BincangMuslimah.Com – Khitan berasal dari kata khatana yang artinya memotong. Sedangkan, secara istilah, khitan adalah memotong kulit (quluf) yang menutupi ujung kemaluan laki-laki dengan tujuan membersihkan dari najis. Khitan atau sunat sudah dilakukan sejak zaman Nabi Ibrahim a.s. Diceritakan juga bahwasannya sunat merupakan syariat Nabi Ibrahim ketika usianya menginjak 80 tahun, sampai pada akhirnya turun menjadi syariat Nabi Muhammad saw.,
عن الزهري قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: من أسلم فليختتين ولو كان كبيرا. (ورواه حرب بن إسماعيل)
Artinya: “Dari al-Zahri, dia berkata: bahwa Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang masuk Islam maka berkhitanlah, walaupun sudah besar”. (HR. Harb bin Ismail)
Lalu, dari hadits di atas, apakah sunat juga disunnahkan untuk perempuan? Jika syariat Nabi ramah akan gender atau tidak adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, berarti khitan juga dianjurkan untuk perempuan? Dan apakah sunat pada perempuan dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad saw.?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa poin yang penting untuk kita telaah lagi. Pertama, apakah perempuan dan laki-laki mempunyai anggota tubuh yang sama untuk jenis kulit yang dipotong? Karena makna khitan di atas adalah memotong kulit (quluf) yang menutupi ujung kemaluan laki-laki. Sebab hal tersebut akan menghalangi dalam bersuci. Secara biologis, keadaan tubuh perempuan tentu berbeda dengan laki-laki, perempuan juga tidak memiliki lapisan kulit yang menghalangi sisa-sisa air kencing. Secara medis, bahwa perempuan tidak memiliki kulit yang menjadi penghalang, untuk itu perempuan tidak dianjurkan melakukan sunat, karena dikhawatirkan menimbulkan kerusakan yang tidak diinginkan.
Kedua, ketika laki-laki melakukan sunat memiliki manfaat, seperti mengurangi resiko penyakit kelamin, mengurangi risiko terjadi kanker serviks, memberi kenikmatan dalam hubungan seksual, dll. Lalu, sunat bagi perempuan juga akankah mendapatkan manfaat seperti laki-laki?
Dalam fikih klasik, hukum khitan bagi laki-laki sangat dianjurkan, bahkan ada beberapa yang mewajibkan. Hal tersebut berdasarkan manfaat atau dampak baik ketika laki-laki dikhitan. Menurut ahli fikih, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali berpendapat bahwa hukum sunat bagi laki-laki wajib, sedangkan Imam Hanafi dan Imam Malik berpendapat sunnah hukumnya bagi laki-laki.
Sunat bagi perempuan menimbulkan banyak fatwa baru, karena banyak hal-hal yang harus dipertimbangkan, untuk itu mayoritas ahli fikih menyatakan bahwa khitan bagi perempuan hukumnya makruh, akan tetapi, menurut Imam Syafi’i, sunat bagi perempuan hukumnya wajib.
Dalam fikih kontemporer, Imam besar Al-Azhar, Syekh ahmad Thayyib dalam Majma Buhuts Islamiyah pada 13 Februari 2020 menegaskan kembali bahwasannya sunat bagi perempuan menimbulkan dharar atau kerusakan baik dari segi kesehatan, psikis dan lainnya, tentu hal ini berbeda dengan laki-laki yang memberi banyak manfaat. Beliau juga menyampaikan bahwasannya khitan bagi perempuan tidak termasuk dalam syariat agama, hal ini didukung oleh tidak adanya ayat atau hadist yang menganjurkan perempuan untuk khitan.
Darul Ifta Mesir, atau lembaga fatwa Mesir juga menjelaskan bahwa sunat untuk perempuan bukanlah syariat yang diperintahkan oleh Islam, akan tetapi sebuah kebiasaan oleh para nenek moyang yang diyakini sampai sekarang. Di beberapa rujukan, baik Alquran maupun tidak menemukan jawaban-jawaban anjuran khitan bagi perempuan. Kejadian khitan bagi perempuan juga tidak dilakukan oleh anak-anak Nabi Muhammad saw.
Di Indonesia sendiri, fatwa MUI tahun 2008, bahwasannya sunat untuk perempuan sebagai bagian dari syi’ar Islam, yang tidak boleh dilarang, juga tidak wajib dilakukan. Jika khitan bagi perempuan dilakukan, maka tidak boleh menimbulkan dharar atau kerusakan. Demikianlah perbandingan hukum ulama dalam memberikan pandangan. Dengan begini memperlihatkan bahwasannya hukum Islam tidak bias terhadap gender.
2 Comments