BincangMuslimah.Com – Pengalaman hidup adalah modal utama yang akan membawa seorang manusia berhasil melalui tanjakan-tanjakan hidup selanjutnya. Pengalaman hidup yang tak biasa membuat seseorang mampu bangkit dari keterpurukan dan kehidupan yang dijalankan menjadi lebih bernilai. Hal ini dialami oleh Ruby Kholifah, seorang pejuang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Perempuan kelahiran Banyuwangi 4 April 1975 bernama lengkap Dwi Rubiyanti Kholifah yang kini menjabat sebagai sekretaris jenderal internasional Asian Muslim Action Network (AMAN) dan country representative Aman Indonesia ini berharap agar pengalaman hidupnya bisa membuat anak-anak muda bisa melihat figur lain sebagai contoh dan belajar dari kesalahan orang lain.
Dalam serial diskusi #MomenInspirasi di Demokrasi.id bertajuk “Menjadi Seorang Ruby” yang diselenggarakan pada 19 Juli 2020, Ruby menceritakan kisah hidupnya semenjak kecil hingga dewasa. Berikut adalah kisah seorang Ruby Kholifah:
Kisah Masa Kecil
Semasa kecil, Ruby—begitu panggilan akrabnya—menjadi korban perundungan (bullying) lantaran fisiknya yang pendek dan hitam. Ia kerap mendapat cercaan dari tetangganya karena menjadi satu-satunya perempuan yang bisa mengecap bangku sekolah sampai perguruan tinggi. Sebab pada itu, perempuan yang berkuliah masih menjadi hal yang tabu di masyarakat.
Perundungan paling ngeri yang dialaminya adalah saat menyaksikan tubuh seekor cicak dipotong-potong di depan mata kepalanya sendiri. Ia tak habis pikir, perilaku yang sangat tidak manusiawi tersebut bisa dialaminya dan dilakukan orang lain terhadap dirinya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Masa kecil yang tidak menyenangkan juga pengalaman merantau tanpa diawasi orang tua membuatnya tidak melihat segala sesuatu dengan hitam-putih. Kepahitan hidup ia jadikan sebagai alat untuk menempa diri. Ia banyak belajar tentang nilai kehidupan dari sang ibu. Ibunya adalah tipe orang tua yang mengharuskan anaknya bersekolah tinggi tapi dirinya sendiri rela menderita.
Selain itu, sang ibu juga mengajarkan bahwa anak perempuan harus mandiri. Meski berasal dari keluarga yang biasa saja, sang ibu mendidik dengan setara anak-anaknya baik perempuan mapupun laki-laki. Ruby ingin kesetaraan yang ia dapat di dalam rumah harus dirasakan orang lain di luar sana. Ia pun memilih untuk fokus di isu-isu keperempuanan.
Isu-isu Perempuan
Selain sebagai panggilan jiwa, alasan lain mengapa Ruby fokus pada isu-isu perempuan adalah karena ia yakin bahwa setiap perempuan pasti punya keunikan tersendiri. Ia juga merasa bahwa selama ini perempuan hanya dilihat secara “seksual” saja, tidak secara “sosial” dan “intelektual” sehingga ia ingin mengajak perempuan lain untuk bisa mengaktualisasikan diri dan bermanfaat bagi banyak orang.
Perjuangan Ruby dimulai sejak di bangku kuliah pada masa reformasi. Ia berhasil menjadi ketua Senat di kampusnya, Universtias Negeri Jember. Saat menjadi ketua Senat, ia merasa didiskiminasi hanya karena ia perempuan. Para pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) akan mengakui kepemimpinannya jika ia berhasil memimpin demo. Pada saat itu, demo marak terjadi, bahkan tak berhenti dari pagi hingga malam untuk menggulingkan rezim Orde Baru.
Indikator maskulin yang dipakai untuk mengukur kepemimpinannya membuat Ruby geram. Ia pun membuktikan dengan membuat perubahan. Saat itu, rapat Senat yang biasanya diadakan jam 8 malam ia geser menjadi jam 7 malam. Para anggota laki-laki yang baru datang jam 8 malam akhirnya tak bisa ikut rapat karena rapat sudah selesai di jam 8 malam. Kebijakan tersebut lebih ramah perempuan.
