Dalam kehidupan sehari-hari, jenis-jenis pekerjaan kerumahtanggaan seperti memasak, mencuci, dan mengasuh anak identik dengan pekerjaan perempuan. Selain itu, jenis pekerjaan kerumahtanggaan juga sering tidak diakui sebagi skill, sehingga tidak diperhitungkan sebagai pekerjaan penting. Hal ini berujung pada stereotip bahwa istri atau ibu yang sehari-hari di rumah untuk mengerjakan urusan rumah tangga tidaklah produktif. Itu berbanding terbalik sebagaimana suami atau ayah yang bekerja di luar rumah.
Stereotip ini tidak hanya berlaku untuk seorang istri atau ibu. Saat jenis-jenis pekerjaan kerumahtanggaan dilakukan oleh tenaga orang lain pun, pekerjaannya hanya dianggap sebatas membantu. Sehingga dari situ lahir istilah “pembantu rumah tangga”.
Penyebutan istilah “pembantu rumah tangga” ini ternyata mengakibatkan adanya ketimpangan dalam ikatan ketenagakerjaan. Karena hanya membantu, maka seseorang boleh diperlakukan semaunya, digaji ala kadarnya, dan bahkan bisa kapan saja diberhentikan. Tindakan-tindakan ini tentu tidak sesuai dengan hukum ketenagakerjaan karena merampas hak-hak para pekerja rumah tangga. Begitu pun dalam hukum Islam.
Islam hadir di muka bumi menawarkan sistem sosial yang adil dan setara. Contohnya adalah sistem perburuhan yang di dalamnya mencakup hubungan antara majikan dan pekerja rumah tangga. Prinsip kesetaraan Islam menempatkan majikan dan pekerja rumah tangga pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama sebagai pihak yang saling membutuhkan satu sama lain, serta menyerahkan apa yang dimiliki baik di satu sisi berupa tenaga atau pun upah di sisi yang lain, sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Nisa’ ayat 29, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”
Sedangkan prinsip keadilan Islam yakni dengan memberikan sesuatu sesuai dengan haknya, atau dalam konteks ini mendorong para pihak (majikan dan pekerja rumah tangga) untuk memenuhi perjanjian yang telah dibuat, baik itu pemenuhan hak maupun kewajiban. Dalam surat Al-Nahl ayat 90, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Allah memberi pealjaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Hubungan antara pekerja rumah tangga dan majikan seharusnya merupakan model hubungan kemitraan. Sehingga di antara keduanya tidak ada pihak yang menguasai dan dikuasai, keduanya menjalankan kewajiban masing-masing dengan setara tanpa ada kekerasan dan diskriminasi. Praktik kerja yang demikian sudah dicontohkan Nabi Muhammad lima belas abad yang lalu. Sahabat Anas bin Malik, pekerja rumah tangga Nabi, mengaku selama sepuluh tahun di rumahnya tidak pernah sekalipun nabi berkata kasar kepadanya, tidak pernah menyakiti, tidak pernah membentak, tidak pernah menampakkan wajah cemberut di hadapannya, dan saat menyuruhnya untuk melakukan sesuatu, tetapi dia terlambat mengerjakannya Nabi tidak pernah marah. Bahkan saat ada seorang keluarga Nabi memarahinya, Nabi mencegahnya dengan mengatakan, “Biarkan saja, tidak apa-apa. Bila Allah menghendaki sesuatu, itu pasti akan terjadi.” Cerita ini tertulis di kitab Dalail Nubuwwah karya Abu Nuáim al-Asfahani.
