BincangMuslimah.Com – Ada yang luput dalam narasi media daring saat membingkai sosok perempuan bernama Gita Savitri. Ia kerap dinarasikan sebagai “perempuan cantik yang mirip aktris Korea”. Padahal, lebih dari itu, Gita menyuarakan pemikiran kritisnya atas isu-isu yang ia anggap penting. Media sosial adalah medium baginya untuk mengembangkan pemikiran sekaligus membagikannya bagi masyarakat luas, terutama generasi Z.
Nama lengkapnya Gita Savitri Devi. Ia tinggal di Jakarta dari kecil sampai umur 18 tahun dan berasal Sumatera Selatan. Gita adalah lulusan Kimia Murni di Freie Universität Berlin. Ia menginjakkan kaki pertama kali di Jerman, tepatnya di Berlin, pada tanggal 30 Oktober 2010. Kini, ia adalah seorang Youtuber dan Influencer atau Selebgram (Selebriti Instagram).
Dalam buku pertamanya yang berjudul Rentang Kisah (2017), ia menceritakan bahwa alasan ia memilih Jerman sebagai negara untuk kuliah adalah karena ia merasa telah familiar dengan Jerman sebab orang tuanya sempat tinggal di sana selama tiga tahun. Orang tuanya juga merasa bahwa kualitas pendidikan di Jerman sangat bagus dan kondisi di sana dinilai kondusif untuk belajar.
Gita perlu waktu untuk memilih jurusan kuliah sendiri. Ada cerita di balik perjalanannya bisa memilih jurusan Kimia Murni. Sebenarnya ketika ia berasa di semester akhir Studienkolleg ia masih belum tahu mau kuliah jurusan apa. Orang tuanya menyarankan untuk ambil teknik, tapi ia tidak suka fisika. Saat itu, ia masih belum mengantongi izin untuk berkuliah di jurusan yang sebenarnya ia idam-idamkan dari dulu yakni desain komunikasi visual.
Perubahan yang Terjadi di Jerman
Kuliah di luar negeri memberikan warna tersendiri bagi setiap individu yang menjalankannya. Bagi Gita, Jerman sangat mengubah dirinya. Ia mulai tinggal di Jerman saat masih 18 tahun, masih remaja. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa ia tumbuh di sana dan menjadikan Jerman dan mentalitasnya sebagai bagian dari karakter dirinya.
Ia merasa semakin kritis dan tegas memandang semua hal. Gita merasa ia adalah tipe yang lebih mendengarkan otak daripada hati, tapi makin ke Jerman ia menjadi semakin suka berpikir dan berpikir. Sebab baginya, berpikir adalah kunci dari segalanya.
Gita semakin mengenal dirinya sendiri dan ia semakin tahu tujuan dan kemauannya, semakin tahu apa sebenarnya tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, umat, negara, dan agama. Terlebih, ia sedang senang untuk bertemu orang baru dari kultur yang berbeda. Ia mendapat banyak referensi untuk memikirkan hidupnya dan yang ada di sekelilingnya. Sebagai misal, satu contoh sikap kecil yang telah ia terapkan sejak berada di Indonesia: tidak membuang sampah sembarangan.
Pandangan Tentang Perempuan
Gita merasa bentung menjadi perempuan sebab ia tumbuh dalam keluarga yang bukan tipe patriarkat. Menurut cerita Gita pada Marissa Anita yang dipubilkasikan di blog pribadinya, keluarganya adalah tipikal lingkungan yang benar-benar mendukung bahwa perempuan harus berdikari atau mandiri. Pemikiran seperti ini bahkan sudah diterapkan sejak zaman nenek dan buyutnya. Tuntutan-tuntutan yang Gita alami justru datang dari lingkungan di luar keluarganya.
Tuntutan yang kerap ia dapat adalah seperti cara berbicara. Cara bicara Gita menggebu-gebu, mungkin latar belakangnya sebagai orang Sumatera. Gita sangat menyayangkan orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda, dan melihat hijaber-hijaber lain yang dinilai lebih kalem. Jadi ketika Gita muncul, mereka menganggapnya galak atau sombong.
Bagi Gita, kemerdekaan seratus persen utopia. Saat ini, ada perempuan yang masih tidak bisa memakai baju sesuai kemauan mereka dan dituntut mengikuti norma-norma yang ada. Sementara itu, ia tidak tahu juga norma apa yang dimaksud dan dijalaninya. Ada juga perempuan yang saat ingin melakukan sesuatu harus meminta izin terlebih dahulu mengikuti kemauan orang tua, suami, atau orang-orang terdekat. Padahal, segala keputusan ada di tangannya selama keputusna tersebut tidak merugikan orang lain.
Perempuan yang merdeka adalah saat ia bisa mendapat ilmu tentang kesehatan reproduksi dan mudah mengakses barang-barang sanitary. Mendapat hak cuti yang manusiawi setelah melahirkan dan memiliki suami yang membantu mengurus anak. Kemerdekaan tidak akan bisa diraih perempuan saat perempuan dan laki-laki belum menjadi decent human beings (manusia selayaknya). Kemerdekaan tidak akan bisa diraih perempuan jika perempuan dan laki-laki belum menjadi decent human beings.
Dalam buku terbarunya yang berjudul A Cup of Tea (2020), Gita menceritakan tentang dua nilai yang ia pegang dalam hidup. Nilai yang pertama adalah untuk menjadi mandiri. Berdasarkan pengalamannya, ia merasa sangat kesal jika harus terikat dengan hal apa pun. Ia tidak suka jika harus harus tunduk pada sesuatu – apakah itu norma, diatur-atur orang lain, atau hierarki. Baginya, pada akhirnya, hidup hanya ia yang menjalankan dan ia yang bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Ia terlahir sendiri dan mati juga akan sendiri.
Yang kedua, nilai curiosity (rasa penasaran). Inilah yang sebenarnya menjadi pemacu Gita untuk belajar menjadi orang yang lebih baik, secara harafiah dan secara kiasan. Orang-orang kerap berkata padanya, “Banyakin piknik, dong.” Ia setuju. Tapi baginya, saat ini piknik bukan berarti harus gelar tikar atau booking tiket ke suatu tempat. Ia bisa piknik lewat internet dan buku. Intinya, ia bisa memperbanyak belajar untuk memperluas wawasannya.
Hal lain yang Gita tekankan adalah bahwa ia terlahir sendiri dan mati juga akan sendiri. Gita yakin, ada banyak pesan yang bisa disampaikan dari pengalaman hidupnya sebagai perempuan Muslim asal Indonesia yang sekolah di luar negeri ke banyak orang. Ia pun ingin memberi motivasi kepada anak muda di Indonesia untuk rajin belajar, kuliah, dan beradaptasi dengan kehidupan lain di luar Indonesia.
Usaha Gita mengaktualisasikan dirinya di media sosial perlu diapresiasi. Ia adalah satu dari Muslimah yang telah berhasil menunjukkan pada dunia bahwa perempuan bisa melakukan apa pun yang ia yakini bisa dilakukan. Tapi, perlu diingat, segala hal yang diutarakannya di media sosial adalah opini belaka, bukan hal yang serta-merta mesti diiyakan dan diikuti. Gita hanya bersuara dan kita boleh mengkritik atau menerimanya.[]