BincangMuslimah.Com – Ramadan akan selalu disambut sukacita oleh umat manusia, tak hanya bagi masyarakat Indonesia, Ramadan juga disambut dengan suka cita di Negeri Seribu Menara, Mesir. Mesir merupakan negara yang terkenal akan peradabannya. Tempat di mana hidupnya para nabi, seperti Nabi Musa, Nabi Ya’qub, Nabi Yusuf beserta saudara-saudaranya. Tempat di mana banyak diceritakan dalam Alquran, baik dari kisah kealiman para nabi maupun kezaliman Firaun.
Masyarakat umat Islam di Mesir akan menyambut dengan meriah Ramadan, jalanan kecil maupun jalanan raya akan dihias, rumah-rumah dihias kerlap-kerlip lampu, fanos (lampion) dan pernak-pernik lainnya. Selain jalanan dan rumah, mereka akan mempersiapkan pakaian terbaik untuk menyambut. Karena pada dasarnya, Ramadan di Mesir layaknya kemeriahan Idul Fitri di Indonesia. Penyambutan Ramadan ini sekaligus menginterpretasikan salah satu ayat dalam Alquran, dalam surat Yunus ayat 58 dan salah satu hadis nabi, ‘barangsiapa yang berbahagia (memeriahkan) bulan Ramadan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya di Neraka’.
Maidaturrahman
Setiap tahunnya, para dermawan Mesir dari berbagai kelas sosial berlomba-lomba untuk mendapatkan pahala yang besar di bulan Ramadan, salah satunya dengan adanya maidaturrahman. Maidaturrahman (meja hidangan Allah), merupakan makanan berat membentang di sudut-sudut kota, jalan dan halaman masjid. Setiap sore menjelang waktu berbuka, berderet kursi-meja sepanjang jalan yang tertata rapi untuk menyajikan maidaturrahman. Hidangan ini dikhususkan untuk fakir miskin, pelajar, para pekerja yang tidak sempat untuk pulang ke rumah dan terbuka bagi siapa saja yang membutuhkannya.
Pengambilan nama maidaturrahman berasal dari salah satu nama surah di dalam Alquran, yaitu surah Al-Maidah yang artinya hidangan dari langit untuk Nabi Isa a.s. Sedangkan Rahman diambil dari salah satu nama Allah yang berarti pengasih. Layaknya doa, maidaturrahman dijadikan sebagai keinginan agar hidangan tersebut dengan saling mengasihi dan menyayangi.
Dilansir dari El Youm Sabi, maidaturrahman berawal sejak zaman Rasulullah, yang diadopsi Masyarakat Mesir menjadi budaya. Ketika zaman Rasulullah, maidaturrahman digunakan untuk menjamu tamu delegasi yang datang dari Thaif, ketika berada di Madinah dengan jamuan yang sederhana. Di sumber lain, asal maidaturrahmaan berasal dari Mesir sendiri. Ketika Pangeran Ahmad bin Thulun (875 M), mengumpulkan para pemimpin, menteri, pedagang, pejabat dan pekerja pinggiran di meja hidangan di hari pertama bulan Ramadhan.
Hal tersebut diadopsi oleh masyarakat sekitar secara terus-menerus setiap tahunnya, yang pada akhirnya kebiasaan tersebut menjadi budaya oleh masyarakat Mesir. Di lain sisi, bagi pelajar asing, maidaturrahman adalah surga. Karena dengan kedermawanan orang Mesir sangat membantu.
Tarawih 8 Rakaat
Ketika pelaksanaan tarawih, masjid-masjid berlomba-lomba menyediakan tempat tarawih ternyaman. Masjid-masjid menyediakan Imam sholat yang fasih dengan berbagai qira’ah dengan jumlah rakaat yang berbeda. Umumnya, masjid-masjid berjamaah dengan delapan rakaat yang disambung tiga witir.
Umumnya, setiap shalat tarawih mengkhatamkan satu juz setiap malamnya dengan berbagai gaya bacaan, dengan memakan waktu sampai dua hingga tiga jam, yang nantinya pada akhir Ramadan ditutup dengan khataman Alquran. Jika dibanding dengan keumuman tarawih di Indonesia, akan tetapi barisan shaf tidak pernah sepi dari jamaah.
Ketika di penghujung Ramadhan, sepuluh hari terakhir (asyrul awail), masjid semakin dipenuhi jamaah hingga di halaman-halam masjid. Di Masjid Azhar, masjid dibuka untuk berjamaah shalat malam. Tidak sedikit dari Masyarakat Mesir dan para pelajar memenuhi isi masjid.
Tadarus Alquran
Momentum Ramadhan adalah momentum di mana nuansa religiusitas begitu terasa, meski tanpa adanya suara orang bertadarus usai shalat tarawih. Ketika Ramadan, banyak sekali kita menjumpai orang-orang membaca Alquran di angkutan umum, kereta, pasar bahkan suara lantunan ayat suci Alquran terdengar sepanjang jalan.
Tapi, bagaimanapun, Indonesia memiliki tradisi Ramadan yang berbeda, unik dan memberi kesan berbeda. Semoga, di manapun kita melaksanakan ibadah puasa Ramadan, kita mampu memanfaat waktu terbaik untuk saling mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Editor: Zahrotun Nafisah
1 Comment