Ikuti Kami

Kajian

Berdamai dengan Budaya Pakaian: Kajian Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 26

al-a'raf ayat 26 kepemimpinan perempuan
gettyimages.com

BincangMuslimah.Com – Pakaian termasuk salah satu kebutuhan pokok bagi umat manusia selain makanan dan tempat tinggal. Pada dasarnya, pakaian difungsikan sebagai alat untuk menutup dan melindungi diri setiap individu. Namun seiring berkembangnya zaman, pakaian juga diklaim sebagai simbol latar belakang kehidupan seseorang, bahkan dalam status ketaatan beragama. Yang berpakaian gamis dan serban disebut sebagai orang yang taat dalam beragama. Sementara yang berkemeja dan bercelana dipandang sebagai orang yang tidak tahu agama.

Perihal pakaian, Islam sendiri sudah mengaturnya dengan ramah dan amat sederhana. Allah Swt berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 26 ,

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ [الأعراف: 26]

Artinya: “Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran, kekuasaan) Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”. (Q.S. Al-A’raf: 26)

Menurut Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim (III/400), ayat di atas menjelaskan tentang dua fungsi yang menjadi prinsip dari sebuah pakaian, yaitu menutup aurat dan sebagai hiasan diri setiap insan. Oleh karena itu, jika ada pakaian yang hanya menutup aurat namun tidak indah dalam pandangan maka pakaian tersebut tidak layak disebut pakaian.

Demikian pula sebaliknya, jika pakaian hanya dijadikan sebagai hiasan diri maka tidak ada bedanya dengan jam dinding yang dibuat sebagai ornamen sebuah rumah akan tetapi tidak dapat menunjukkan waktu. Alhasil, pakaian harus menutupi aurat pemakainya dan sedap dalam pandangan orang di sekitarnya.

Baca Juga:  Pakaian Perempuan di Era Rasulullah Edisi Penutup Kepala

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana wujud dari pakaian yang memenuhi dua unsur di atas? Tidakkah dua ketentuan tersebut masih bersifat umum, belum menjelaskan secara spesifik terkait format pakaiannya? Bukankah setiap daerah memiliki standar yang berbeda-beda dalam menentukan pakaian yang sudah memenuhi dua unsur utama tersebut? Lantas, apakah ada corak khusus yang berbicara tentang hal ini dalam padangan hukum Islam?

Berkenaan dengan ini, memang benar Islam hanya memberikan dua kriteria umum terkait kelayakan sebuah pakaian umat manusia. Dalam syariat Islam, tidak pernah ditemukan dalil – baik dari Alquran maupun Hadis – yang membicarakan tentang wujud atau bentuk dari pakaian yang sudah memenuhi dua unsur ini. Allah Swt menyerahkan secara totalitas kepada kreatifitas hambanya dalam menentukan format pakaian yang memenuhi dua usur di atas. Maka dari itu, sejatinya persoalan ini kembali pada adat dan budaya masing-masing umat manusia.

Disebutkan dalam kaidah fikih,

ٌالْعَادَةُ مُحَكَّمَة

Seluruh adat dan budaya bisa dijadikan landasan sebuah hukum”. (al-Asybah wa al-Nadzair, milik Imam Tajuddin al-Subkiy: I/104)

Berdasarkan kaidah ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa setiap persoalan yang tidak ditemukan jawabannya dalam nas Alquran dan Hadis maka pijakan hukum selanjutnya adalah adat dan budaya. Budaya yang dimaksud di sini adalah budaya yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Oleh karena itu, penentuan bentuk dan macam dari sebuah pakaian adalah hak budaya umat manusia selama menutup aurat dan elok ketika orang lain memandangnya.

