain tiga kata di atas, seperti “aku bukan suamimu lagi”) maka sama seperti pendapat jumhur. (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, 9, 360-361)
Terlepas dari perbedaan di atas, sejatinya mayoritas ulama sepakat bahwa agama Islam mengajarkan seseorang untuk berhati-hati dalam berucap, khususnya dalam mentalak. Jelasnya, jika problem keluarga bisa diselesaikan dengan selain ucapan talak maka kata-kata yang akan berakibat perceraian, sekalipun kinayah sebaiknya dihindari.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perselisihan di kalangan ulama tentang hukum asal dari talak itu sendiri. Menurut, jumhur ulama (Maliki, Syafii, dan Hambali), hukum asal dari perceraian adalah haram dan menyalahi yang utama (الحظر, المنع, خلاف الاولى). Adapun dilegalkannya talak hanya karena ada kebutuhan yang mendesak (faktor eksternal), seperti keharmonisan rumah tangga tidak bisa dipertahankan.
Pendapat inilah yang diunggulkan oleh Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili karena dalam pandangan beliau, pendapat ini yang lebih sesuai dengan prinsip dilegislasikannya talak (maqasid al-syari’ah fi al-thalaq), yaitu menghindar dari hal-hal yang merugikan (mafsadah) antara pasutri.
Jadi, selama unsur tersebut tidak dipenuhi maka talak dimakruhkan, bahkan ada yang mengatakan haram karena sejatinya talak adalah alternatif terakhir dalam menghadapi konflik yang terjadi di bahtera rumah tangga. (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, 9, 335-337).
Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Thalaq ayat 1,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.
Menurut Ibnu ‘Asyur, ayat di atas memang benar menunjukkan kebolehan seorang suami menceraikan istrinya. Namun, hal ini tidak diperlakukan secara mutlak, melainkan talak yang diperbolehkan hanyalah ketika ada kebutuhan yang mendesak seperti, keharmonisan bahtera rumah tangga tidak bisa lagi dipertahankan. (Ibnu ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, 15, 137)
Fikih Indonesia menyatakan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Ketentuan fikih Indonesia ini tampaknya lebih memenuhi prinsip dasar Islam bahwa perceraian adalah emergency exit (jalan keluar darurat), sehingga perlu kehati-hatian dalam memutuskannya.
Tidak boleh gegabah dan semudah orang membuang barang yang tidak disukai. Sekurang-kurangnya, perceraian dapat dilakukan sebagaimana perkawinan dilangsungkan, yakni ada persyaratan dan prosedur yang sangat ketat harus dilalui terlebih dahulu. Pengadilan Agama dalam hal ini bisa memfasilitasi semua persyaratan dan prosedur tersebut.
Selain itu, perceraian melalui pengadilan dapat memberikan rasa keadilan di antara suami dan istri, karena talak tidak serta merta jatuh sebelum yang bersangkutan memberikan alasan-alasan mengapa harus cerai dan pihak lain dimintai keterangan (cross-check) atas alasan-alasan tersebut.
Sehingga, perceraian dilakukan bukan karena pertimbangan sepihak semata, melainkan benar-benar disebabkan retaknya bahtera rumah tangga yang sulit ditambal. Jika ini masalahnya, maka perceraian memang menjadi emergency exit (jalan keluar darurat) yang selayaknya ditempuh.
Wallahu A’lam.