BincangMuslimah.Com – Zakat adalah salah satu kewajiban individu dan menjadi bagian rukun Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islam juga mementingkan ranah sosial. Bukan hanya ibadah urusan privat, zakat menjadi representasi bahwa Islam peduli pada urusan sosial.
Hikmah dari kewajiban zakat selain untuk membantu perekonomian masyarakat adalah juga untuk menumbuhkan simpati pada setiap individu. Mengajarkan tiap muslim memiliki rasa simpati dan empati ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa persatuan kepada sesama muslim.
Delapan golongan penerima zakat yang sudah dijelaskan dalam nash secara qath’i merupakan golongan yang perlu mendapat perhatian khusus secara sosial dan ekonomi. Akan tetapi, penafsiran mengenai delapan golongan tersebut perlu dikaji kembali.
Maka Yulianti Muthma’innah, Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan (Ekonomi) Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan menulis buku “Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” sejumlah 300 halaman. Buku yang mengulas alasan-alasan bahwa perempuan dan korban kekerasan berhak mendapatkan zakat dengan mengkai nash dan ditopang dengan pendapat para ulama.
Dalam buku ini, Yulianti membukanya dengan pemaparan keadilan gender dan narasi bahwa Islam mendudukkan perempuan memiliki derajat yang seimbang dengan laki-laki. Disusul dengan sejarah perempuan di peradaban Islam masa lalu yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa perempuan jaman dulu pun memiliki kemampuan yang sama bahkan menungguli.
Penempatan perempuan di kelas dua sejak dulu dan saat ini bisa disangkal dengan fakta yang ditilik pada pengalama realitas. Akan tetapi, sifat superior yang mengakar pada masyarakat patriarki menyebabkan masalah ketimpangan gender terus terjadi. Kasus kekerasan pada perempuan terus terjadi, bahkan hingga pada era modern seperti ini. Yulianti juga menuliskan pengalamannya saat mendampingi korban kekerasan seksual. Banyak masyarakat yang berupaya menutup mata dari fakta yang ada soal kasus ini.
Barulah ia memaparkan mengenai pemahaman tentang definisi “Mustahik” yang dipahami masih secara normatif oleh masyarakat. Masyarakat masih menganggap bahwa definisi dari delapan golongan penerima zakat tidak bisa dikaji ulang dan bersifat qath’i (pasti).
Dalam buku ini, Yulianti menuliskan bahwa ijtihad dalam penerapan maqashid syari’ah perlu dilakukan. Ijtihad yang bersifat baru (al-qira`ah al-muntijah) sehingga hukum fikih sesuai perkembangan aman. Ijtihad yang bukan bermaksud meragukan ke-qath’iyyan ayat zakat, tapi penerapan nilai tujuan ditetapkannya syari’at.
Alasan mengapa perempuan dan anak korban kekerasan perlu dimasukkan sebagai golongan penerima zakat disampaikan dengan dalil yang otoritatif. Dengan memaparkan keadaan korban kekerasan berdasarkan pengalamannya, Yulianti kemudian memaparkan pengertian dari masing-masing golongan penerima zakat dari ulama klasik maupun modern.
Zakat sangat potensial dalam pengembangan ekonomi masyarakat Islam. Itulah mengapa zakat juga menjadi komponen penting dalam penguatan sumber daya manusia. Ulasan mengenai definisi mustahik zakat kemudian diarahkan pada kesesuaian nasib korban perempuan dan anak dalam kasus kekerasan.
Ulasan yang juga menuntut tokoh agama dan organisasi untuk mengeluarkan fatwa tentang ini. Sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama tentang fatwa pemanfaatan zakat untuk pejuang Covid-19. Buku ini banyak disetujui oleh para tokoh agama dan diadvokasikan kepada beberapa lembaga filantropi baik milik organisasi masyarakat maupun negara.
Upaya ini layak diapresiasi dan diperjuangkan agar korban kekerasan mendapatkan dukungan dan perlindungan.