BincangMuslimah.com – Agama menjadi salah satu faktor utama yang membentuk pandangan masyarakat, termasuk dalam isu aborsi. Namun, hingga kini, tafsir keagamaan yang berkembang seringkali tidak menghadirkan perspektif perempuan. Akibatnya, diskusi tentang isu aborsi bagi korban kekerasan seksual berlandaskan pada tafsir agama yang bias gender. Apalagi diperkuat oleh standar moral yang justru membebankan perempuan.
Penolakan terhadap aborsi bagi korban kekerasan seksual sering kali berakar dari pemahaman yang menyamakan pemerkosaan dengan perzinaan. Dalam pandangan ini, kehamilan diluar pernikahan dianggap sebagai hasil hubungan yang melanggar norma agama dan moral (zina), tanpa mempertimbangkan konteks yang terjadi.
Padahal. pemerkosaan dengan perzinaan adalah dua hal yang sangat berbeda, baik secara definisi maupun konsekuensi moral serta hukumnya. Jika zina terjadi atas dasar kesepakatan dan pengambilan keputusan secara sadar, maka pemerkosaan berlangsung di bawah paksaan, intimidasi, dan kekerasan. Dalam perzinaan, relasi yang terjalin adalah dua subyek yang setara, sedangkan dalam pemerkosaan, terjadi relasi timpang yakni saat pelaku memaksa korban tunduk.
Islam Berpihak Pada Korban Kekerasan Seksual
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan (al-adl) memiliki prinsip yang melindungi korban kekerasan seksual, termasuk dalam akses terhadap kesehatan reproduksi. Salah satu prinsip utama dalam Islam yang relevan dengan konteks ini adalah Da’rul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih, yaitu kaidah fiqh yang menekankan bahwa mencegah kemudaratan (keburukan) lebih utama daripada mengambil manfaat. Dalam konteks korban kekerasan seksual, prinsip ini adalah dasar untuk berpihak pada korban kekerasan dengan memastikan mereka mendapatkan perlindungan dan hak yang layak, termasuk akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi.
Berdasarkan prinsip ini, maka harus mengutamakan pemulihan bagi korban kekerasan seksual baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Dr. KH. Faqih Abdul Kodir menyatakan bahwa boleh melakukan aborsi untuk menyelamatkan jiwa, kehormatan, dan kehidupan seorang perempuan. Artinya, dalam kasus pemerkosaan, keputusan terkait tubuh perempuan harus mempertimbangkan martabat dan hak korban. Hal ini bukan sekedar melihat dari sudut pandang hukum atau norma sosial yang bias.
Selain itu, KH. Husein Muhammad dalam bukunya Fiqh Perempuan juga menekankan bahwa aborsi diperbolehkan jika kehamilan terjadi akibat pemerkosaan, selama janin belum mencapai usia 120 hari. Pendapat ini merujuk pada batasan yang disebutkan dalam berbagai pandangan fiqh mengenai usia ruh ditiupkan ke dalam janin, yang dalam banyak mazhab Islam ditetapkan pada usia 120 hari.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan melakukan aborsi dalam dua kondisi. Pertama, jika terdapat alasan medis yang mengancam nyawa ibu atau menyebabkan kondisi kesehatan yang buruk. Kedua, jika kehamilan terjadi akibat pemerkosaan, yang berisiko menimbulkan dampak psikologis dan sosial yang berat bagi korban.
Islam Mewajibkan Peduli Pada Korban Kekerasan
Islam mengajarkan nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan perlindungan terhadap mereka yang mengalami penderitaan, termasuk korban kekerasan seksual. Sayangnya, dalam realitas masyarakat, banyak korban yang justru mendapatkan stigma, pengucilan, dan penghakiman dari lingkungan sekitarnya. Padahal, Islam mengedepankan prinsip kepedulian dan keberpihakan kepada mereka yang mengalami ketidakadilan.
Prinsip perlindungan terhadap korban ini juga tercermin dalam kebijakan nasional berupa Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, yang mengatur ketentuan aborsi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Regulasi ini menjadi langkah maju dalam pemenuhan hak korban kekerasan seksual. Terutama dalam memastikan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang aman dan legal.
Namun, regulasi saja tidaklah cukup. Implementasi kebijakan ini akan maksimal jika masyarakat memiliki empati dan kesadaran akan pentingnya melindungi korban kekerasan seksual. Sebagai warga negara, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan kebijakan yang telah dibuat benar-benar memberikan manfaat bagi korban. Termasuk dengan menolak stigma, mendukung akses terhadap layanan yang mereka butuhkan, serta mendorong lingkungan yang lebih aman dan inklusif.
Selain itu, sebagai umat Muslim, memahami bahwa Islam berpihak pada keadilan berarti turut berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang mendukung korban. Untuk mewujudkan hal ini yakni dengan memastikan korban mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka peroleh tanpa diskriminasi ataupun penghakiman.