BincangMuslimah.Com – “Perempuan itu seperti obat, bisa sebagai pemberi kehidupan juga sebagai pengakhir kehidupan.” Kira-kira begitu ucap seorang laki-laki yang menemani perjalanan dari Bawabbat sampai Darrasah, pinggiran kota Kairo yang tidak jauh dari hiruk-pikuk kehidupan metropolitan. Sosok perempuan dalam pergulatan masyarakat Arab menjadi teman topik perjalanan.
Di sepanjang perjalanan, hembusan angin yang yang masuk melalui jendela menembus wajah, dingin dan segar rasanya. Sembari merasakan hembusan angin, aku juga melihat penjual di pinggir jalan yang didominasi oleh laki-laki. Mulai dari toko kelontong, warung makan, penjual sayur di pasar dan masih banyak lagi. Tentunya ini merupakan pemandangan yang baru bagi orang Indonesia, di mana pasar didominasi oleh ibu-ibu.
Dari percakapan yang panjang, saya memahami ada beberapa laki-laki yang masih saja mempunyai pandangan superior, mereka beranggapan perempuan tidak bisa menduduki wilayah-wilayah tertentu. Maka dari itu, perempuan harus sadar akan jarak yang telah dinormalisasikan dalam masyarakat. Di sisi lain, ada beberapa laki-laki yang merasa perempuan bukan sebagai pesaing, akan tetapi mereka berjalan beriringan untuk mendapatkan keselerasian dalam hubungan antar laki-laki dan perempuan.
Dari dua kategori di atas, sampai sekarang pun, posisi perempuan mengalami subordinasi dari masyarakat, baik secara privat maupun publik. Hal tersebut tidak terlepas dari fakta sejarah yang menjadikan perempuan sebagai kelas kedua dalam tatanan masyarakat.
Perempuan kelas kedua
Jauh sebelumnya, masyarakat Arab Jahili memandang perempuan sebagai kelas kedua dalam tatanan sosial. Hal ini yang menjadikan mereka membatasi perempuan dalam ranah umum dan privat.
Dalam buku Al-Fajr Al-Islam, karangan Ahmad Amin seorang cendekiawan berdarah Arab-Mesir, beliau menuturkan bahwasannya masyarakat Arab Jahili memandang perempuan sebagai kelas kedua karena keterbatasannya dalam berperang. Bagi mereka, kedudukan tinggi seseorang ditentukan dari kekuatan fisik, salah satunya yakni berperang. Maka dari itu, kelemahan perempuan tidak bisa berperang tersebut menjadi sebuah aib bagi keluarga.
Karena perempuan dinilai sebagai aib, lahirnya anak perempuan menjadi ancaman bagi mereka. Tanpa berpikir panjang, mereka tidak segan-segan membunuh bayi perempuan hidup-hidup untuk menghilangkan aib keluarga.
Kesetaraan ketika Islam datang
Setelah Islam datang, melihat adanya ketimpangan yang terjadi, Allah menurunkan perintah melalui Alquran, bahwasannya laki-laki dan perempuan sama. Melalui pendekatan teologi, bahwa manusia harus menyembah tuhan satu-satunya, Allah. Dari konsep ini, manusia di hadapan Tuhan setara, tidak ada yang menjadi superior dan inferior. Islam juga menampakkan wajahnya sebagai agama yang ramah bagi perempuan, di antaranya beberapa surah dalam Alquran yang menggunakan nama perempuan dan kisah perempuan.
Perempuan masih terkekang
Setelah sekitar lima tahun hidup di perantauan, saya meyakini ideologi patriarkis masih berkembang di masyarakat setempat. Dari beberapa kejadian, saya masih mendapati perempuan yang mendapatkan kekangan dari tradisi, budaya dan lingkungan.
Sampai akhirnya, pada suatu hari saya menyusuri pinggiran desa Mesir bersama seorang teman pribumi, tentunya keadaan jauh berbeda dengan Kairo, di mana masih kental akan tradisi dan budaya setempat. Seperti tugas perempuan di bagian domestik, perempuan tidak boleh naik sepeda atau motor, mencukupkan pendidikan di cukup di lingkup setempat, dan masih banyak lagi.
