BincangMuslimah.Com – Tidak sedikit dari basa-basi yang kita lakukan nyatanya berujung pada sakit hati karena pertanyaan atau statement yang dilontarkan menyinggung lawan bicara, seperti bertanya “kapan menikah?,” “Kapan lulus?,” “Kok belum punya-punya anak sih?” dll yang sifatnya personal. Sebenernya apa sih basa-basi itu? Apakah basa-basi itu adalah formalitas yang sifatnya sepintas dan asal diucapkan?
Jika kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari, basa-basi itu sangat perlu dalam komunikasi. Basa-basi biasanya dilakukan pada saat bertemu teman lama atau bertemu dengan orang baru yang baru kita kenal. Basa-basi dilakukan untuk mencairkan suasana dari kecanggungan satu sama lain. Atau justru sebagai pemantik obrolan agar menjadi seru dan terus berlanjut bagi mereka yang sudah kenal satu sama lain.
Basa-basi atau yang kita kenal sebagai formalitas, dalam KBBI adalah adat sopan santun; tata krama pergaulan. Lebih detailnya, basa-basi adalah ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi, misalnya kalimat “apa kabar?” yang diucapkan apabila kita bertemu kawan.
Nah, dari definisi di atas menunjukkan salah kaprah di masyarakat umum bahwa basa-basi itu adalah formalitas atau embel-embel untuk menyapa. Padahal basa-basi justru etika atau sopan santun itu sendiri. Jadi, berbasa-basi adalah beretika untuk tidak menyinggung perasaan lawan bicara.
Justru karena kita sedang membangun percakapan dengan lawan, terutama yang belum kenal, hendaknya ia menjaga sesuatu dari hal-hal yang kurang disukai. Inilah pentingnya mengapa dalam berkomunikasi kita dianjurkan untuk mengetahui psikologis lawan.
Bertanyalah sesuatu yang membuatnya bahagia, dan tahanlah mulut kita untuk tidak bertanya tentang sesuatu yang menjadi isu sensitif bagi lawan kita. Misalnya dengan tidak bertanya kapan nikah bagi mereka yang belum menikah. Tidak bertanya kapan punya anak kepada mereka yang belum dianugerahi anak. Tidak bertanya mana suaminya? Kepada mereka yang bisa jadi baru bercerai atau berkonflik dengan paangannya, dll.
“Yaelah… gitu doang baper. Kan tinggal jawab doain kek, atau apa kek!”. Ini salah satu contoh reaksi orang ketika tahu bahwa lawan bicaranya kesal, sakit hati, dll.
Gaes… orang itu bukan kamu, dan kamu bukanlah mereka. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda dan tentu sensitifitas yang berbeda. Orang extrovert sekalipun, yang terbiasa terbuka, juga memiliki sisi sensifitas yang berbeda dengan tipikal introvert.
Pernahkah kamu bertemu orang yang takut dengan buah rambutan? Buah Salak? Atau Takut dengan Kucing? Bagi penyuka buah rambutan, salak, dan kucing itu adalah hal yang tidak lumrah dan aneh. Pun begitu dengan mereka yang memiliki cerita personal yang tidak pada umumnya.
Mungkin dia sudah waktunya menikah tapi Tuhan belum berkehendak, sudah ingin lulus tapi dia memiliki kendala yang tidak kita temui, atau sudah ingin sekali punya anak, sudah berusaha ke dokter mencoba segala instruksi dokter tapi belum juga diberi amanah. Bisa dibayangkan, kan?
Lantas harus bagaimana? Ubahlah statement-mu dengan tidak bernada judgemental. Mengganti kata kapan dengan semoga, mengubah pertanyaan dengan doa, atau menyediakan jasa untuk membantu dan mencarikan solusi permasalahannya.
Misal dengan “Bagaimana kuliahnya? Ada kendala?” itu lebih tepat dengan “Udah lulus belum,” Mengubah kata “Kapan menikah?’ dengan “Semoga segera dipertemukan ya. Insya Allah yang terbaik karena aku dulu pun begitu.” Itu sangat lebih bijaksana dibanding bertanya “jadi kapan menikah?” Ada banyak sekali kata-kata positif yang membuat orang semakin percaya diri dan tidak merasa sendirian dengan apa yang sedang dia alami.
So, marilah berfikir seperti cermin. Memposisikan orang lain kepada diri sendiri melalui pantulan cermin. Bagaimana jika itu terjadi pada diri saya? Apa kira-kira respon dan perasaan kita?. Marilah kita menghargai lawan bicara sebagaimana kita menghargai diri kita sendiri. Memposisikan diri sebagai lawan bicara sehingga kalimat basa-basi yang terlontar tidak melukainya. Inilah pentingnya mengetahui kondisi dan situasi lawan bicara dengan cara riset kecil-kecilan sebelum bertemu.
Kalaupun kita tidak bisa sampai di situ, hindarilah obrolan sensitif yang sifatnya personal. Atau jika itu sudah terucap, jangan lupa untuk mengucapkan kata ajaib maaf terlebih dahulu di depannya. “maaf ka, sudah berkeluarga belum?” itu lebih etis ketimbang nyerocos “mana undangannya?”
Yuk, berbasa-basi yang sehat, berbasa-basi yang beretika dan bersopan santun.