BincangMuslimah.Com – “‘Ah lo mah Relaxa. Iya, Relaxa,alias rela diperkosa.”
Masih ingat dengan jokes di atas? Pastinya masih ingat. Kala SMA saya mendengar beberapa teman menyatakan itu. Jokes tersebut berdasarkan permainan kata dari sebuah merk permen Relaxa yang cukup populer saat itu. Kala itu saya menganggapnya lucu aja, dikarenakan saya belum mengerti maksudnya, juga belum paham mengenai pemerkosaan, feminisme dan seksisme.
Memasuki fase dewasa, hal ini membuat saya terkejut dan perasaan tidak terima dikarenakan telah memahami ini tidak lucu. Ini hanya satu dari banyak jokes atau humor seksis yang dilakukan tidak hanya oleh orang dewasa namun juga anak di bawah umur. Lalu apakah itu humor seksis itu?
Dilansir dari Yayasanpulih.org humor seksis merupakan humor yang bertujuan merendahkan, menghina, memberikan stereotip, memperdaya, dan menjadikan individu sebagai objek berdasarkan gender mereka. Humor seksis juga termasuk humor penghinaan (disparagement humor) yang berarti merendahkan beberapa kelompok.
Sementara itu seorang peneliti Julie A. Woodzicka dan Thomas E. Ford pada tahun 2010 menjelaskan bahwa paparan humor seksis justru melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan dan mendorong perilaku seksis di kalangan laki-laki.
Padahal, ketika perempuan menjadi target guyonan, mereka justru mengalami efek emosional yang merugikan, misalnya rasa jijik dan marah. Selain itu perempuan pastinya merasa malu ketika dirinya dijadikan objek humor seksis.
Dalam perkembangannya terdapat pandangan yang berbeda dari Susan Krauss Whitbourne, seorang profesor emerita University of Massachusetts Amsherst, humor seksis merupakan sebuah upaya menutupi pandangan merendahkan terhadap perempuan agar diterima secara sosial.
Pandangan Whitbourne ini senada dengan hasil penelitian yang berjudul “Old Jokes, New Media-Online Sexism and Contructions of Gender in Internet Memes” tahun 2018 yang dilakukan oleh Jessica Draket bersama tiga rekannya. Mereka melakukan analisa terhadap praktik pelecehan terhadap perempuan dan kelompok minoritas melalui 240 sampel meme yang menampilkan gambar dengan teks.
Dalam studi tersebut, Draket bersama tiga rekannya menggunakan tiga teori humor yang berkembang, yakni teori superioritas, teori ketidaksesuaian, dan teori pelepasan. Teori superioritas adalah teori humor yang bersumber atau penderitaan orang lain, atau biasanya kita mengenal “tertawa di atas penderitaan orang lain”
Teori ketidaksesuaian merupakan guyonan yang mengarahkan penonton kepada satu arah, kemudian mengejutkan mereka dengan hasil yang berbeda dari apa yang diharapkan.
Terakhir, teori pelepasan menurut teori ini sebuah lawakan atau humor adalah wadah untuk menghilangkan stres dan merupakan proses pelepasan ketegangan psikologis.
Berdasarkan penelitian di atas, seorang professor psikologi sosial dari Western Carolina University, Thomas E. Ford menegaskan bahwa humor-humor berbentuk hinaan harus dikecam karena bersifat destruktif. Pelawak dan penonton tak bisa menolak hal itu dengan mengatakan “lelucon hanyalah lelucon” meskipun dengan alasan positif seperti menghapus prasangka.
Dari teori-teori di atas dapat kita tarik benang merah bahwa kita sering menemukan pelaku menyatakan komentar dalam bentuk humor seksis biasanya memperkuat ikatan antar mereka, mengabaikan perasaan perempuan yang menjadi objek humor seksis mereka, dan mereka lebih memikirkan bagaimana teman-temannya menanggapi humor yang telah diutarakan. Humor seksis menargetkan kelompok gender tertentu untuk maksud merendahkan dan humor jenis seperti inilah yang sering didengar.