BincangMuslimah.Com – Berbicara poligami bukanlah persoalan baru, namun telah ada seiring berjalannya sejarah peradaban manusia. Bahkan jika kita menelisik pada kehidupan manusia zaman dahulu, seorang laki-laki bisa memiliki lebih dari empat orang. Raja-raja terdahulu juga dikenal sebagai seorang yang memiliki banyak selir. Kondisi saat itu benar-benar sangat menempatkan perempuan sebagai suatu barang kepemilikan yang bisa dipakai kapanpun oleh seorang laki-laki yang telah berhasil menguasainya. Seiring perkembangan peradaban manusia, terutama dibawa oleh agama-agama, perlahan-lahan mengangkat martabat manusia terutama perempuan dan semakin diberi kedudukan yang terhormat.
Dalam Islam poligami seolah memiliki legitimasinya di dalam al-Qur’an yakni dalam Q.S Al-Nisa (4): 3 dan Q.S Al-Nisa (4): 129, yang secara jelas merupakan ayat-ayat yang berbicara tentang persoalan poligami. Dalam ayat-ayat tersebut, Islam tidak melarang poligami secara mutlak (haram), tetapi juga tidak menganjurkannya (wajib). Para ulama pun tidak pernah bersepakat tentang persoalan poligami ini, melainkan mereka berbeda pendapat tentang hukum berpoligami.
Di antara mereka ada yang memberikan persyaratan-persyaratan yang ketat, dan ada pula yang memberikan persyaratan-persyaratan yang cukup ringan. Namun, dalam realitas di masyarakat poligami seringkali memunculkan hal-hal yang negatif. Karena memang sering melenceng dari syarat-syarat yang diberikan seperti syarat keadilan dan kemaslahatan. Hal inilah yang menjadikan poligami menjadi persoalan yang sampai saat ini tidak pernah selesai dan terus menuai perdebatan. Idealitas al-Qur’an ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan realitas yang ada.
Hal yang dijelaskan di atas bisa dipahami karena persoalan ajaran agama pada dasarnya adalah persoalan interpretasi. Seorang intelektual muslim Fazlur Rahman dengan menggunakan metode yang disebutnya sebagai hermeneutika double movement (gerak bolak-balik) mencoba untuk menginterpretasikan ayat-ayat poligami yang selama ini seringkali dijadikan legitimasi seseorang untuk melakukan poligami.
Menurut Rahman poligami adalah salah satu cara al-Qur’an untuk menyelesaikan masalah kemanusian pada saat itu untuk mencapai suatu ideal moral yang dituju oleh al-Qur’an. Dengan demikian maka problem poligami yang ada pada masyarakat saat ini perlu dikaji kembali dengan memperhatikan ideal moral dari ayat-ayat tersebut.
Dalam hal ini, Fazlur Rahman dalam buku Islam Modern: Teologi Pembaharuan, mengemukakan ada dua metode penafsiran yang perlu digunakan untuk memahami ayat poligami. Yakni metode gerak bolak-balik (double movement) dan metode sintetik-logik. Perbedaan ini terkait dengan ayat-ayat sosial atau kemanusiaan di satu sisi dan ayat-ayat ketuhanan, metafisik dan eskatologik di sisi lain yang tidak tersentuh dimensi kesejarahan sebagaimana ayat-ayat yang pertama.
1. Metode Gerak Bolak-balik
Secara sederhana hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman terumus dalam kalimat “dari situasi masa kini ke masa al-Qur’an diturunkan, dan kembali lagi ke masa kini”. Pada gerak pertama ini terdiri dari dua langkah, yakni pertama merupakan tahap pemahaman tekstual al-Qur’an dan konteks sosio historis ayat-ayatnya.
Dalam tahap ini makna dan arti suatu pernyataan dipahami dengan melakukan kajian situasi atau problem historis, atau dengan kata lain memahami makna al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respon terhadap situasi-situasi khusus. Sedangkan langkah kedua adalah tahap generalisasi, dimana upaya generalisasi dilakukan terhadap jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial umum.
Sementara itu, pada gerak kedua yakni “dari masa al-Qur’an diturunkan ke masa kini”, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditumbuhkan dalam konteks sosio-historis yang konkret di masa sekarang. Dari sini kemudian, jika pada gerak pertama terjadi dari hal-hal yang spesifik dalam al-Qur’an ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip hukum, serta nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya, maka pada gerakan kedua pandangan umum ini dimasukkan kembali ke dalam pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan pada masa kini.
Lebih lanjut, pada gerak kedua ini, tidak hanya memasukkan dalam konteks kekinian tetapi juga sebagai pengoreksi terhadap hasil-hasil penafsiran pada gerak pertama. Artinya kalau hasil pemahaman dalam gerakan pertama gagal diaplikasikan dalam konteks kekinian, maka tentunya telah terjadi kegagalan dalam menilai situasi masa kini, atau kegagalan dalam memahami al-Qur’an.
2. Metode sintetik-logik
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, berbeda dengan metode gerak bolak-balik yang dipergunakan untuk menafsirkan ayat-ayat sosial dan kemanusiaan, metode sintetik-logik digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat teologik, eskatologik dan metafisik. Metode ini digunakan oleh Rahman dengan cara mensintesakan berbagai tema secara logis ketimbang secara kronologis. Al-Qur’an dibiarkan berbicara sendiri, sedangkan penafsiran hanya dipergunakan untuk membuat hubungan antara konsep-konsep yang berbeda.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, berbeda dengan metode gerak bolak-balik yang dipergunakan untuk menafsirkan ayat-ayat sosial dan kemanusiaan, metode sintetik-logik digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat teologik, eskatologik dan metafisik. Metode ini digunakan oleh Rahman dengan cara mensintesakan berbagai tema secara logis ketimbang secara kronologis. Al-Qur’an dibiarkan berbicara sendiri, sedangkan penafsiran hanya dipergunakan untuk membuat hubungan antara konsep-konsep yang berbeda.
Metodi ini merupakan kombinasi pola penalaran induksi dan deduksi; pertama, dari yang khusus (partikular) kepada yang umum (general), dan kedua, dari yang umum kepada yang khusus. Mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Dengan mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut.
Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanaan gerakan kedua, instrumentalis sosial mutlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya adalah kerja ahli etika.
Secara gamblang metode ini membuka jalan untuk memahami al-Qur’an secara padu, koheren dan kohesif. Dan menolak pemahaman ayat secara sepotong-sepotong dan terpisah-pisah. pendekatan yang membahas suatu tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas. Jelas, di sini ditekankan keterpaduan wahyu.
Demikianlah dengan kedua metode ijtihadnya tersebut, sesungguhnya Fazlur Rahman telah berjasa besar dalam merumuskan sebuah pemikiran Islam yang sistematis dan komprehensif.
1 Comment