Selama ratusan tahun, doktrin masyarakat Arab Jahili yang mengakar pada masyarakat Arab tidak bisa hilang begitu saja. Mereka beranggapan bahwa tugas dan kewajiban perempuan hanya berkutat pada pekerjaan domestik yang tidak bisa diganggu gugat. Ketika seorang perempuan mencoba keluar dari wilayah yang di buat oleh majemuk, berarti dia melanggar norma yang ada dan sejarah.
Kritik ketimpangan gender Nawal El-Sa’dawi
Berbeda dengan Nawal El-Sa’dawi, melihat adanya ketimpangan di negaranya, membulatkan tekad dan niat Nawal untuk menemani perempuan untuk mendapatkan haknya. Di tengah peran perempuan yang tidak dianggap, Nawal sebagai suara minoritas membantah tradisi dan budaya yang mengikat perempuan Mesir khususnya, melalui buku yang di tulis, Al-Mar’ah Inda Nuqtoh atau Perempuan di Titik Nol yang di terbitkan pada tahun 1977 tentu menuai banyak kritikan.
Dalam bukunya, Nawal menceritakan perempuan Mesir melalui sosok Firdaus, Firdaus lahir dari suatu desa kecil di Mesir, ia berasal dari lingkungan kelas ekonomi ke bawah, ayahnya hanyalah petani desa rata-rata mata pencaharian penduduk lainnya. Sedangkan sang ibu menghabiskan hari-harinya di dapur. Layaknya perempuan Arab pada umumnya, kehadiran Firdaus di keluarga kecil tersebut bagai aib dalam keluarga.
Dalam ranah privat, sang ayah menjadi pemegang penuh dalam keluarga, bahwasannya laki-laki (ayah) seolah harus dijadikan raja oleh individu lainnya (anak dan istri). Dalam budaya patriarki, seorang perempuan dianggap makhluk nomor dua. Mereka menganggap wilayah perempuan hanya bersifat hal yang domestik tersebut menciptakan suatu hubungan dominasi dan subordinasi. Akibatnya, Firdaus dan perempuan lainnya tidak mendapatkan ruang sebagaimana manusia secara utuh.
Selain di ranah privat, Nawal juga mengkritik alpanya perempuan dalam ranah publik. Keinginan Firdaus dalam mendapatkan pendidikan tinggi juga mendapatkan kekangan dari lingkungan. Pasalnya institusi pendidikan tidak memberikan ruang bagi perempuan. Pendidikan tinggi seperti universitas hanya diperuntukkan bagi laki-laki, karena hanya laki-laki yang mampu bergerak di ruang publik.
Bagi Nawal, perempuan juga bisa menempati ranah publik ketika perempuan mendapatkan fasilitas dan hak layaknya laki-laki. Selain itu, ketika pendidikan hanya diberikan kepada laki-laki, ketimpangan yang ada semakin jelas.
Kritik pendidikan perempuan Amin Qasim
Jauh sebelumnya, Qasim Amin juga mengkritik bahwa perempuan dikukung masyarakat Mesir, baik dari tradisi dan adat yang terus mengakar. Oleh karena itu, Qasim menegaskan bahwa perempuan harus diakui sebagaimana dengan laki-laki, salah satunya diawali dengan memberikan pendidikan bagi perempuan.
Dalam bukunya, Tahrir al-Mar’ah atau emansipasi perempuan, kritik pertama yang dilontarkan Qasim adalah memberikan pendidikan bagi perempuan layaknya laki-laki. Posisi perempuan sebagai pekerja domestik seharusnya tidak menjadikan alasan perempuan tidak membutuhkan pendidikan.
Ketika perempuan mendapatkan pendidikan layaknya laki-laki, perempuan harus dilihat sebagai manusia yang utuh. Itu karena pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia utuh. Sudah sepatutnya subordinasi perempuan yang mengakar pada masyarakat dihilangkan. Karena Tuhan menciptakan perempuan dan laki-laki menjadi makhluk sosial yang harus memiliki rasa kesalingan.
Memang, pembicaraan tentang perempuan dalam pergulatan pandangan masyarakat Arab mengalami perubahan dari masa ke masa. Awal mulanya perempuan menjadi aib keluarga dan masyarakat kelas dua. Seiring berjalannya waktu banyak tokoh yang mengkritisi ketimpangan yang terjadi di Mesir. Namun, faktanya ketimpangan gender msih banyak terjadi. Perempuan dengan kekangannya masih sering dijumpai.