BincangMuslimah.Com – Di antara istri-istri nabi, terdapat satu nama istri yang tidak bergelar ummul mukminin (ibunya orang-orang mukmin). Beliau adalah Mariyah Al-Qibtiyyah, anak pembesar Mesir (Qibthi) yang dilahirkan di kota Anshina, sebelah timur Sungai Nil. Ayahnya bernama Syam’un sedangkan ibunya berdarah Romawi pemeluk agama Nashrani.
Mariyah Al-Qibtiyyah adalah seorang sariyyat, yaitu istri yang sah menurut syariat tetapi tidak berstatus resmi sebagai istri sepenuhnya karena merupakan hadiah atau pemberian dari pihak lain yang status sosialnya sama dengan hamba sahaya. Beliau, dalam banyak redaksi dijuluki dengan Ummu Walad, sebagaimana tradisi yang berlaku pada saat itu.
Pernikahan Nabi dengan Mariah berawal dari datangnya utusan nabi bernama Hathib bin Abi Balta’ah ke Mesir untuk menyampaikan ajakan Islam kepada Muqauqis. Di istana Muqauqislah Mariyah bersama sudaranya Sirin tinggal sejak remaja. Sebelumnya kedatangan Hathib, telah tersebar kabar di seantero Mesir mengenai agama samawi baru yang datang dari tanah Arab.
Setelah membaca surat tersebut, Muqauqis dengan bantuan juru tulis istana membalas surat Nabi dan menjelaskan bahwa jika dirinya masuk Islam, maka ia akan kehilangan kehormatannya karena penduduk setempat masih sangat fanatik dengan agama lamanya. Bersamaan dengan itu, ia mengirim hadiah kepada Nabi, yaitu Mariyah, Sirin dan Abdu Khusoi beserta seribu emas, 20 pakaian, bahan makanan, dan ternak kendaraan. Ketika sampai di Madinah, Nabi Muhammad takjub atas hadiah tersebut, dan beliau kemudian menikahinya.
Sama halnya dengan istri para nabi yang lain, Mariyah pun diwajibkan untuk menutup dirinya. Beliau juga tinggal satu komplek dengan istri nabi, dan mendapat giliran sebagaimana istri yang lain. Meskipun status sosialnya berbeda dari istri yang lain, Mariyah adalah perempuan istimewa.
Beliau adalah satu-satunya istri nabi setelah Khadijah yang dikaruniai seorang anak bernama Ibrahim di usia nabi Muhammad yang sudah purna, yaitu 60 tahun. Mariyah jugalah yang memberikan keturunan laki-laki setelah 20 tahun dari kelahiran putri bungsunya Fatimah. Pada saat itu, Fatimah merupakan satu-satunya keturunan Nabi yang masih hidup.
Kelahiran putra nabi tersebut merupakan hadiah yang membuat nabi bahagia tiada tara. Sebagai ungkapan rasa syukur nabi kepada Allah, beliau memberi sedekah kepada kaum fakir miskin di Kota Madinah. Banyak sekali dari perempuan Madinah yang ingin menyusui putra Nabi tersebut. Kelahiran Ibrahim menjadi anugerah yang sangat membahagiakan nabi karena dengan kelahiran seorang putra, ia dapat membuktikan kebohongan orang-orang yang mengecam beliau sebagai pria yang terputus keturunannya. Ini menjadi lumrah karena pada saat itu, anak laki-laki dianggap sebagai penerus nasab dan sebuah kebanggan tersendiri.
Sayangnya kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Ibrahim jatuh sakit yang dari hari ke hari semakin parah. Ibrahim wafat pada usia belum genap setahun pada tahun ke-10 Hijriah. Wafatnya Ibrahim membuat Nabi mengalami kesedihan yang mendalam.
Dengan air mata yang berlinang-linang, beliau menatap wajah puteranya yang pucat pasi, berat napas, dan denyut jantung yang makin lirih. Sambil mengusap air mata yang membasahi pipi, beliau berkata “Hai anakku Ibrahim, di hadapan Allah kami tidak dapat memberi pertolongan apapun kepadamu…”.
Rasulullah kemudian mencium jenazah Ibrahim yang masih di pangkuan ibunya, beliau berkata lagi “Hai anakku, Ibrahim, sekiranya kematian bukan sesuatu yang haq dan bukan suatu janji yang pasti benar… kalau kami yang belakangan tidak akan menyusul yang terdahulu, tentu kami akan lebih sedih dari yang sekarang ini…
Kisah meninggalnya Ibrahim dikisahkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya sebagiamana diceritakan dalam Hadits:
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ نُمَيْرٍ – وَاللَّفْظُ لِزُهَيْرٍ – قَالَا: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَهُوَ ابْنُ عُلَيَّةَ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: «مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالْعِيَالِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»، قَالَ: «كَانَ إِبْرَاهِيمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِينَةِ، فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ فَيَدْخُلُ الْبَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ، وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا، فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ، ثُمَّ يَرْجِعُ» قَالَ عَمْرٌو: فَلَمَّا تُوُفِّيَ إِبْرَاهِيمُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «إِنَّ إِبْرَاهِيمَ ابْنِي وَإِنَّهُ مَاتَ فِي الثَّدْيِ وَإِنَّ لَهُ لَظِئْرَيْنِ تُكَمِّلَانِ رَضَاعَهُ فِي الْجَنَّةِ
Telah menceritakan kepada kami [Zuhair bin Harb] dan [Muhammad bin Abdullah bin Numair] lafazh ini milik Zuhair keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami [Ismail] yaitu Ibnu ‘Ulayyah dari [Ayyub] dari [Amru bin Sa’id] dari [Anas bin Malik] dia berkata; “Tidak pernah kulihat orang yang lebih penyayang terhadap keluarganya melebihi Rasulullah Saw. Anas berkata; Ibrahim (anak beliau) disusukan pada suatu keluarga di sebuah kampung di perbukitan Madinah. Pada suatu hari beliau pergi menengoknya, dan kami ikut bersama beliau. Beliau masuk ke rumah yang kala itu penuh dengan asap, karena orang tua pengasuh Ibrahim adalah seorang tukang pandai besi. Kemudian Nabi Saw menggendong Ibrahim seraya menciumnya, setelah itu beliau pun pulang. Kata ‘Amru; “Tatkala Ibrahim wafat, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Ibrahim adalah anakku. Dia meninggal dalam usia menyusu. Kedua orang tua pengasuhnya akan menyempurnakan susuannya nanti di surga.” (HR. Bukhari & Muslim)
Meskipun berstatus sebagai Ummul Walad, Allah telah menunjuknya sebagai perempuan istimewa. Perempuan terpilih yang memberikan keturunan kepada nabi melalui rahimnya. Perempuan yang melaluinya, Allah meninggikan derajat nabi karena dikaruniai seorang putra dan meruntuhkan anggapan buruk masyarakat. Mariyah Al-Qibtiyyah wafat pada tahun ke 16 Hijriah. Atas instruksi Amirul Mukminin Umar ibn Khattab, beliau dimakamkan di Baqi’ bersama istri Nabi yang lain.
Sumber: Kitab Baitun Nubuwwah karya Dr. Aisyah Abdurrahman binti Syati’