BincangMuslimah.Com – Ketika membaca sebuah berita tindak kriminal, tak jarang kita membaca jika pelaku kejahatan adalah anak dibawah umur atau belum dewasa. Kemudian hal ini menjadi pertimbangan aparat penegak hukum terkait tata cara persidangan hingga vonis untuk terdakwa.
Sementara ketika kita berbicara tindakan hukum, maka tentu berbicara kecakapan bertindak. Keduanya menjadi satu kesatuan dan mempunyai arti teknis hukum tertentu. Tulisan ini akan membahas definisi anak dalam hukum dan kecakapan bertindak, sekaligus umur berapa seorang anak bisa dianggap dewasa.
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Subyek hukum bisa manusia (natuurlijk persoon) yakni orang pada umumnya, dan Badan Hukum (rechtpersoon), misalnya Perseroan Terbatas (PT) atau Yayasan.
Riduan Syaharani dalam buku Seluk Beluk Hukum Perdata mengatakan, hak dan kewajiban perdata tidak bergantung kepada agama, golongan, kelamin, umur, warga negara maupun orang asing, semua sama. Namun, walaupun setiap orang tanpa terkecuali sebagai pendukung hak dan kewajiban, tetapi tidak semua cakap untuk melakukan tindakan hukum.
Subekti mengatakan, pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Kemudian, Pasal 1330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) menyebutkan salah satu golongan yang dinyatakan tidak cakap adalah anak yang belum dewasa. Lalu sebenarnya kapan seorang anak sudah bisa dikatakan dewasa?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus melihat beberapa undang-undang.
Menurut beberapa UU berikut usia seseorang yang sudah tidak dianggap anak lagi ketika 16 tahun, 17 tahun, 18 tahun, 19 tahun, dan 21 tahun. Usia 16 tahun berlaku pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 45 mengatakan, ”dalam hal penuntutan pidana terhadap seseorang yang belum dewasa karena telah melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun…”
Dalam UU Administrasi Kependudukan, seseorang yang berusia 17 tahun wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Begitu pula dengan UU Pemilu, untuk memberikan suara dalam pemilihan maka seseorang haruslah sudah mencapai umur 17 tahun.
Untuk definisi anak dalam usia 18 tahun cukup banyak yang menyebutkan dalam UU diantaranya:
1. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam pasal 1 angka 5 “anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya”;
2. UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, dalam pasal 1 ayat (1) “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun;
3. Konveksi Hak Anak Bagian 1 pasal 1, mendefinisikan anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan UU yang berlaku untuk anak-anak kedewasaan telah dicapai lebih cepat, termasuk anak yang masih dalam kandungan;
4. UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 24 Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun;.
5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 Anak sebagai orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin;
6. UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 1 angka 4 “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun”;
7. UU No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 Angka 5 anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun dan yang masih berada di dalam kandungan.
Sementara itu, UU No.16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku sejak 15 Oktober 2019, menyebutkan batas minimal pernikahan baik laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya perkawinan anak sesuai dengan UU Perlindungan anak yang mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Kendati dalam Pasal 47 menyebutkan “anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun.
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dalam buku pertama tentang orang, Pasal 330 mendefinisikan anak adalah mereka yang berusia dibawah 21. Pun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 98 ayat (1) pula menyebutkan batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun. Sejauh ini untuk pendefinisian anak dalam berbagai undang-undang, usia 21 ini adalah angka tertinggi.
Perbedaan dalam definisi tersebut tentu menimbulkan pertanyaan “batas mana yang digunakan?”
Belum adanya keseragaman untuk definisi anak menurut hukum ini juga akan berpengaruh pada pertimbangan hakim dalam membuat keputusan. Kita tentu juga harus banyak memperkaya pengetahuan terkait hal ini, karena definisi anak akan berbeda sesuai dengan kebutuhan dalam berbagai hal.
Kita dituntut untuk paham apa masalah hukum yang tengah dihadapi, lalu melihat subyek hukum nya (orang yang melakukan), baru merujuk ke UU yang bersangkutan. Misalnya, seseorang yang ingin melamar pekerjaan, apakah anak tersebut sudah berusia 18 tahun? Hal ini tentu merujuk pada UU Ketenagakerjaan yang mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Begitupun dalam hal lain, solusi ini dapat diterapkan.