BincangMuslimah.Com – Karmin adalah pewarna merah alami yang berasal dari serangga cochineal. Terdapat perbedaan fatwa mengenai hukum pewarna karmin di berbagai negara. Karena dihasilkan dari serangga, beberapa negara mengharamkan penggunaannya di berbagai produk, baik makanan maupun kosmetik. Namun, beberapa negara lain tetap memperbolehkan dengan alasan tertentu.
Alasan Karmin Digunakan
Serangga Cochineal memiliki zat pewarna alami yang disebut asam karminat yang diekstraksi dari tubuh serangga tersebut. Karmin memiliki warna merah yang cerah dan stabil, sehingga sering digunakan sebagai pewarna makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan. Karmin juga digunakan sebagai pewarna kain dan tekstil sejak zaman dahulu.
Adapun produk-produk yang mengandung karmin memiliki nama kode E120 di Uni Eropa dan FD&C Red No. 4 di Amerika Serikat. Beberapa produk yang sering menggunakan pewarna karmin, seperti permen, yogurt, es krim, saus, soda, lipstik, blush on, obat batuk, dan obat pilek.
Karmin aman dikonsumsi oleh manusia, tetapi ada beberapa orang yang alergi terhadap serangga Cochineal, sehingga dapat mengalami reaksi alergi jika mengkonsumsi produk yang mengandung karmin.Di Indonesia sendiri, karmin telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai pewarna makanan yang aman dikonsumsi.
Cara Pengolahan Karmin
Adapun kandungan Karmin adalah pigmen merah yang terdiri dari asam karminat dan aluminium. Proses pembuatan karmin sendiri dimulai dengan mengumpulkan serangga cochineal. Serangga ini dikumpulkan dari kaktus di mana mereka hidup. Setelah dikumpulkan, serangga cochineal dihancurkan untuk mengekstrak asam karminat. Asam karminat kemudian dicampur dengan garam aluminium untuk menghasilkan pewarna karmin.
Fatwa Haram Hukum Pewarna Karmin di Berbagai Negara
Hingga saat ini ada beberapa negara yg mengharamkan karmin. Larangan tersebut didasarkan pada alasan agama karena terbuat dari serangga yang dianggap najis. Selain itu, ada juga alasan kesehatan, yaitu karmin dapat menyebabkan reaksi alergi pada beberapa orang.
Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai larangan karmin di beberapa negara:
Indonesia
Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU) Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan karmin pada tahun 2023. Fatwa ini didasarkan pada pandangan dalam Madzhab Syafi’i yang memandang bahwa bangkai serangga (hasyarat) dianggap najis dan menjijikkan.
Iran
Iran melarang penggunaan karmin dalam produk makanan dan minuman sejak tahun 2007. Larangan ini didasarkan pada fatwa Majelis Fatwa Iran yang menyatakan bahwa karmin haram karena terbuat dari bangkai serangga.
Israel
Israel melarang penggunaan karmin dalam produk makanan dan minuman sejak tahun 2013. Larangan ini didasarkan pada fatwa Mahkamah Rabbin Tinggi Israel yang menyatakan bahwa karmin haram karena terbuat dari bangkai serangga.
Palestina
Palestina melarang penggunaan karmin dalam produk makanan dan minuman sejak tahun 2014. Larangan ini didasarkan pada fatwa Majelis Fatwa Palestina yang menyatakan bahwa karmin haram karena terbuat dari bangkai serangga.
Uni Emirat Arab
Uni Emirat Arab melarang penggunaan karmin dalam produk makanan dan minuman sejak tahun 2016. Larangan ini didasarkan pada peraturan pemerintah yang menyatakan bahwa karmin dapat menyebabkan alergi pada beberapa orang.
Fatwa Halal Hukum Pewarna Karmin di Berbagai Negara
Di sini lain, beberapa ulama lain berpendapat bahwa karmin adalah halal karena tidak mengandung unsur najis dan tidak membahayakan kesehatan. Lembaga fatwa yang menghalalkan karmin umumnya berpegang pada pendapat bahwa karmin tidak mengandung unsur najis karena tidak termasuk dalam kategori hewan yang haram dimakan. Selain itu, karmin juga tidak membahayakan kesehatan karena telah diuji secara ilmiah dan dinyatakan aman untuk dikonsumsi
Berikut adalah lembaga fatwa di dunia yang menghalalkan karmin, di antaranya: Majelis Ulama Indonesia (MUI), Council of Islamic Jurisprudence of North America (CIINA), Islamic Fiqh Academy of the Organization of Islamic Cooperation (OIC), Islamic Fiqh Council of Europe (IFCE), Fatwa Council of the Muslim World League (MWL), Fatwa Council of the European Council for Fatwa and Research (ECFR), dan Fatwa Council of the World Association of Muslim Scholars (WAMY).