Berhubung persoalan ini berkaitan dengan budaya, maka sudah pasti setiap daerah memiliki standar yang berbeda-beda. Tradisi memakai kerudung di kalangan daerah tertentu, pasti berbeda dengan tradisi memakai kerudung yang sudah dianggap menutup aurat di daerah lainnya. Kebiasaan memakai pakaian yang hampir seluruh bagian tubuh tertutupi tentu berbeda dengan kebiasaan masyarakat lainnya yang menganggap menutup aurat cukup dengan pakaian minimalis. Tentu hal ini tidak menjadi persoalan karena setiap daerah berhak menentukan pakaian yang sudah cukup dianggap menutup aurat dan indah dalam pandangan mata. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih,

Baca Juga:  Cara Ulama Khalaf Memperlakukan Teks Sifat

الْأَحْكَامُ الْمَبْنِيَّةُ عَلَى الْعُرْفِ تَتَغَيَّرُ بِتَغَيُرِهِ زَمَانًا وَمَكَانًا

Seluruh hukum yang berlandaskan kepada tradisi atau budaya, akan selalu berubah mengikuti situsi kondisi zaman dan domisili”. (‘Ilm Ushul al-Fiqh, milik Abdul Wahab Khallaf: 91)

Sayangnya, hal ini tidak dipahami oleh kebanyakan orang. Pemahaman yang terdoktrin selama ini lebih mereka terima dari pada mengetahui sumber dan hakikat masalahnya. Padahal, apa yang dipahami selama ini belum sepenuhnya benar, bahkan malah berdampak perpecahan umat beragama. Oleh karena itu, Allah Swt menganjurkan anak cucu Adam untuk mengerti pentingnya persatuan dengan sebutan pakaian ketakwaan, sebagaimana pada surah Al-A’raf ayat 26 di atas, tepatnya pada firman-Nya, “dan pakaian takwa adalah pakaian yang yang paling baik (dari pada segala pakaian”. Lantas, apa yang dimaksud dengan pakaian takwa?

Sebelum memahami apa yang dimaksud dengan pakaian takwa, perlu kiranya memahami makna dari takwa itu sendiri. Menurut para pakar bahasa Arab, kata التَّقْوَى (takwa) merupakan asal kata اتَّقَى-يَتَّقِيْ-اِتِّقَاءً yang mempunyai faidah طلب (menuntut).

Dan jika ditelusuri lebih jauh maka sejatinya kata اتَّقَى di atas berasal dari kata  وَقَى-يَقِيْ–وقايةً yang mempunyai arti menjaga, melindungi, memperbaiki. Oleh karena itu, jika melihat hakikat maknanya maka makna takwa adalah menuntut diri untuk menjaga agar tidak melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Maka dari itu, domain takwa sebenarnya adalah fikiran dan hati seseorang, bukan ritual-ritual agama yang bersifat fisik (sebagaimana yang sering dipahami oleh kebanyakan orang). Tentunya tidak baik jika ada seseorang yang rajin salat namun di dalam dirinya masih terdoktrin dengan hal-hal yang masih merugikan orang lain. Tekun menjalani puasa, akan tetapi juga hobi memfitnah, teror, dan memecah belah umat manusia dengan dalih agama. Selalu berzikir “Allahu Akbar”, “La ilaha illa Allah”, akan tetapi memaknainya dengan mengkafirkan muslimah yang tidak berkerudung misalnya, merusak tempat-tempat yang dinggap maksiat, dan lain-lain. Sangat jelas, mereka yang demikian hanya paham kepada takwa yang terdengar dari telinga ke telinga, akan tetapi lupa kepada makna hakiki dari segi bahasanya.

Baca Juga:  Benarkan Alquran Melegalkan Pemukulan Suami kepada Istri?

Berangkat dari surat Al-A’raf ayat 26 ini, maka yang dimaksud dengan pakaian takwa adalah membalut hati dan fikiran agar menjaga diri dari hal-hal yang memicu kerugian diri sendiri dan orang lain, khususnya dalam masalah pakaian. Sangat betul dan baik, kiranya ada seseorang yang hati dan fikirannya toleransi serta mengenakan pakaian yang menutup aurat sekaligus.

