BincangMuslimah.Com – Perempuan saat haid tidak diperbolehkan melakukan beberapa ibadah. Seperti shalat, puasa, haji, membaca dan menyentuh mushaf Alquran. Meninggalkan ibadah pada saat haid adalah perintah syariat Islam. Apakah dengan demikian perempuan haid tetap dapat pahala karena menjalankan perintah meninggalkan ibadah?
Pada saat haid, perempuan tidak dapat mengumpulkan pahala sebanyak yang ia bisa pada masa suci. Pernah suatu ketika istri Rasulullah bersedih karena tidak bisa beribadah haji. Sebagaimana tergambar dalam hadis Nabi Saw. riwayat Aisyah ra. di dalam Shahih al Bukhari berikut ini:
عن عَائِشَةَ تَقُولُ خَرَجْنَا لاَ نَرَى إِلاَّ الْحَجَّ فَلَمَّا كُنَّا بِسَرِفَ حِضْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا أَبْكِي ، قَالَ : مَا لَكِ أَنُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَاقْضِي مَا يَقْضِي الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ قَالَتْ وَضَحَّى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ نِسَائِهِ بِالْبَقَرِ
Artinya: Dari Aisyah r.a. yang bercerita, “Saat kami berhaji dengan Rasulullah saw. dan ketika sampai di kota Sarf kami menangis karena haid sehingga kami tidak dapat melanjutkan ibadah hajinya.” Rasulullah saw. pun mencoba menenangkannya dengan mengatakan, “sungguh ini adalah perkara yang telah ditetapkan Allah untuk anak-anak prempuan keturunan Adam, maka selesaikanlah rangkaian ibadah haji yang harus diselesaikan selain Thawaf.” Aisyah berkata: “Dan (setelah itu) Rasulullah saw. menyembelih sapi untuk para istrinya.” (HR. Bukhari)
Pertanyaannya, karena meninggalkan ibadah seperti yang diperintahkan, apakah perempuan haid tetap dapat pahala saat meninggalkan kewajiban agama seperti shalat, puasa, dan lain-lain?
Menurut para ahli fikih, perempuan haid tidak mendapatkan pahala karena meninggalkan ibadah jika disamakan orang yang sakit. Namun dia bisa mendapatkan pahala jika dilihat dari segi tarku al-mahdzur atau meninggalkan hal haram.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ahmad Bin Abdul Latif al-Jawi al-Syafi’i dalam an-Nafahat ‘ala Syarh al-Waraqat
وَالْمَحْظُوْرُ مِنْ حَيْثُ وَصْفُهُ بِالْحَظْرِ أَيْ الْحُرْمَةِ مَا يُثَابُ عَلَى تَرْكِهِ إِمْتِثَالًا وَيُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ قَوْلُهُ إِمْتِثَالًا أَيْ بِأَنْ يَكُفَّ نَفْسَهُ عَنْهُ لِدَاعِى نَهْىِ الشَّرْعِ
Artinya: Haram, ditinjau dari sifat keharamannya, maka ia mendapatkan pahala karena meninggalkan keharaman tersebut sebab patuh pada syari’at serta mendapatkan siksaan jika ia melakukan hal yang diharamkan itu. Perkataan ‘karena patuh pada syari’at’: yakni mengekang dirinya dari hal yang diharamkan karena adanya seruan larangan syariat.
Ulama lain yang berpendapat demikian adalah Syaikh Sulaiman bin Umar Al- Jamal al-Syafi’i dalam Hasyiyatul Jamal ‘Ala Syarh al-Minhaj, beliau mengatakan
وتثاب الحائض على ترك ما حرم عليها، إذا قصدت امتثال الشارع في تركه
Artinya: Diberikan pahala atas ditinggalkannya apa yang diharamkan bagi perempuan haid, jika ia perempuan itu berniat mengikuti perintah syariat untuk meninggalkannya.
Jadi, jika perempuan yang haid berniat meninggalkan ibadah karena mengikuti perintah Allah maka hal tersebut bisa bernilai ibadah. Selain itu, saat haid kita bukannya tidak bisa beribadah sama sekali. Kita bisa mengganti ibadah tersebut dengan memperbanyak zikir dan sedekah. Wallahu’alam.