BincangMuslimah.Com – Berbicara mengenai pernikahan, pasti tanpa disadari bahwa kehidupan manusia tak mungkin berlangsung kecuali dengan memelihara generasi yang baik. Dan generasi yang baik tak mungkin lahir kecuali dari pernikahan dan keluarga yang utuh dan harmonis, juga tentunya keluarga yang berakidah kuat, taat beribadah, dan berbudi pekerti luhur.
Pernikahan juga merupakan cara termulia untuk memenuhi kebutuhan biologis, naluri, dan fitrah saling mencinta yang dititipkan Allah kepada manusia yang mana suatu saat akan diambil kembali. (Baca: Saat Sedih Mendalam, Ini Doa yang Dibaca Imam Makruf Al-Karkhi)
Sehubungan dengan ini, ada kisah mengharukan yang diriwayatkan Imam Malik dalam kitabnya. Riwayat ini menceritakan tentang kesedihan seorang suami ditinggal wafat oleh istrinya. Kecintaan sang ulama besar tersebut terhadap istrinya begitu besar sehingga semenjak istrinya wafat, beliau memutuskan untuk menyendiri karena kesedihan yang dialaminya. Hal ini disebutkan dalam bab himpunan pengetahuan mengharap-harap ganjaran saat musibah terjadi dalam kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik.
Imam Malik di dalam kitabnya meriwayatkan dari Yahya bin Said dan Al-Qasim bin Muhammad bahwa beliau berkata: “Istriku wafat, maka Muhammad bin Kaab Al-Quradzhi mendatangi untuk bertakziyah”
Muhammad berkata: “Di kalangan Bani Israil terdapat seorang faqih, alim, ahli ibadah dan ahli berijtihad. Dia sudah beristri. Dia mengagumi dan mencintai istrinya. Ketika istrinya wafat, dia sangat bersedih dan sangat menyesalinya, hingga dia menyendiri di rumah, menutup diri, dan menghindari orang-orang. Tidak ada seorang pun yang menemuinya.
Ada seorang wanita yang mendengarnya. Dia mendatanginya dan berkata : “Aku ada perlu dengannya. Aku ingin meminta fatwa, tidak bisa diwakilkan.” Orang-orang pergi dan wanita ini menunggu di pintu. Wanita ini berkata: “Aku harus bertemu dengannya.”
Seseorang menyampaikan kepada laki-laki alim itu: “Ada seorang wanita di pintu yang ingin meminta fatwamu. Wanita itu berkata bahwa ia hanya ingin berbicara denganmu.” Orang-orang telah bubar sementara dia tetap di pintu.
Orang Alim itu pun berkata : “Suruh dia masuk.” Wanita itu masuk dan berkata: “Aku datang untuk meminta fatwamu dalam suatu perkara.” Oran Alim itu bertanya: “Apa itu?” Wanita ini berkata: “Aku meminjam perhiasan dari tetanggaku. Aku memakainya dan meminjamkannya beberapa waktu, kemudian mereka memintaku untuk mengembalikannya. Apakah aku harus mengembalikankannya?’
Laki-laki itu menjawab: “Ya, demi Allah.” Wanita itu berkata “Perhiasan itu telah berada padaku selama beberapa waktu.” Laki-laki itu menjawab : “Hal itu lebih wajib atasmu untuk mengembalikankannya pada mereka ketika mereka meminjamkannya beberapa waktu.”
Wanita itu berkata, “Semoga Allah merahmatimu. Apakah kamu menyesali apa yang yang Allah pinjamkan kepadamu kemudian Dia mengambilnya darimu sementara Dia lebih berhak daripada dirimu?” Laki-laki alim ini tersadar dari kekeliruannya dan ucapan wanita ini sangat berguna baginya.”
Kualitas sanad mengenai hadis ini Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth mengomentari hadis ini dalam Jami’ul Ushul, sanad kepada Muhammad bin Kaab Al-Qurazhi adalah shahih.
Salah satu nasehat yang diambil dari kisah perempuan tadi yaitu mengenai pemberian perumpamaan perhiasan yang dipinjam dengan istrinya. Istri berada di sisinya sebagai pinjaman dan semua yang ada di dunia hanyalah titipan Allah. Ketika perempuan ini memberikan pandangan laki-laki itu kepada persamaan antara keadaannya dengan keadaan perhiasaan pinjaman, maka dia mulai tersadar akan apa yang dialaminya selama ini.
Tidak ada halangan bagi seorang perempuan untuk berusaha mengajarkan dan menyebarkan kebaikan kepada manusia, asalkan dia bisa menjaga diri dari mudharat. Dari nasehat yang diberikan oleh perempuan ini bisa diambil pelajaran bahwa apa yang menjadi milik Allah maka sewaktu-waktu akan diambil kembali. Seperti dalam firman Allah surat an-Nur ayat 42 dibawah ini :
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“ Dan kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah lah kembali.”
Kesedihan seseorang yang ditinggal kekasih tersayang memang beragam bentuknya. Seperti halnya kisah seorang ulama besar yang ditinggal istrinya wafat. Begitu juga ketika Rasulullah ditinggal oleh istrinya Sayyidah Khadijah. Beliau tidak kuasa membendung air matanya untuk tidak keluar ketika orang tersayang meninggalkannya. Terlebih ketika itu beliau sangat membutuhkan kehadiran sang istri untuk membantu menjadi penyemangat mendakwahkan Islam kala itu.
Namun harapannya sesuai dengan ketentuan Islam tentu kesedihannya tidak berlangsung lama selanjutnya diganti dengan doa yang dihadiahkan untuk orang tersayang yang telah wafat.
Wallahu A’lam Bisshawab
*Tulisan ini pernah diterbitkan di Bincangsyariah.com
1 Comment