Lembaga-lembaga fatwa tersebut menghalalkan karmin dengan pertimbangan bahwa serangga cochineal yang digunakan sebagai bahan baku pewarna karmin tidak termasuk hewan yang haram dimakan dalam Islam. Serangga cochineal merupakan sejenis kutu daun yang hidup di kaktus dan tidak memiliki darah atau saraf. Oleh karena itu, serangga cochineal tidak termasuk hewan yang memiliki perasaan dan kesakitan.
Selain itu, lembaga-lembaga fatwa tersebut juga mempertimbangkan bahwa karmin merupakan pewarna alami yang aman dikonsumsi. Karmin telah digunakan sebagai pewarna makanan dan minuman selama berabad-abad, dan tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa karmin berbahaya bagi kesehatan.
Pendapat Ulama Klasik Mengenai Karmin
Cochineal dalam kitab klasik dikategorikan sebagai hasyarat. Dalam kitab Al-Majmu Syarh Al Muhadzab Imam An Nawawi menyebutkan:
وأما الحشرات فبفتح الحاء والشين وهي هوام الأرض وصغار دوابها
Artinya: “Hasyarat adalah kutu/serangga dan binatang kecil di bumi”
Dalam hal ini, ulama klasik terbagi menjadi dua kubu. Ada yang menghukumi ketika mengkonsumsinya halal dan ada pula yang haram. Dalam kitab “As-Syarh Al-Kabir”. Juz: 11, hal. 73 Ibnu Qudamah mengatakan:
… فعلى هذا من المستخبثات الحشرات كالديدان والجعلان وبنات وردان والحنافسِ والفار والْأوزاغ والحرباء وَالعضا والحراذين والعقارِب والحيات، وبهذا قال أبو حنيفة وَالشافعي ورخص مالك وابن أبي ليلى، والأوزاعي في ذلك كله إلا الأوزاع، فإن ابن عبد البر قال هو مجمع على تحريمه،
Artinya: “Serupa dengan masalah ini tentang hukum hewan yang menjijikkan adalah al-hasyarat seperti cacing, kumbang (jenis scarabs), kecoa, kumbang, tikus, tokek, bunglon, ad-‘adha, tikus sejenis rattus, kalajengking, dan ular, semuanya menurut imam Abu Hanifah dan imam as-Syafi’i hukumnya haram. Sedangkan menurut imam Malik, Ibnu Abu Laila dan al-Auza’i hukumnya boleh, kecuali hewan tokek, karena imam Ibnu Abdul Bar mengatakan kesepakatan ulama tentang keharamannya.”
Cara Menyikapi Dua Fatwa yang Berseberangan
Pertama-tama, perlu diketahui bahwa fikih memang menjadi ranah untuk berijtihad, sehingga seringkali melahirkan adanya perbedaan pendapat. Bahkan dikatakan dalam kitab Al-Muwafaqat, Juz 5, hlm. 122:
مَنْ لَمْ يَعْرِفِ اخْتِلَافَ الْقِرَاءَةِ فَلَيْسَ بِقَارِئٍ، وَمَنْ لَمْ يَعْرِفِ اخْتِلَافَ الْفُقَهَاءِ فَلَيْسَ بِفَقِيهٍ
Artinya: “Orang yang tidak mengetahui perbedaan bacaan qiraat dalam Alquran tidak bisa disebut dengan ahli qiraat, sebagaimana pula orang yang tidak mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih, ia tidak bisa disebut dengan ahli fikih”.
Dengan demikian, demi menjaga stabilitas hubungan, mari saling menghargai pandangan. Agar tidak terjadi perpecahan, perbedaan pandangan harus dikelola dengan kelapangan dada. Umat Islam dianjurkan untuk menghormati perbedaan fatwa hukum karmin tersebut. Bagi umat Islam yang mengikuti fatwa yang menghalalkan dan membolehkan, tidak perlu memaksakan pendapatnya kepada umat Islam yang mengikuti fatwa yang mengharamkan.
Sebaliknya, bagi umat Islam yang mengikuti fatwa yang mengharamkan, tidak perlu menghakimi umat Islam yang mengikuti fatwa yang menghalalkan. Hidup indah dengan perbedaan pendapat, terlebih dalam persoalan khilafiyah.