Hubungan kerja yang bersifat kemitraan tersebut hanya akan terwujud jika kedua pihak, pekerja rumah tangga dan majikan, memahami dan sadar akan kewajiban dan hak masing-masing secara adil dan setara. Islam memberikan acuan tentang hak-hak pekerja rumah tangga, yang bisa dijadikan landasan untuk mencapai hubungan kerja pekerja rumah tangga dan majikan yang setara dan harmonis. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, hak mendapat perlakuan setara. Sebagaimana pengakuan Anas bin Malik, seorang pekerja rumah tangga harus diperlakukan dengan santun, tidak boleh direndahkan, dan sama sekali tidak dianggap layaknya budak. Nabi Muhammad bahkan menganjurkan agar para majikan memanggil pekerja rumah tangga layaknya anggota keluarganya sendiri. Dalam hadist riwayat Muslim, Nabi muhammad berkata, “Kalian adalah hamba-hamba Allah, dan semua kaum perempuan adalah hamba-hamba Allah. Maka, janganlah kalian menyebut mereka ‘budakku’, tetapi katakanlah ‘anak-anak mudaku’.”
Kedua, hak mendapat upah yang layak. Dalam hadits Abu Dawud, Nabi Muhammad melarang mempekerjakan orang tanpa jelas upahnya. Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa siapa saja yang mempekerjakan orang, maka wajib menyebutkan upahnya terlebih dahulu. Oleh karenanya, upah merupakan hak pekerja rumah tangga sekaligus kewajiban sang majikan. Jika majikan tidak menyerahkan upah maka pekerja rumah tangga berhak untuk menuntutnya. Bahkan sebagian ahli fikih menegaskan bahwa pekerja boleh menahan barang milik majikan yang dihasilkan dari kerjanya sebagai jaminan jika majikan tidak membayar kinerjanya tanpa harus menunggu keputusan pengadilan atau pemerintah.
Ketiga, dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud, Nabi Muhammad berkata, “Siapa saja yang mempekerjakan orang, maka jika si pekerja tidak punta teman/pasangan (suami atau istri), maka ia hendaknya mencarikannya, jika ia tidak mempunyai pembantu, majikan hendaknya menyediakannya, jika ia tidak punta rumah, majikan hendaknya menyediakkanya.” Selain itu, Syekh Ibnu Mundzir, seorang ulama ahli hadis terkemuka, mengatakan para ulama sepakat berpendapat bahwa pekerja rumah tangga wajib diberi makan seperti makanan majikannya. Ia juga wajib diberi pakaian yang layak, bahkan lebih utama jika diberikan yang lebih baik dari apa yang biasa dipakainya.
Keempat, hak untuk diberi beban pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Pekerja rumah tangga adalah manusia umumnya dengan kapasitas fisik yang terbatas. Ia memiliki keterampilan dalam urusan kerumahtanggaan, tetapi juga memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam hal-hal tertentu. Oleh karenanya, seorang pekerja rumah tangga berhak diberi beban pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya. Ia berhak mendapatkan istirahat yang cukup. Allah sendiri bahkan tidak pernah membebani makhluknya dengan kewajiban-kewajiban yang di luar kemampuannya. Hal ini tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 286, yang berarti, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Nabi Muhammad pun pernah berkata, “Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak,” (HR. Bukhari).
Hak-hak pekerja rumah tangga di atas sekaligus menjadi kewajiban seorang majikan. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah, hak-hak tersebut akan berjalan seimbang jika para pekerja rumah tangga menunaikan kewajiban-kewajibannya. Tidak mungkin seseorang menuntut haknya, tapi ia mengabaikan kewajiban-kewajibannya.
Dalam literatur fikih, hubungan pekerja rumah tangga dan majikan termasuk dalam model akad Ijarah atau penyewaan. Yakni akad sewa yang objeknya berupa jasa atau pekerjaan, sama halnya dengan menjahit, mengantar paket, perbaikan barang, dan lain-lain. Oleh karenanya, jasa yang disewakan pun harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan realisasinya mesti sesuai dengan isi kontrak. Sehingga ketika realisasi jasa tidak sesuai dengan isi kontrak, pihak penyewa berhak untuk membatalkan akad sewa, dengan tetap memberi upah atas jasa yang telah ia terima.