BincangMuslimah.Com – Ada satu kebiasaan penulis setiap kali membaca berita terkait pelecehan seksual yang berseleweran di media sosial. Yaitu membaca komentar dari warga internet alias netizen. Dari kebiasaan ini, ada satu hal kesamaan yang ditemukan. Netizen, atau masyarakat kita pada umumnya kerap memberikan penghakiman pada korban. Bukannya bersimpati atau memberikan dukungan moril, netizen malah menyorot pakaian dari korban pelecehan seksual.
Seperti kasus begal payudara pada perempuan yang berjalan kaki di pinggir jalan, di Duren Sawit, Jakarta Timur. Sebuah media online menampilkan video CCTV milik warga setempat. Dari video tersebut, nampak seorang perempuan yang mengenakan jilbab tengah berjalan. Sekelebat kemudian seorang pengendara motor melakukan tindakan tidak senonoh pada perempuan tersebut.
Lucunya, satu dua netizen malah mencibir korban dan mempermasalahkan pakaian yang disebut kurang tertutup. Padahal dari CCTV tersebut, perempuan ini mengenakan jilbab, kemeja lengan panjang dan celana panjang. Beberapa warganet bahkan menggunakan pribahasa yang kurang relevan. ‘ Kucing kalau ketemu ikan ya begitu.’ Sebuah kalimat yang secara tidak langsung mengatakan jika kucing adalah laki-laki, dan perempuan adalah ikan.
Pandangan ini sebenarnya tidak hanya ditemukan di dunia maya. Pada kehidupan sehari-hari, banyak masyarakat yang berpikiran serupa. Korban dilecehkan disangka karena tidak pakai jilbab, kurang bahan dan sebagainya. Padahal tidak sedikit perempuan yang menggunakan hijab atau pakaian amat tertutup mendapatkan perlakuan yang jauh mengerikan.
Kecaman yang jauh dari empati, jika ditelisik lebih jauh, mungkin saja dipengaruhi oleh pandangan perempuan adalah aurat. Islam memang menyatakan mengatakan bahwa aurat adalah celah yang bisa membuat seorang hamba berbuat dosa. Dan perempuan dianggap dapat menimbulkan masalah jika berpatisipasi di ranah publik karena konsep ‘perempuan adalah aurat’ ini. Bahkan ada yang menyakini saat perempuan keluar rumah, maka ia akan menarik orang untuk berbuat dosa.
Penulis pun ingat sebuah komentar dari seorang kawan. Ia berkata jika perempuan adalah sumber fitnah. Kecantikan, keanggunan yang dimiliki seorang perempuan dianggap dapat menggiurkan dan menggoda laki-laki. Sehingga perasaan ingin berbuat dosa tidak dapat terbendung.
Seakan-akan pelecehan seksual terjadi karena ‘pancingan’ dari perempuan. Lantas bagaimana dengan korban yang masih balita atau berusia belasan tahun. Anak balita tidak mungkin paham arti kata ‘menggoda’ atau ‘merayu’. Sulit dipercaya anak yang menjadi korban pelecehan seksual punya pemahaman demikian.
Rasanya ada hati yang berontak ketika penghakiman tidak berdasar tersebut disandingkan pada nilai keislaman. Padahal jika menelisik ke dalam Islam sendiri, tidak ada pembenaran terhadap apa pun yang merugikan sekaligus menyakiti orang lain. Apa lagi pelecehan seksual.
Lantas apa benar perempuan adalah sumber fitnah sehingga menjadi pemakluman dirinya dapat menjadi korban seksual? Tentu saja tidak. Islam sendiri melihat sumber fitnah tidak hanya berada pada perempuan saja. Laki-laki pun punya potensi yang serupa. Hal ini berdasarkan pada QS al-Furqan(25): 20).
“..Dan kami jadikan sebagian kamu sebagai fitnah bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Sesungguhnya Tuhanmu itu Maha Melihat.” (QS al-Furqan (25):20).
Oleh karena itu, setiap orang baik laki-laki dan perempuan punya peran untuk saling mawas diri dan menjaga batasan. Walau keduanya punya potensi, hal ini bisa dihindari dengan berpegang teguh pada agama. Serta menyelaraskan akal budi dan iman dalam kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, bukan hanya perempuan saja yang perlu mewaspadai diri dan menjaga hati. Ini berlaku juga pada pihak laki-laki. Dan, sudah saatnya menanamkan prinsip kalau laki-laki wajib menjaga pola pikir mereka. Berpikir bahwa perempuan bukanlah objek yang bisa diperlakukan semena-mena, atau bahkan dijadikan sasaran empuk sebagai korban. Perempuan adalah manusia yang utuh dan berhak mendapatkan rasa aman dan nyaman.