BincangMuslimah.Com – Dalam sebuah masyarakat yang plural seperti Indonesia, dan juga banyak negara di dunia, bertetangga dengan berbagai pemeluk agama adalah lumrah belaka. Alquran, seperti ditegaskan dalam surat al-Mumtahanah (QS. 60: 8-9), sama sekali tidak keberatan ketika orang-orang Islam memiliki relasi yang baik, adil, dan sehat dengan orang-orang yang bersahabat mereka, sekalipun memeluk agama berbeda.
Ada beberapa contoh dari Nabi Muhammad tentang bagaimana akhlak yang baik dalam bertetangga dengan nonmuslim yang dijelaskan Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) dalam magnum opusnya, Ihya Ulumuddin. Berikut pernyataan beliau secara lengkap:
اعلم أن الجوار يقضي حَقًّا وَرَاءَ مَا تَقْتَضِيهِ أُخُوَّةُ الْإِسْلَامِ، فَيَسْتَحِقُّ الجار المسلم ما يستحقه كُلُّ مُسْلِمٍ وَزِيَادَةٌ: إِذْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “الْجِيرَانُ ثَلَاثَةٌ جَارٌ لَهُ حَقٌّ وَاحِدٌ وَجَارٌ لَهُ حَقَّانِ وَجَارٌ لَهُ ثَلَاثَةُ حُقُوقٍ فَالْجَارُ الَّذِي لَهُ ثَلَاثَةُ حُقُوقٍ الْجَارُ الْمُسْلِمُ ذُو الرَّحِمِ فَلَهُ حَقُّ الْجِوَارِ وَحَقُّ الْإِسْلَامِ وَحَقُّ الرَّحِمِ وَأَمَّا الَّذِي لَهُ حَقَّانِ فَالْجَارُ الْمُسْلِمُ لَهُ حَقُّ الْجِوَارِ وَحَقُّ الْإِسْلَامِ وَأَمَّا الَّذِي لَهُ حَقٌّ وَاحِدٌ فَالْجَارُ الْمُشْرِكُ”.
فَانْظُرْ كَيْفَ أَثْبَتَ لِلْمُشْرِكِ حَقًّا بِمُجَرَّدِ الجوار وقد قال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَحْسِنْ مُجَاوَرَةَ مَنْ جاورك تكن مسلماً”. وقال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ”. وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ”. وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَا يُؤْمِنْ عَبْدٌ حَتَّى يَأْمَنَ جَارُهُ بَوَائِقَهُ”. وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: “أول خصمين يوم القيامة جاران”. وقال صلى الله عليه وسلم: “إذا أنت رميت كلب جارك فقد آذيته”.
ويروى أن رجلاً جاء إلى ابن مسعود رضي الله عنه فقال له إن لي جاراً يؤذيني ويشتمني ويضيق علي فقال اذهب فإن هو عصى الله فيك فأطع الله فيه. وَقِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ فُلَانَةَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ وَتُؤْذِي جِيرَانَهَا فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ في النار. وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ حَقُّ الْجِوَارِ كَفَّ الْأَذَى فقط بل احتمال الأذى فإن الجار أيضاً قد كف أذاه فليس في ذلك قضاء حق ولا يكفي احتمال الأذى بل لابد من الرفق وإسداء الخير والمعروف.
