BincangMuslimah.Com – Ketidakadilan sangat erat dengan perempuan. Di manapun dan kapanpun, kita kerap menemui ketidakadilan pada perempuan baik dalam kehidupannya, pemenuhan hak-haknya, bahkan kehadirannya di dunia. Apa saja sih bentuk ketidakadilan yang sering dialami perempuan? Bagaimana bentuk manifestasi ketidakadilan terhadap perempuan tersebut?
Melalui tulisannya yang berjudul Posisi Kaum Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender dalam buku Mansour Fakih, dkk., Membincang Feminisme: Diskursus gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2000) Mansour Fakih mengungkapkan bahwa dengan analisisi gender, banyak ditemukan berbagai manifestasi ketidakadilan terhadap perempuan.
Pertama, ada marginalisasi atau pemiskinan ekonomi terhadap kaum perempuan. Sebagai misal, ada banyak perempuan desa yang tersingkirkan dan menjadi miskin akibat dari program pertanian revolusi hijau yang hanya berfokus pada kelangsungan hidup petani laki-laki. Persoalan pemiskinan petani perempuan karena bias gender yang mengakar-menguat ini menjadi masalah.
Meski demikian, ternyata masih ada banyak perempuan yang ikut andil dalam menentukan perekonomian keluarga. Ada banyak perempuan yang ikut pergi bertani ke sawah atau berjualan ke pasar bersama sang suami. Masalah kemudian muncul kembali apabila perempuan menjalani hidup sebagai orang tua tunggal karena bercerai atau ditinggal wafat suami. Orang tua tunggal perempuan kerapkali mengalami beban ganda atau double burden yakni menjadi orang yang mengurus masalah domestik sekaligus orang yang berusaha untuk menghidupi anak-anaknya.
Kedua, ada subordinasi pada salah satu jenis kelamin. Hal ini biasanya terjadi pada perempuan. Ada banyak kebijakan dalam keluarga atau masyarakat tertentu yang dibuat tanpa menganggap penting perempuan. Nah, lagi-lagi, ada persepsi yang diskriminatif dan tidak adil yang ditujukan untuk perempuan. Sebagai misal, perempuan dianggap hanya mengurusui dapur, sumur dan kasur sehingga tidak perlu sekolah tinggi-tinggi.
Ketiga, ada pelabelan negatif atau bisasa disebut sebagai stereotip terhadap jenis kelamin tertentu. Akibat, terjadilah diskriminasi dan tumbuhnya ketidakadilan. Banyak sekali stereotip dalam masyarakat yang ditujukkan kepada perempuan. Hal tersebut akhirnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan perempuan. Sebagai misal, setiap pekerjaan yang dilakukan perempuan dinilai hanya sebagai tambahan dan boleh dibayar lebih rendah.
Keempat, terjadi kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu dan umumnya terjadi pada perempuan karena perbedaan gender. Bentuk kekerasan ada banyak pasti akan berkembang, mulai dari yang paling kasar sampai kekerasan yang lebih halus. Pemerkosaan suami terhadap istri, pemukulan, penciptaan ketergantungan, pemerasan, dan sebagainya adalah beberapa contohnya.
Kelima, peran gender perempuan dalam tatanan masyarakat adalah mengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama, bahkan terjadi beban ganda (double burden).
Ada empat faktor yang menyebabkan tidak maksimalnya hak dan peran perempuan. Pertama, masih banyak orang yang menggunakan studi Islam, khususnya al-Qur’an dan Hadits parsialisatomistik dan paradigma klasik, sehingga melahirkan pemahaman yang hanya menguntungkan salah satu pihak.
Kedua, belum jelasnya perbedaan antara sex dan gender dalam mendefinisikan peran laki-laki dan perempuan. Ketiga, banyak orang yang masih menggunakan sejumlah teks korpus agama yang misogonis. Celakanya lagi, teks tersebut tidak dipahami secara kontekstual-progresif.
Keempat, masuknya budaya-budaya lokal dan atau kisah-kisah isra’iliyyat ke dalam penafsiran atas al-Qur’an dan Hadits. Sebagai misal, adanya pandangan yang menyatakan bahwa selama ini bahwa laki-laki adalah sebagai pemimpin bagi perempuan, produk penafsiran bias gender dari Q.S. al-Nisa’ [4]: 34 sebagai berikut:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Ahli tafsir menyatakan bahwa kata qawwâm dalam ayat tersebut, berarti pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, dan sebagainya. Keunggulan laki-laki disebabkan oleh keunggulan akal dan fisiknya. Padahal, ada hak perempuan untuk menjadi pemimpin dalam ranah domestik dan publik.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 memuat bahwa hak dan kebebasan sangat perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan mempunyai derajat yang sama.
Sudah saatnya kita melawan bias gender dan menggenapi hak-hak perempuan yang selama ini diabaikan, bahkan dianggap tak ada. Semua bentuk ketidakadilan terhadap perempuan mesti dilawan. Hal ini berguna bukan hanya untuk diri kita sendiri dan kelangsungan hidup masyarakat saat ini tapi juga untuk generasi mendatang di masa depan nanti demi kelangsungan hidup bersama yang tidak bias gender.[]