BincangMuslimah.Com – Setiap agama memiliki aturan pernikahan yang harus dijalankan oleh setiap pemeluknya. Begitu pula agama Islam yang bahkan untuk urusan terkecil seperti bersin-pun ada aturan dan etikanya. Salah satu syarat pernikahan dalam Islam ialah pengantin Pria haruslah beragama Islam. jika tidak, maka batal-lah pernikahan tersebut menurut kaca mata agama.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, bagaimana hukum pernikahan seseorang yang masuk Islam setelah ia menikah? Dan jika istrinya juga baru masuk Islam, apakah keduanya wajib memperbaharui pernikahan mereka?
Sepasang suami istri tersebut, ketika keduanya memutuskan untuk masuk Islam tidak perlu mengulangi akad nikahnya dari awal. Hal ini berdasarkan kisah Naufal Ibn Muawiyah sebelum masuk Islam yang memiliki lima orang istri.
Ketika ia masuk Islam, Rasulullah saw bersabda padanya “Ceraikanlah yang satu, dan tahanlah yang empat.” Di sini Rasulullah tiidak memerintahkannya untuk mengulangi lagi akad nikahnya. Dan perlu digaris bawahi bahwa kata ‘tahanlah’ pada hadis ini menegaskan tetapnya hubungan pernikahan yang telah terjalin sebelum masuk Islam dan tidak batal.
Dalil mengenai permasalahan ni dapat dilihat dalam kitab Mughni al-Muhtaj Syarah Minhaj at-Thalibin (j. 3) yang bunyinya sebagai berikut,
عن نوفل بن معاوية قال اسلمت وتحتي خمسة نسوة فسألت النبي صل الله عليه وسلم قال فارق واحدة وأمسك أربعا إلى أن قال وحمله أيضا علىتجديد العقد أبعد لمخالفته ظاهر اللفظ فإنالإمساك صريح في الاستمرار
Dari sayyidina Naufal ibn Muawiyah ra, bahwa ia berkata aku masuk Islam dan di sisiku ada lima orang istri. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah saw kemudian beliau bersabda ceraikanlah yang satu dan tahanlah yang empat. Maka menjadikan hadis ini sebagai dalil untuk mewajibkan memperbarui akad nikah adalah terlalu jauh, karena menyalahi dzahir lafadz. Sesungguhnya lafadz imsak atau tahan merupakan kalimat yang sharih atau jelas yang menunjukkan tetappnya ikatan pernikahan (dan tidak batal).
Hal ini yang menjadi dalil dari fatwa yang dikemukakan oleh Imam Ibn Rusydi dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,
وَأَمَّا الْأَنْكِحَةُ الَّتِي انْعَقَدَتْ قَبْلَ الْإِسْلَامِ، ثُمَّ طَرَأَ عَلَيْهَا الْإِسْلَامُ، فَإِنَّهُمُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْإِسْلَامَ إِذَا كَانَ مِنْهُمَا مَعًا – أَعْنِي: مِنَ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ وَقَدْ كَانَ عَقْدُ النِّكَاحِ عَلَى مَنْ يَصِحُّ ابْتِدَاءً الْعَقْدُ عَلَيْهَا فِي الْإِسْلَامِ أَنَّ الْإِسْلَامَ يُصَحِّحُ ذَلِكَ
Adapun pernikahan yang terjadi sebelum Islam, kemudian Islam datang pada pernikahan tersebut, para ulama bersepakat bahwa apabila Islam ada pada keduanya, yakni suami istri (masuk Islam) secara bersamaan, sedangkan akad nikah yang terjadi dahulu terjadi pada orang yang sah akadnya menurut Islam, maka Islam membenarkan pernikahan yang demikian.
Kecuali, jika didapati hal-hal yang bertentangan dengan syarat dan rukun pernikahan dalam Islam, seperti menikahi saudara kandung, menikahi dua wanita bersaudara sekaligus, atau menikahi saudara sepersusuan. Maka, hal tersebut dianggap tidak sah ketika ia masuk Islam, dan pernikahan mereka otomatis fasad.
Wallahu A’lam bis Shawab.
*Artikel ini pernah dimuat di BincangSyariah.Com