Selain aktif di gerakan yakni di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ruby juga gemar membaca. Ia karib dengan wacana postmodernisme dan menyukai buku-buku Nawall El Sadawi. Sebab baginya, membaca adalah klarifikasi pengetahuan. Pengalaman berdiskusi dan merancang demo juga diperolehnya semasa kuliah. Pengalaman-pengalaman inilah yang membentuknya menjadi aktivis perempuan.
Ia getol memperjuangkan hak-hak perempuan dan fokus dalam pemberdayaan perempuan lantaran ingin menjembatani masyarakat dan pemerintah. Ia ingin menjadi sosok yang bisa membuat kebijakan untuk pemberdayaan perempuan seperti di negara Irlandia yang memiliki Feminist Foreign Policy.
Pemikiran Tentang Kebangsaan
Ruby mengungkapkan bahwa masalah terbesar bangsa Indonesia ada dua hal. Pertama, dalam alam bawah sadar kita masih mengimani bahwa perempuan derajatnya lebih rendah ketimbang laki-laki. Hal ini mesti diubah dengan menanamkan pemahaman bahwa siapa pun yang memiliki kapasitas harus ambil bagian dalam hal apa pun, baik perempuan maupun laki-laki.
Dalam kehidupan berumah tangga misalnya, suami yang memberikan afirmasi untuk istri agar bisa bertahan hidup dengan bekerja adalah salah satu bentuk nyata dari kesetaraan. Nilai-nilai feminisme harus sama-sama dianut dengan pasangan. Partner mesti mendukung ide-ide besar yang akan diwujudkan. Konstruksi perempuan di masyarakat juga mesti diubah. Perempuan tak mesti identik dengan warna-warna soft dan laki-laki juga tak harus identik dengan warna-warna hard.
Masalah terbesar masyarakat Indonesia yang kedua menurut Ruby adalah “sering merasa benar sendiri”. Benar dalam artian benar sebagai kelompok, terutama mayoritas. Merasa bahwa suara yang digaungkan adalah yang paling kencang sehingga menjadi suara yang paling benar. Padahal, banyak orang yang tak punya personal genuine atau pengalaman pribadi untuk mendukung suatu pendapat tertentu.
Oleh sebab itu, perempuan yang mendapat penghargaan N-Peace Award 2016, 100 women of Salt Magazine 2015, One of The BBC’s 100 Women 2014 (Award for the most influential women BBC’s version), dan Asian Development Fellow 2014 (TAF) ini berpesan: “mendengar dan didengarkan adalah hal yang mahal, kita mesti menghormati setiap pilihan orang, apa pun pilihannya.”
Ruby terbiasa menempatkan diri di “sepatu orang lain” yakni melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain agar tak merasa benar sendiri. Kebiasaan ini ia peroleh dari cara pandang sang ibu yang tak pernah mempermasalahkan adanya perbedaan, baik perbedaan agama, pendapat, sudut pandang, dan lain sebagainya.
Perjuangan Belum Selesai
Perempuan lulusan Sastra Inggris Universitas Jember dan Master of Art on Health and Social Science, Faculty of Social Science and Humanities, Mahidol University, Thailand ini terus berjuang mewujudkan kesetaraan gender dan melakukan aktivitas pemberdayaan perempuan.
Ia aktif mencari kerja sama yang luas dengan berbagai sektor dalam memperkuat kapasitas di kalangan perempuan agama, etnis, jenis kelamin dan sosial kelas, sehingga para perempuan bisa memainkan peran penting dalam membangun perdamaian berkelanjutan.
Ia juga tertarik untuk mengembangkan ketahanan diri di kalangan perempuan sehingga mereka bisa mandiri dalam membuat keputusan tentang kehidupan dan komunitas mereka. Karena itu, keterampilan para perempuan perlu diasah termasuk dalam organisasi kepemimpinan, membuka cakrawala dan menghubungkan para perempuan dengan berbagai kelompok.
Untuk mewujudkan ide-idenya, ia pun aktif menjadi anggota Working Group on Gender and Atrocity Prevention in ASEAN, anggota aktif Women’s Alliance for Security Leadership-ICAN, Steering Committee Capacity Sharing of APWAPS, Indonesia Leader of Action Asia, regional Steering Committee of N-Peace, anggota Women Waging Peace dan Steering Committee of Indonesia Beragam.
Ruby yakin, jika perempuan memiliki pengetahuan yang lebih baik, maka ia akan memberikan generasi yang lebih baik, yang memiliki komitmen untuk benih perdamaian.[]