BincangMuslimah.Com – Dalam rangka mewujudkan maslahat untuk menjaga keturunan dan menjaga kehormatan, Islam mensyariatkan adanya ikatan pernikahan. Hukum pernikahan sendiri sangat fleksibel sesuai dengan kondisi orang yang bersangkutan. Terkadang pernikahan dihukumi sunnah, wajib, lebih baik tidak menikah dan bahkan ada pernikahan yang dimakruhkan.
Hal ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari di dalam kitab Fath al-Mu’īn bi Syarh Qurrah al-‘Ain hal. 444-445 dengan rincian sebagai berikut:
Sunnah: ditujukan untuk orang yang mampu/butuh kepada bersetubuh di samping juga mampu dalam hal biaya baik untuk membayar mahar maupun memberi nafkah.
Wajib: ditujukan untuk orang yang mampu/butuh kepada disamping juga mampu dalam hal biaya baik untuk membayar mahar maupun memberi nafkah yang bernazar untuk menikah.
Makruh: ditujukan untuk orang yang tidak mampu/butuh kepada bersetubuh namun tidak mampu dalam hal biaya baik untuk membayar mahar maupun memberikan nafkah
Lebih utama tidak menikah: ditujukan untuk orang yang mampu/butuh kepada bersetubuh namun tidak mampu dalam hal biaya baik untuk membayar mahar maupun memberikan nafkah.
Bagi orang yang masuk kedalam kategori yang terakhir ini, Islam memberikan solusi. Terdapat anjuran puasa bagi orang belum mampu menikah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: “Barang siapa di antara kalian yang mampu untuk menikah maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan kepada pandangan dan lebih menjaga kepada kemaluan. Sedangkan orang yang belum mampu untuk menikah maka hendaklah ia berpuasa. Karena sesungguhnya puasa itu bisa menekan nafsu syahwat orang tersebut.” (HR. Bukhari Muslim)
Menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitab Hāsyiyah al-Sanadī ‘ala Sunan al-Nasā’i juz 4 halaman 171 ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan tentang makna dari lafal البَاءَةَ. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang tidak mampu di sini adalah orang yang tidak mampu dalam berhubungan.
Sedangkan menurut pendapat yang kedua adalah orang yang tidak mampu dari segi biaya. Lalu pendapat ini dikomentari dengan menaksir bahwa yang dimaksud adalah barangsiapa yang tidak mampu melakukan hubungan karena lemah dari segi finansial maka hendaklah ia berpuasa.
Dengan demikian, secara global dapat diartikan bahwa puasa menjadi alternatif bagi seseorang yang belum mampu menikah untuk menekan syahwat orang tersebut sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadis di atas. Karena salah satu tujuan puasa sendiri adalah untuk melatih dan mengontrol diri.
Adanya syariat puasa juga bertujuan untuk melatih kesabaran dan kesiapan seorang muslim dalam terhalangnya kebiasaan yang biasa dilakukan. Dalam bulan Ramadan ini, jelas selain sebagai pengontrol hawa nafsu, puasa juga menjadi sarana untuk memperoleh ganjaran yang luar biasa di sisinya.
Imam Fakhruddin Ar-Razi di dalam kitab Mafatih Al-Ghaib juz 5, halaman 240, menafsiri kata “taqwa” yang ada di dalam ayat pensyariatan puasa Ramadan. Menurut beliau, kata “taqwa” di dalam ayat tersebut setidaknya ada tiga makna; yaitu bisa melebur syahwat yang ada pada diri, melatih diri untuk menanggung beban, dan menjadi ajang untuk menyehatkan badan.
Masih banyak sekali manfaat puasa selain sebagai alternatif bagi seseorang yang belum mampu menikah. Ibadah puasa ini adalah ibadah pertemuan dengan umat lain di mana dalam puasa juga mengajarkan toleransi yang luar biasa dikarenakan setiap agama mengajarkan hal yang sama dan inti dari ajarannya adalah menahan diri dari hal yang dilarang oleh Tuhan.
Semoga bulan Ramadan kali ini bisa menjadikan kita menjadi hamba yang bertaqwa kepada sang Maha Kuasa, sekian, semoga bermanfaat.
Editor: Zahrotun Nafisah