BincangMuslimah.Com – Semester ini bisa dibilang terjadi pergulatan yang sangat hebat antara tugas kuliah, tugas pondok, dan takhrij. Semuanya seperti berlomba-lomba ingin segera diselesaikan. Tugas kuliah yang padat juga menjadi hal yang tak bisa dianak tirikan.
Seiring bertambahnya semester, tugas kuliah semakin padat dan menguras waktu, tenaga, dan pikiran. Belum lagi tugas pondok selain takhrij yang juga mengalami kondisi yang sama. Akhirnya di sinilah dituntut untuk bisa me-manage waktu dengan sebaik mungkin agar tak ada yang terabaikan.
Sesampainya di Ciputat, aku menatap lorong asrama yang masih tampak sepi karena ditinggal penghuninya. Hanya segelintir orang yang masih bertahan di hari tenang kuliah. Sebagian memilih untuk pulang, menghabiskan waktu di kampung halaman.
Hari-hari berjalan seperti biasa di mana aku hanya mengerjakan tugas kampus dan sesekali mengulik-ulik beberapa buku bacaan. Setelah setengah bulan berjalan usai kepulanganku, UAS kampus terlewati sudah. Bagaimana kabar takhrij? Entahlah, rasanya semakin menjadi-jadi.
Seringkali aku menghabiskan waktu depan laptop, namun tak ada satu kalimatpun yang bisa kutulis. Lagi-lagi, folder kosong begitu saja. Kitab pun selalu berada dalam tas punggungku, menyertaiku kemanapun aku pergi. Sesekali aku buka dan kubaca, tapi rasanya belum ada chemistry antara aku dan dia (red: kitab yang jadi objek takhrijku). Hingga kerap kali aku bergumam, “Kenapa sulit sekali memulai pekerjaan ini. Apakah sang mushannif belum rida dengan apa yang aku kerjakan pada kitab beliau?”.
Aku merasa putus asa. Teman-temanku banyak yang sudah berlari jauh, beberapa mungkin sudah mendekati kata selesai, deadline pengumpulan pun sudah di depan mata, minggu ke-4 bulan Januari. Semuanya rasanya ambyar, jemariku tak kunjung bersahabat untuk meniti tiap-tiap abjad lalu merangkainya menjadi kalimat dan paragraf. Puncaknya di minggu ke-3 bulan Januari, rasanya pecah. Aku menangis tanpa sebab. Rasanya tidak karuan.
“Ka, kenapa nangis?”, tanya salah seorang adik kamar yang saat itu masih stay di Ciputat.
“Nggak kenapa-napa, hehe. Lagi pengen pulang aja nih”, jawabku sekenanya.
Jadi ini yang orang-orang katakan belum lengkap takhrij tanpa disertai tangis. Baiklah, kaffah sudah drama takhrijku kali ini. Tak ada yang perlu disalahkan, karena akulah sang pelaku utama maka itu semua tanggunganku. Dalam keadaan seperti ini, aku merindu seseorang yang tutur katanya sanggup menentramkan jiwa. Tapi dimensi kehidupan kita kini berbeda.
Kali ini aku ingin kembali pulang, bukan ke rumah tapi ke Grobogan. Aku ingin pulang ke tanah kelahiran untuk sekadar bersimpuh di pusara orang-orang tercinta sembari melepas kerinduan pada keluarga di seberang sana barangkali bisa menjadi pelipur jiwa.
Sembari sesenggukan dan menahan pecahan banjir air mata aku meraih ponselku, membuka laman pencarian google. Ada sesuatu yang ingin aku cari, ada kegundahan yang ingin aku obati. Setelah sekian lama berjibaku dengan search engine ini, aku merasa ada energi baru. Ada sesuatu yang rasanya menghapus sisa banjir tadi. Ada semangat yang tiba-tiba menyala. Ada kemantapan yang terasa.
Dengan mantap aku berkata, esok aku akan pulang ke Grobogan demi menyambut harapan baru. Bagaimana dengan nasib takhrijku? Sudahlah, mari istirahat sejenak. Semoga esok hari ada kabar baik. Semoga! Dari sini, mari kita mulai cerita yang sesungguhnya penelusuran jejak mahaguru ulama nusantara, Kiai Sholeh Darat.
Sampai jumpa esok hari…
(bersambung; Tapak Tilas Jejak Mahaguru Ulama Nusantara di Kakap Darat Eps. 3)
Pingback: Tapak Tilas Jejak Mahaguru Ulama Nusantara di Kakap Darat | Alhamdulillah Shollu Alan Nabi #JumatBerkah - Ajeng .Net
Pingback: Tapak Tilas Jejak Mahaguru Ulama Nusantara di Kakap Darat (Eps. 2) | Alhamdulillah Sholli Ala Rosulillah – jumatberkah