BincangMuslimah.Com – Baru-baru ini pemerintah mengizinkan korban pemerkosaan melakukan aborsi dengan mengikuti syarat sesuai perundang-undangan. Pemberian izin tersebut tercantum di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Aturan ini nyatanya menuai pro dan kontra.
Pro Kontra Aborsi Korban Pemerkosaan
Mereka yang pro berpandangan jika regulasi ini sedikit banyaknya dapat membantu korban. Salah satunya membantu korban untuk tidak terlalu terpuruk dari trauma yang mendalam. Kita tidak dapat menutup sebelah mata, jika kehamilan yang tidak diinginkan akibat pemerkosaan dapat menimbulkan trauma yang berkepanjangan.
Padahal, perempuan yang membesarkan anak dengan trauma dan kesehatan mental yang buruk tentu dapat berdampak tidak baik pada anak. Kehadiran regulasi ini juga menegaskan bahwa korban memiliki hak atas otonomi tubuh sekaligus kesehatan mental. Selama ini korban pemerkosaan, selain sulit mendapatkan keadilan, pelik pula mendapatkan hak atas otonomi tubuh mereka.
Misalnya saja, masih ada tindakan menikahkan korban dan pelaku pemerkosaan dengan alibi ‘menyelamatkan masa depan’. Entah di mana logikanya, padahal pelaku merupakan penjahat yang seharusnya diadili oleh aparat. Tindakan semacam ini membuat hak korban seakan diberangus, jika menolak korban malah disebut mendatangkan aib hingga berakhir disalahkan.
Di sisi lain, mereka yang kontra punya pandangan mengakar kenapa menolak aturan tersebut. Alasan prasangka moral dan kekhawatiran menjamurnya tindakan aborsi di tengah generasi muda jadi salah satu alasan penolakan.
Ada pandangan jika Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 akan mendorong generasi muda berhubungan seksual sebelum pernikahan. Dan jika terjadi kehamilan, pasangan ini akan dengan gampang mengakses layanan aborsi tersebut.
Sayangnya, mereka yang menolak regulasi ini tampaknya belum menemukan solusi yang cukup efektif. Jika mengintip komentar masyarakat di media sosial terkait hal ini, ada yang menyarankan perlunya edukasi seksual pada pelajar. Saran ini sesungguhnya bagus, tapi yakinkah bisa meredam kekerasan seksual yang terus terjadi di tengah masyarakat kita? Belum ada yang bisa menjawab secara pasti.
Belum lagi konsep edukasi seksual masih sangat kontroversi di tengah masyarakat kita. Keberadaannya masih diperdebatkan dan belum ada kurikulum resmi. Ini tentu menjadi soal dan pekerjaan rumah lainnya. Solusi lain yang dilontarkan masyarakat di media sosial, ‘korban jangan melakukan tindakan aborsi. Solusinya, menikah dengan pelaku lalu membesarkan anak bersama.’
Saran seperti ini, rasanya tidak pantas disebut sebagai solusi. Pemaksaan pernikahan pelaku malah membuat trauma korban menjadi berkali-lipat. Bayangkan, korban harus bertemu dengan penjahat yang merenggut masa depan dan meninggalkan luka fisik sekaligus batin setiap harinya. Belum lagi korban bakal berhubungan seksual di dalam pernikahan yang dipaksakan tersebut. Bukankah situasi ini malah jadi kekerasan seksual berulang?
Tidak Bisa Sembarang Akses, Aborsi untuk Korban Pemerkosaan Punya Syarat Ketat yang Wajib Dipenuhi
Untuk kelompok kontra yang berprasangka layanan aborsi untuk korban pemerkosaan gampang diakses, sepertinya perlu membaca secara rinci Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Di dalam aturan tersebut, terdapat berbagai syarat kuat dan wajib dipenuhi.
Mari mulai dari Pasal 116 dalam PP Kesehatan. Pasal ini menyatakan dengan jelas setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau, terhadap korban tindak pidana perkosaan, atau kekerasan seksual lainnya yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 116 di atas harus diperkuat dan dibuktikan dengan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 118 PP Kesehatan, di antaranya:
Pertama, surat keterangan dokter atas usia kehamilan. Sesuai dengan kejadian tindak pidana atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan; dan keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.
Kedua, harus ada keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.
Selain itu mengacu pada Pasal 120 PP No. 28/2024, aborsi dilakukan oleh dokter yang kompeten dan memiliki wewenang. Tindakan aborsi ini pun tidak bisa dilakukan di sembarang tempat. Tindakan hanya diperbolehkan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjut (PKTL) yang telah memenuhi Sumber Daya Kesehatan sesuai yang ditetapkan oleh menteri.
Layanan aborsi untuk korban pemerkosaan ini juga hanya boleh dilakukan oleh tenaga medis, dibantu oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kompetisi dan wewenang. Pasien juga nantinya akan mendapatkan pendampingan dan konseling. Sedangkan korban yang ingin membatalkan tindakan aborsi juga tetap mendapatkan layanan pendampingan dan konseling yang diberikan selama kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.
Dari berbagai syarat di atas, disimpulkan bahwa aborsi untuk korban pemerkosaan tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Ada beberapa bukti yang harus dipenuhi. Selain itu, tenaga medis dan fasilitas layanan kesehatan yang melakukan tindakan ini haruslah yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Pemerintah sendiri juga telah membuat aturan terkait sanksi bagi siapapun yang melakukan aborsi ilegal. Mereka yang terkait bisa menerima hukuman penjara hingga denda. Seperti regulasi Pasal 427 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Di dalam UU ini disebutkan bahwa perempuan yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan kriteria dapat dikenai pidana penjara maksimal 4 tahun.
4 Comments