BincangMuslimah.Com – Kata perempuan dalam Alquran digambarkan dengan beberapa kata, seperti an-nisa’, al-mar’ah, bintu, dan zaujah. Kata An-Nisa’ disebut 59 kali dalam Alquran, an-Nisa’ menunjukan makna gender perempuan dan para istri. Terdapat pula perintah memuliakan perempuan sesuai dengan An-Nisa’ ayat 19 dan larangan perempuan disubordinasikan dan dimarginalisasi disinggung pada surat At-Talaq ayat 6.
Perlakuan subordinasi terhadap istri dalam keluarga menjadi budaya yang sudah berjalan dari masa ke masa, karena perempuan identik dengan inferior dan suami superior. Patriarki adalah tradisi yang terus dikontruksil. Sehingga pengambilan hukum dan kebijakan ekonomi, laki-lakilah yang memiliki otoritas penuh bagi anggota keluarganya. Padahal, kepemimpinan perempuan dalam Alquran sudah disinggung dengan mengedepankan keadilan gender.
Pada makna ayat 74 surat Al-Furqan mendukung perempuan untuk terus memiliki usaha sebagai pemimpin, kemudian menjadi tolak ukur dalam berdo’a atau harapan agar menjadi pemimpin. Perhatikan makna yang ingin disampaikan pada setiap kata dari ayat ini;
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Pada kata “azwâjinâ” menunjukan makna berpasangan, baik laki-laki maupun perempuan, kemudian pada kalimat terakhir “waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Ayat ini menjadi do’a bagi perempuan untuk menjadi pemimpin.
Muhammad Abduh memperkuat pendapat dengan surat At-Taubah ayat 71, menjelaskan bahwa kata auliya ini ditafsirkan “bertanggung jawab” dan “pemimpin”, ada kata mu’minun dan mu’minat sebelumnya, maka tafsir ini menegaskan bahwa perempuan pun memiliki potensi yang sama sebagai pemimpin.
Kepemimpinan baik perempuan maupun laki-laki terletak pada pengaruhnya dalam membawa kemaslahatan. Maslahat dalam konsep ini yaitu kemaslahatan publik, ada tiga prinsip yang berdasarkan mubâdâlah. Langkah pertama, memberikan kesetaraan pada semua lapisan, terutama minoritas, paling rentan lemah dalam relasi kuasa, finansial, posisi ini lebih banyak diisi oleh perempuan dan anak. Maka perlindungan yang dibutuhkan dengan affirmative action di ruang publik.
Langkah selanjutnya, memberikan perlindungan pada perempuan atas kondisi yang bersifat kodrati, memberikan kemaslahatan di ruang publik bukan dengan mendiskriminasikan hanya karena stigma yang sudah berjalan dari masa ke masa sebab pengalaman biologisnya. Kemudian langkah yang ketiga, memberikan peluang setara kepada perempuan. Umumnya, golongan ini dimarginalkan, maka perempuan menjadi perumus kebijakan, pemantauan dan pelaksanaanya, adalah salah satu kemaslahatan publik yang harus diperjuangkan.
Kisah-kisah dalam Alquran yang membahas tentang kepemimpinan perempuan dengan perspektif keadilan gender secara eksplisit terdapat pada surat An-Naml ayat 23-44, ayat ini menceritakan tentang Ratu Balqis dari negeri Saba’ yang mana dikenal dengan super powernya dalam memimpin, bahkan negaranya makmur dan sejahtera di bawah kemimpinannya. Tentunya hal ini menjadi inspirasi bagi kaum perempuan untuk menjadi pemimpin bukanlah hal mustahil, hanya karena telah dikenal bahwa perempuan lemah dan bergantung kepada laki-laki.
Pernyataan bahwa pemimpin wajib dari laki-laki bermula dari menafsirkan penggalan ayat dari surat An-Nisa’ ayat 34, “ar-rijâlu qawwâmûna ‘ala an-nisâ”. Ahli tafsir modern menafsirkan qâ’im adalah ketika seorang mukallaf dan melaksanakan tugasnya. Berbeda dengan seseorang tersebut melakukan tugasnya secara sempurna, kemudian dilakukan berulang-ulang tidak hanya sekali maka disebut dengan qawwâm. Kata qawwâm pada ayat ini dalam kitab tafsir “al-Misbah” adalah mengandung makna kepemimpinan karena di dalamnya terdapat pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan.
Melihat asbabun Nuzul ayat ini adalah ketika ada istri yang datang mengadu bahwa suaminya menampar dengan keras, kemudian turunlah ayat ini agar suami memberi perlindungan kepada istrinya. Quraish Shihab menambahkan dalam buku “Perempuan” menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan laki-laki atau suami menjadi pemimpin dalam hal mencari nafkah untuk keluarganya.
Kepemimpinan pada rumah tangga, pada beberapa kondisi dapat berpindah peluang dari suami kepada istri apabila suami tidak memenuhi kewajiban seperti memberikan nafkah. Pada kesempatan lain “pemimpin” adalah ketika mampu memberi pengaruh pihak lain secara sadar tanpa paksaan ke untuk tujuan yang ingin diraih. Sebab sikap atau peran yang berkesan bagi sekelompok orang, meskipun seseorang tersebut tidak menjadi “kepala” dalam organisasi tersebut tapi bisa membuat sejarah dalam organisasi tersebut karena pengaruhnya yang besar.
2 Comments