BincangMuslimah.Com – Persoalan marital rape kerap kali menjadi perdebatan beberapa kalangan di Indonesia. Pasalnya, sebagian orang berpegang teguh interpretasi agama yang menganggap bahwa istri harus patuh melayani suami dengan sepenuh hati, pun dalam urusan seksualitas.
Musdah Mulia dalam buku ‘Muslimah Reformis for Milenial’, mengartikan bahwa marital rape yakni istilah untuk “pemerkosaan yang terjadi dalam perkawinan”. Menambahkan, isu ini juga termasuk salah satu dari empat jenis kekerasan seksual dalam rumah tangga yang menjadi sebagai tindakan criminal.
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) sebenarnya bukan hanya sebatas kepada kekerasan fisik, melainkan juga meliputi kekerasan psikis, verbal, dan seksual. Tapi sayangnya, banyak yang mengabaikan terjadinya marital rape dalam rumah tangga. Sehingga banyak korban yang mayoritas perempuan (istri) memilih untuk diam dan konsumsi pribadi antara suami dan istri.
Umumnya, asumsi masyarakat terhadap kasus pemaksaan atau pelecehan seksual dalam rumah tangga dengan tujuan agar istri lebih tunduk dan patuh terhadap suami. Padahal marital rape atau pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap hak-hak asasi perempuan.
Tiga Bentuk Kekerasan Seksual
Mengutip jurnal ‘Membaca Marital Rape dalam Hukum Keluarga Islam dan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS), mengkategorikan kekerasan seksual terkhusus pemerkosaan ke dalam tiga bentuk.
Pertama, Battering Rape atau pemukulan pemerkosaan. Mayoritas korban kekerasan marital rape masuk dalam kategori ini, yakni suami melakukan kekerasan fisik berulang tetapi suatu waktu suami seolah ingin berbaikan dengan memaksa berhubungan seks di luar kehendak istri.
Kedua, Force-Only Rape, yakni suami melakukan pemerkosaan dengan sejumlah kekuatan tertentu untuk memaksa istri mereka. Pada jenis ini, suami tidak melakukannya dengan pukulan, tetapi jika istri menolaknya, maka suami tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan semacamnya.
Ketiga, Obsessive Rape, yakni pemerkosaan dengan sadis dan obsesif. Pemerkosaan terjadi dengan melakukan sejumlah serangan seperti penyerangan atau perilaku seksual menyimpang bahkan sampai kekerasan fisik.
Dari penjelasan di atas, bahwa sebaiknya dalam menjalin hubungan perkawinan hendaknya dengan berlandas pada nilai-nilai agama yang memberikan dampak positif dan kesan yang indah. Dalam pemenuhan hubungan seksual bukan hanya untuk memenuhi nafsu belaka, melainkan harus sesuai perintah Allah dan ajaran Rosul. Hal ini agar terciptanya keluarga yang harmonis dan keduanya hidup dalam kenyaman dan kententraman.
2 Comments