BincangMuslimah.Com – Kalau orang biasa sinis, maka akan menganggapnya sebagai orang yang nyinyir. Tapi kalau filsuf sinis, maka itu bentuk kritis. (Agus Noor)
Tak bisa memungkiri, dalam satu circle pertemanan atau pergaulan tertentu, ada saja perempuan yang menganggap orang lain, terutama perempuan lainnya sebagai pesaing, bukan sebagai partner. Padahal, bisa saja, orang yang kita anggap sebagai pesaing justru ingin belajar bersama dan tumbuh bersama.
Lalu, bagaimana jika hal ini terjadi dalam circle kita?
Anggapan pesaing satu sama lain sangat wajar terjadi. Tak hanya dalam pergaulan perempuan, tapi juga dalam pergaulan laki-laki. Kita terbiasa melihat persaingan ketat semenjak di bangku sekolah dengan sistem perebutan ranking dan saat kuliah, dalam membandingkan IPK.
Di Indonesia, anak-anak tumbuh besar dengan persaingan. Tak jarang, ada saja orang tua yang mendukung sang anak memenangkan persaingan bahkan dengan cara yang tak baik. Bersaing adalah hal yang sangat normal. Meski begitu, kita mesti membatasi persaingan dalam hal-hal yang baik, bukan hal-hal yang buruk.
Saat persaingan terjadi, banyak perempuan yang akhirnya nyinyir pada perempuan lain. Bukannya menggandenganya sebagai teman hidup, ada saja perempuan yang dengan sangat gamblang menyatakan ada persaingan di antara mereka. Selain bersikap cuek dan membiarkan anjing menggonggong khafilah berlalu, kita juga mesti siap dengan melakukan pembuktian.
Biasanya, orang yang nyinyir adalah orang yang tak percaya pada diri sendiri. Meski punya kemampuan yang cukup, ia ingin menunjukkan bahwa ia lebih unggul ketimbang orang lain. Itulah mengapa banyak melontarkan anggapan yang tanpa pertimbangan terlebih dahulu.
Imam asy-Syafi’i menyampaikan keresahannya tentang perilaku nyinyir dalam Diwanul Imam asy-Syafi’i. Beliau menulis beberapa sajak sebagai berikut:
نَعِيْبُ زَمَانَنَا وَالْعَيْبُ فِيْنَا # وَ مَا لِزَمَانِنَا عَيْبٌ سِوَانَا
Kita mencela zaman, padahal celaan itu ada di diri kita
Dan zaman itu tercela tiada sebabnya selain kita
وَ نَهْجُو ذَا الزَّمَانِ بِغَيْرِ ذَنْبٍ # وَ لَوْ نَطَقَ الزَّمَانُ لَنَا هَجَانَا
Kita mencela pemilik zaman, seakan tanpa dosa
Ketika zaman telah menunjukkan (realitanya), maka ia yang mengejek kita
وَ لَيْسَ الذِّئْبُ يَأْكُلُ لَحْمَ ذِئْبٍ # وَ يَأْكُلُ بَعْضُنَا بَعْضًا عَيَانًا
Tidaklah seekor serigala itu akan memakan daging serigala
Sedangkan kita, memangsa sesama dengan nyata
Imam asy-Syafi’i seolah ingin mengetuk kesadaran kita. Beliau ingin menyadarkan kita bahwa celaan adalah hal yang tak patut dilakukan. Kita mesti menyadari dulu apa benar celaan yang dilontarkan tepat dan sejauh mana kita telah melakukan koreksi atas diri sendiri.
Dampak Psikologis bagi Korban dan Pelaku
Bersikap nyinyir tentu berdampak buruk pada konsidi psikologis baik kondisi psikologis pelaku maupun korbannya. Maka, tetap berada di jalan tengah dan menjaga kewarasan adalah sikap paling tepat untuk dilakukan.
Tetaplah berbuat baik sebab hanya Allah Swt. yang bisa menilai kualitas seseorang. Kita bisa merasa lebih unggul ketimbang orang lain atau merasa sangat kurang dibandingkan dengan orang lain. Tak perlu khawatir, anggapan tersebut hanya ukuran manusia, bukan penilaian Allah Swt.
Ingatlah bahwa apa yang membedakan satu manusia dengan manusia yang lainnya di hadapan Allah Swt. hanyalah kualitas ketaqwaannya, bukan keunggulan di bidang apa pun di dunia yang fana.[]
8 Comments