Ketahuilah bahwa tetangga itu memiliki hak lebih dari sekedar hak karena tuntutan persaudaraan Islam. Tetangga yang muslim, tentu saja, memiliki hak sebagai muslim dan selebihnya (sebagai tetangga). Karena Nabi saw. sudah mengingatkan: “Bahwa tetangga itu ada tiga macam: tetangga yang memiliki satu hak, tetangga yang memiliki dua hak, dan tetangga yang tiga hak. Tetangga yang memiliki tiga hak adalah tetangga muslim dari kerabat keluarga. Ada hak tetangga, hak sebagai kerabat, dan hak sebagai muslim. Tetangga dengan dua hak adalah yang muslim: hak tetangga dan hak sebagai muslim. Yang satu hak adalah tetangga yang musyrik, atau nonmuslim”.[1]
Coba bayangkan, orang nonmuslim itu memiliki hak atas kita, yang muslim, karena relasi ketetanggaan. Kata Nabi saw.: “Berbuat baiklah dengan tetanggamu, maka kamu menjadi muslim (sejati)” (Sunan Ibn Majah, no. hadits: 4357). Nabi saw. juga bersabda: “Malaikat Jibril a.s selalu saja mewasiatkanku (untuk berbuat baik) kepada tetangga, sehingga aku menduga, dia ingin menjadikan tetangga itu memiliki hak waris (atas tetangganya)” (Sahih Bukhari, no. hadits: 6082). Nabi saw. juga bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangganya” (Sahih Bukhari, no. hadits: 6088). Sabda lain: “Seseorang tidak dianggap beriman, sehingga tetangganya bisa merasa aman terlindungi dari tingkah buruknya.” (Sahih Bukhari, no. hadits: 6084).
Sabda lain: “Orang yang pertama kali bertengkar, kelak di hari kiamat, adalah dua orang yang bertetangga” (Musnad Ahmad, no. hadits: 17646). Nabi Saw juga bersabda: “Apabila kamu melempar anjing tetangga kamu, maka kamu sesungguhnya telah menyakiti tetanggamu itu”.[2] Dikisahkan juga, bahwa ada seseorang yang datang menemuai Ibn Mas’ud ra seraya berkata: aku punya tetangga yang menyakiti, berkata buruk, dan membuat kesulitan terhadap diriku. “Pulanglah, dia telah berdosa kepada Allah dengan tingkahnya yang buruk padamu, tetapi kamu harus tetap taat kepada Allah Swt mengenai dirinya”. Dikatakan juga kepada Nabi Muhammad Saw: “Ada seorang perempuan yang selalu puasa di siang hari dan shalat di malam hari, namun sering menyakiti tetangganya”. Lalu Nabi Saw menjawab: “Dia masuk neraka” (Musnad Ahmad, no. hadits: 9806).
Ketahuilah bahwa hak bertetangga itu tidak hanya terlindungi dan terjaga dari keburukan yang nyata saja, tetapi juga segala hal yang mungkin mengakitabkan keburukan. Bahkan, ini juga tidak cukup. Lebih dari itu, penting untuk bersikap baik, lembut, dan memberikan kebaikan serta kemaslahatan yang terbaik kepada tetangga.[3]
Demikianlah, akhlak Nabi Muhammad dalam bertetangga dengan nonmuslim sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Gazali dalam Ihya Ulumuddin, tetangga nonmuslim memiliki hak atas yang muslim. Utamanya terlindungi dari segala sikap dan perilaku buruk, serta memperoleh segala kebaikan sebagaimana kehidupan antar tetangga. Bahkan, Imam al-Ghazali merinci hak-hak tetangga tersebut, termasuk untuk yang nomuslim, di antaranya memberi salam, mengunjungi ketika sakit, ikut merasa gembira ketika ia bahagia, mudah memaafkan, tidak membuat kesulitan, dan tidak mencari-carai kesalahan. Ini semua karena visi Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, dan misi Nabi saw. adalah berakhlak mulia kepada segenap manusia. Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.
[1] Kata Imam al-Iraqi, teks hadits ini tercatat dalam Musnad al-Hasan bin Sufyan, Musnad al-Bazzar, Kitab ats-Tsawab Abu Syaikh, dan Hilyah Abu Nu’aim, dari sahabat Ibn Umar ra. Menurut al-Iraqi, sanad hadits ini lemah (dhaif). Lihat: Zayn ad-Din al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ihya min al-Akhbar, dalam: Ihya Ulum ad-Din, (Cairo: Dar al-Hadits, 1994), juz 2, hal. 329.
[2] Kata al-Hafiz al-‘Iraqi teks hadits ini tidak ditemukan. Lihat: al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an al-Asfar, dalam: Ihya Ulumuddin, juz 2, hal. 330.
[3] Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, juz 2, hal. 329-333.