BincangMuslimah.Com – Perjalanan tapak tilas ini akan segera dimulai. Malam itu aku pergi ke Indomaret terdekat untuk memesan tiket kereta api ke Semarang. Ada gebu yang menyeringai kalbu, ada buncah yang rasanya makin pecah. Esok hari rinduku kan berlabuh. Gundah gulana juga rasanya akan segera purna.
Usai membeli tiket, aku tak pulang ke asrama tapi aku menginap di salah satu kosan temanku yang selalu siap sedia kurepoti. Malam itu, aku terlelap dalam mimpi indahku di mana aku membayangkan indahnya menyulam benang-benang kerinduan itu menjadi sebuah pertemuan.
Keesokan harinya, aku mulai mengemas beberapa barang yang akan ku bawa pulang. Tak banyak yang kukemasi karena aku hanya punya jatah 3 hari untuk menyudahi nestapa ini. Adik kamarku hanya memandangiku, matanya seolah berkata; “Yakin ka mau pulang?”. Aku hanya bisa melempar senyum simpul sembari mengisyaratkan lewat sorot mataku “I am fine. Nothing is gonna be worried”.
Ransel sudah rapi dan penuh dengan laptop dan barang-barang lain yang menyesakinya. Buku tulis dan bolpoin adalah hal wajib yang tak boleh absen di dalamnya. Sudah kucatat hal-hal yang harus kulakukan dan apa yang harus kucari nanti. Kupastikan pulang ini tak akan sia-sia. So, what can I do? Selain berdoa semoga maqsud wushul. Aamiin.
Malam ini, tepat pukul 23.00, kereta Tawang Jaya sudah gagah menungguku di Stasiun Pasar Senen. Kereta melaju, menerobos temaram malam, siap mengantarku hingga stasiun tujuan akhir, Stasiun Semarang Tawang, sebuah stasiun ciamik dengan gaya arsitektur yang cukup unik ala bangunan kuno masa Hindia-Belanda yang megah berdiri di sekitar kawasan Kota Lama.
Aku menikmati malam panjang itu dalam lelap tidur nan dalam sembari membayangkan sambutan hangat mentari esok di kampung halaman. Kali ini, biarkan aku bermanja dengan malam, ditemani decitan roda kereta yang saling bergesekan dengan bantalan rel di sepanjang perjalanan.
Langit di luar jendela masih terlihat gelap saat aku terbangun dari tidur yang teramat meninabobokanku. Kulihat sekelilingku yang masih memadu kasih dengan mimpi indah mereka tak terkecuali sepasang suami istri di depanku yang kutaksir berusia 60-an. Tak lama setelah fajar shiddiq menampakkan semburatnya di langit dunia, pasangan tersebut terbangun. Senyum manis kupersembahkan tatkala keduanya menatapku sebagai salam penyambut pagi ini. Bahagia itu sederhana, guys. Cukup tebarkan salam dan senyum kepada sesama.
Pagi itu terasa lebih hangat dengan obrolan di antara kami. Keduanya lebih tampak seperti kakek dan nenek bagiku karena usianya yang tak terpaut jauh dengan mbahku (Allahu yarhamhum). Mereka cukup ramah untuk menjadi kawan bicara terlebih setelah kutahu bahwa keduanya berasal dari daerah yang sama denganku. Suasana makin mencair dan percakapan juga mengalir.
Jam hampir menunjukkan pukul 06.00. Petugas sebelumnya sudah mengumumkan kepada para penumpang untuk siap-siap berkemas karena perjalanan kali ini akan segera tiba di stasiun akhir tujuan, Semarang Tawang.
Aku segera meraih tas ranselku lalu kutaruh di pangkuanku. Tiba-tiba hp-ku berdering. Sebuah notif pesan WA masuk, tampil di layar gadgetku. Pesan singkat dari adik kelasku yang mengabarkan bahwa ia sudah sedia menunggu di depan stasiun.
Pagi ini, tapak tilas yang sesungguhnya akan dimulai. Biar mentari pagi di Kota Bandeng Presto ini menjadi saksi perjalanan singkat ini. Biar tanah kota ini menjadi saksi pula bahwa jejakku pernah sampai sini, menyusuri daerah-daerah yang mungkin belum pernah kukenali.
Aku segera melenggang ke pintu keluar stasiun begitu aku turun dari kereta. Aku melihat sekeliling, mencari-cari seseorang yang sedari tadi menungguku. Dari kejauhan kulihat seseorang duduk di atas motornya di bawah rerimbunan pepohonan parkiran. Kakiku segera melangkah menghampiri. Dia tersenyum sembari melambaikan tangan. Aku pun membalas.
“Hai, Mi!! Udah lama nunggu ya?”, tanyaku.
“Enggak kok, mbak”, jawabnya.
Sebut saja namanya Rahmi. Adik sekaligus teman yang akan menemani napak tilas jejak mahaguru ulama nusantara di session ini. Dia adalah salah satu orang yang takkan kulupakan jasanya dalam melewati semua drama ini. Thanks a lot for your meaningful help, Mi.
Aku segera naik di boncengan dan Rahmi segera melenggangkan motornya keluar dari area stasiun. Rahmi terlebih dulu mengajakku untuk beristirahat sejenak di asramanya yang terletak di daerah Ngaliyan. Aku hanya menurut saja kepadanya dan membiarkannya membawaku ke mana ia suka.
Jarak stasiun ke asramanya bisa dibilang cukup jauh dengan jalanan yang bisa dibilang cukup lancar. Lalu lalang kendaraan di Kota Wingko Babat ini terbilang cukup ramai meski tak mengungguli ibu kota negeri ini. Sesampainya di Ngaliyan, hawa sejuk menyusup ke pori-pori yang hampir tercekik terik kota ini. Banyak pepohonan yang berjejer di pinggir jalan yang makin menambah stok oksigen untuk menunjang pernafasan.
Tak lama setelah melewati jalan yang diapit oleh barisan pepohonan bak hutan, aku sampai di sebuah pesantren yang berdiri di lahan yang masih sepi pemukiman. Angin segar menyambut kedatanganku dan mempersilakanku menikmati sepoi manja udara Ngaliyan. Andai bisa kubungkus angin ini, kan kubawa ke ibukota… andai saja…
Aku berlalu, masuk ke dalam asrama mengikuti langkah Rahmi. Kami naik ke lantai 2. Suasana di asrama ini tak jauh berbeda dengan pesantren pada umumnya. Kamar sempit yang diisi dan dijejali beberapa santri juga menjadi hal lazim di sini. Bangunan pesantren ini masih terlihat baru karena usianya yang bahkan masih sangat belia. Masih terlihat jelas pembangunan di sana-sini yang masih dikerjakan.
Siang ini, aku berteduh di tempat ini sembari mengharap keberkahannya. Tak seberapa lama usai aku berdiam di kamar, aku terlelap dan kembali menyulam mimpi sembari memulihkan energi untuk petualangan nanti. So, mari nikmati waktu ini sebelum kita beraksi.