BincangMuslimah.Com – Dalam buku “Feminisme Muslim di Indonesia”, Alimatul Qibtiyah berusaha mempertemukan dialog-dialog yang masih dianggap tabu untuk dibahas. Beliau juga dengan tegas memilih diksi “feminisme”.
Alimatul Qibtiyah memilih diksi “feminisme” dengan tegas di antara para pegiat gender perempuan yang masih sedikit enggan memilih diksi tersebut. Alimatul Qibtiyah menjadi salah satu contoh dari kalangan Islam progresif yang dibutuhkan Indonesia di era sekarang. Beliau menjabat ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA).
Bicara tentang kesetaraan gender dan isu perempuan selalu menuai ketimpangan dan bias. Ketimpangan dan bias itu bukan hanya dari budaya namun juga agama. Tak hanya Islam melainkan semua agama di dunia. Lalu bagaimana kita melawan hal itu?
Seorang dosen UIN Sunan Kalijaga Alimatul Qibtiyah Phd. mencoba melawan dengan menulis sebuah buku berjudul Feminisme Muslim di Indonesia. Buku ini merupakan disertasi beliau di Western Sydney University, dalam bahasa sederhana dan bentuk yang lebih menarik.
Buku ini ditulis dalam tiga bagian. Dibuka dengan Wacana Feminisme Muslim di Indonesia, lalu Menegosiasi Isu-isu Gender dalam Islam dan diakhiri dengan Mewacanakan Feminisme di Indonesia. Beliau memulai pembahasan dengan pembahasan perempuan dalam Islam. Hingga bagaimana perempuan dibahas dalam al-Qur’an dari kepemimpinan, ahli waris, hingga pernikahan.
Beliau mencontohkannya dalam sebuah pergerakan organisasi perempuan Islam memperoleh tingkat kemandirian seperti organisasi Aisyiyah menjadi otonom sejak 1966, yang sebelumnya didahului Muslimat NU yang telah ada sejak 1952. Posisi otonom berarti Aisyiyah/Muslimat menduduki tingkat yang sama dengan organisasi induknya dan punya hak untuk menyusun program-program serta anggaran yang berasal dari anggota sendiri.
Di bab selanjutnya, dijelaskan bagaimana adanya peran setara antara laki-laki dan perempuan dengan memberikan contoh bagaimana muslim di negara-negara lain yang menilai Islam dan feminisme bisa saling berhubungan.
Contohnya, pada Februari 1994, seorang Afsaneh Najmabadi, ahli sejarah keturunan Iran-Amerika, di School of Oriental and African Studies, University of London, mengatakan bahwa feminisme Islam adalah penghubung antara pemikiran yang agamis dengan sekularitas, liberalitas dan feminisme.
Kemudian beliau juga membagi muslim ke dalam tiga kelompok berdasar penerimaan terhadap feminisme. Kelompok-kelompok itu ialah literalis, moderat, dan progresif.
Pertama, literalis berusaha menjelaskan ayat-ayat Al Quran dan hadits yang berkaitan dengan perempuan secara definisi.
Kedua, kelompok moderat akan menerima ide-ide feminis selama tidak bertentangan dengan apa yang dianggap sebagai nilai-nilai Islam yang mendasar.
Ketiga, kelompok progresif menganggap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan bersifat mutlak pada setiap aspek kehidupan.
Kelompok progresif melegitimasi adanya perbedaan laki-laki dan perempuan yang terlihat secara biologis. Juga mereka percaya bahwa keduanya memiliki status, kedudukan, dan hak yang setara dalam keluarga, masyarakat, bahkan negara.
Beliau juga mengumpulkan berbagai perspektif para pegiat gender terhadap hal ihwal feminisme dan bagaimana kedudukannya dalam Islam. Secara umum responden berpendapat bahwa nilai-nilai universal seperti kesetaraan gender dan pengakuan mereka terhadap perempuan sebagai manusia didasarkan pada sumber-sumber mereka sendiri. Yang berhubungan dengan tradisi dan budaya Islam (Al-Quran dan hadits) maupun tradisi lokal.
Dalam membahas Feminisme Muslim di Indonesia, beliau tidak hanya mencoba mempertemukan dialog-dialog yang masih dianggap tabu untuk dibahas. Misalnya, bagaimana posisi perempuan sebagai saksi, bila perempuan menjadi imam shalat,hingga bagaimana pembagian warisan dalam Islam.
Jadi dapat disimpulkan ide atau pemikiran tersebut tidak diimpor dari feminisme Barat. Sebagian responden mengatakan bahwa, banyak ide dan strategi feminis Barat yang ikut memengaruhi dan membentuk pemikiran dan strategi yang mereka gunakan untuk menyelesaikan persoalan perempuan dan gender di Indonesia. Contohnya, budaya patriarki di Indonesia.
Judul buku : Feminisme Muslim di Indonesia
Penulis : Alimatul Qibtiyah
tebal : 270 halaman
Penerbit : Suara Muhammadiyah