Wallahu A’lam.

Rekomendasi

Makna aurat buya syakur Makna aurat buya syakur

Empat Makna Aurat Menurut Buya Syakur Yasin

melihat aurat terpisah tubuh melihat aurat terpisah tubuh

Hukum Melihat Bagian Aurat yang Telah Terpisah dari Tubuh

melihat aurat terpisah tubuh melihat aurat terpisah tubuh

Apakah Rambut Rontok Perempuan Termasuk Aurat? 

Islam Ajarkan Bersikap Ramah dan Sambut Perempuan dengan Ceria Islam Ajarkan Bersikap Ramah dan Sambut Perempuan dengan Ceria

Pakaian Perempuan di Era Rasulullah Edisi Penutup Kepala

Ditulis oleh

Mahasiswa Universitas Ibrahimy Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo dan Aktivis IKSASS (Ikatan Santri dan Alumni Salafiyah Syafiiyah)

5 Komentar

5 Comments

Komentari

Terbaru

nama bayi sebelum syukuran nama bayi sebelum syukuran

Hukum Memberi Nama Bayi Sebelum Acara Syukuran

Ibadah

Teungku Fakinah Teungku Fakinah

Zainab binti Jahsy, Istri Rasulullah yang Paling Gemar Bersedekah

Kajian

Fatimah az zahra rasulullah Fatimah az zahra rasulullah

Sayyidah Sukainah binti Al-Husain: Cicit Rasulullah, Sang Kritikus Sastra

Kajian

CariUstadz Dakwah Perspektif Perempuan CariUstadz Dakwah Perspektif Perempuan

Berkolaborasi dengan KUPI, CariUstadz Tingkatkan Dakwah Perspektif Perempuan 

Berita

yukabid perempuan nabi musa yukabid perempuan nabi musa

Yukabid, Sosok Perempuan di balik Kisah Nabi Musa

Khazanah

perempuan titik nol arab perempuan titik nol arab

Resensi Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal el-Saadawi

Diari

Nyai Khoiriyah Hasyim mekkah Nyai Khoiriyah Hasyim mekkah

Nyai Khoiriyah Hasyim dan Jejak Perjuangan Emansipasi Perempuan di Mekkah

Kajian

Sekilas tentang Sholihah Wahid Hasyim, Ibunda Gusdur

Kajian

Trending

Surat Al-Ahzab Ayat 33 Surat Al-Ahzab Ayat 33

Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 33; Domestikasi Perempuan, Syariat atau Belenggu Kultural?

Kajian

perempuan titik nol arab perempuan titik nol arab

Resensi Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal el-Saadawi

Diari

Fatimah az zahra rasulullah Fatimah az zahra rasulullah

Sayyidah Sukainah binti Al-Husain: Cicit Rasulullah, Sang Kritikus Sastra

Kajian

Nyai Khoiriyah Hasyim mekkah Nyai Khoiriyah Hasyim mekkah

Nyai Khoiriyah Hasyim dan Jejak Perjuangan Emansipasi Perempuan di Mekkah

Kajian

Laksminingrat tokoh emansipasi indonesia Laksminingrat tokoh emansipasi indonesia

R.A. Lasminingrat: Penggagas Sekolah Rakyat dan Tokoh Emansipasi Pertama di Indonesia

Muslimah Talk

Teungku Fakinah Teungku Fakinah

Zainab binti Jahsy, Istri Rasulullah yang Paling Gemar Bersedekah

Kajian

Mahar Transaksi Jual Beli Mahar Transaksi Jual Beli

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 4; Mahar Bukan Transaksi Jual Beli

Kajian

Doa berbuka puasa rasulullah Doa berbuka puasa rasulullah

Beberapa Macam Doa Berbuka Puasa yang Rasulullah Ajarkan

Ibadah

Connect