BincangMuslimah.Com – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat bahwa selama tahun 2024 terdapat 28.350 jumlah kasus kekerasan di Indonesia.
Mayoritas korban kekerasan adalah perempuan dengan persentase sebesar 80,1% (24.596 kasus), sedangkan korban laki-laki hanya mencapai 19,9% (6.123 kasus). Data ini menegaskan bahwa perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan dibandingkan laki-laki.
Mayoritas pelaku kekerasan adalah laki-laki dengan persentase sebesar 88,6%, sedangkan perempuan sebagai pelaku hanya mencatatkan 11,4%. Data ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap korban, terutama perempuan, dengan sebagian besar pelaku ialah laki-laki.
Dari data yang tersaji, mengindikasi perempuan cenderung lebih banyak menjadi korban kekerasan. Pelaku utamanya adalah laki-laki, yang mencerminkan pola relasi kekuasaan yang tidak seimbang dalam masyarakat.
Pola ini merefleksikan masih kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat. Dimana kekuasaan dan kendali sering kali dimiliki oleh laki-laki, sehingga perempuan lebih mudah menjadi target kekerasan.
Korban Perempuan Berdasarkan Kelompok Umur
Data korban kekerasan perempuan berdasarkan kelompok umur menunjukkan bahwa kelompok usia 13–17 tahun menjadi kelompok terbesar yaitu 32,8%. Hal ini menunjukkan remaja perempuan berada dalam situasi yang paling rentan terhadap kekerasan.
Remaja pada kelompok ini cenderung berada dalam masa pencarian jati diri. Karena mereka lebih mungkin menghadapi tekanan sosial, kekerasan dalam pacaran, atau eksploitasi oleh orang dewasa.
Selanjutnya, kelompok usia 25–44 tahun (25,7%) juga menunjukkan angka signifikan, yang dapat dikaitkan dengan dinamika kekerasan dalam rumah tangga atau di lingkungan kerja.
Kelompok usia 6–12 tahun (16,8%) juga memiliki persentase yang cukup tinggi. Hal ini mencerminkan kerentanan anak-anak terhadap kekerasan di lingkungan keluarga maupun komunitas.
Persentase korban balita (0–5 tahun) sebesar 5,5% memperlihatkan adanya kekerasan yang bahkan menimpa anak-anak yang belum bisa sepenuhnya melindungi diri mereka sendiri.
Kelompok usia 45 tahun ke atas menunjukkan angka yang menurun tajam. Dengan kelompok usia 60+ hanya sebesar 0,5%. Hal ini kemungkinan menunjukkan bahwa kelompok usia produktif dan remaja lebih sering menjadi korban kekerasan daripada kelompok lansia.
Korban Perempuan Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Dari sisi pendidikan, kelompok terbesar adalah perempuan dengan jenjang SLTA (31,3%), diikuti oleh kelompok SLTP (23,8%), dan SD (18,5%).
Angka ini mencerminkan bahwa korban kekerasan banyak berasal dari kalangan yang masih berada di bangku sekolah atau baru lulus. Hal ini bisa menunjukkan adanya pola kekerasan dalam lingkungan pendidikan, komunitas remaja, atau bahkan keluarga.
Korban dengan pendidikan tinggi hanya menyumbang 9,6%, tetapi bukan berarti kekerasan tidak terjadi di kalangan berpendidikan tinggi. Melainkan mungkin lebih sulit terdeteksi karena stigma atau kemampuan mereka untuk mencari perlindungan.
Di sisi lain, korban yang tidak memiliki riwayat pendidikan atau tidak pernah sekolah (5,8%) dan korban dari TK/PAUD (2,0%) menunjukkan bahwa kekerasan juga terjadi di kelompok rentan, terutama anak-anak kecil.
Tingginya angka pada kelompok pendidikan SLTA dan SLTP mengindikasikan perlunya langkah pencegahan di kalangan sekolah menengah, seperti edukasi tentang kesetaraan gender, hak perempuan, dan perlindungan dari kekerasan.
Kasus Kekerasan Perempuan Berdasarkan Tempat Kejadian
Jumlah kasus berdasarkan tempat kejadian menunjukkan bahwa lingkungan rumah tangga menjadi lokasi dengan jumlah kasus tertinggi, yakni 17.523 kasus.
Hal ini mengindikasikan bahwa rumah, yang seharusnya menjadi tempat paling aman, justru menjadi area yang paling rentan terhadap terjadinya berbagai bentuk kekerasan atau pelanggaran.
Selain itu, kategori lainnya mencatat sebanyak 6.067 kasus menunjukkan adanya berbagai lokasi lain yang turut berkontribusi terhadap tingginya angka kejadian tersebut.
Tempat kerja tercatat memiliki 384 kasus, sementara fasilitas umum menyumbang 2.881 kasus, yang menjadi perhatian khusus dalam memastikan keamanan publik.
Sekolah, yang merupakan tempat anak-anak seharusnya merasa aman memiliki 1.718 kasus, mengindikasikan perlunya penguatan pengawasan dan perlindungan di lingkungan pendidikan.
Adapun lembaga pendidikan kilat mencatatkan angka yang relatif kecil yaitu 47 kasus, namun tetap memerlukan perhatian karena keberadaannya sebagai ruang pendidikan sementara.
Data ini secara keseluruhan menggambarkan perlunya pendekatan lintas sektor untuk meningkatkan keamanan di berbagai lokasi dan menekan angka kasus serupa di masa depan.
Bentuk Kekerasan
Bentuk kekerasan yang dialami oleh korban menunjukkan angka yang signifikan, dengan kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan yang paling tinggi tercatat yakni 12.838 kasus.
Angka ini menggambarkan tingginya ancaman terhadap keamanan dan kesejahteraan korban, terutama dalam konteks perlindungan anak dan perempuan.
Diikuti oleh kekerasan fisik sebanyak 10.083 kasus dan kekerasan psikis sebanyak 8.716 kasus, yang menunjukkan bahwa dampak kekerasan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mental dan emosional.
Kekerasan dalam hal eksploitasi tercatat sebanyak 341 kasus, sementara trafficking atau perdagangan manusia mencatatkan angka 375 kasus. Sehingga menandakan adanya kebutuhan mendesak akan perlindungan terhadap korban yang terjebak dalam jaringan eksploitasi dan perdagangan manusia.
Penelantaran perempuan terdapat 2.327 kasus sehingga perlu menyoroti persoalan pengabaian terhadap hak-hak dasar individu. Bentuk kekerasan lainnya tercatat sebanyak 2.981 kasus, yang mencakup berbagai kekerasan yang tidak dapat dikategorikan secara spesifik dalam kelompok yang telah disebutkan.
Secara keseluruhan, data ini menunjukkan tingginya berbagai bentuk kekerasan dan perlunya upaya terkoordinasi untuk mencegah dan menangani permasalahan ini dengan lebih efektif.
Data di atas seharusnya menjadi perhatian utama untuk memperkuat upaya pencegahan kekerasan berbasis gender. Serta mendukung kebijakan dan program yang mendorong kesetaraan gender di berbagai aspek kehidupan.
Meski telah banyak melakukan beragam upaya, tantangan seperti budaya patriarki, stigma terhadap korban, dan kurangnya penegakan hukum yang tegas masih menjadi hambatan. Sehingga perlu penanganan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan bebas dari kekerasan terhadap perempuan.
Sumber: